Begitu sampai di Tanah Kusir, hal pertama yang saya lakukan adalah mondar-mandir di tengah kuburan mencari yang mana yang di bawahnya ada eyang saya. Lama nggak ke sini ternyata sudah banyak tetangga baru. Jadi bingung.
Satu menit pertama, masih wajarlah. Lupa itu manusiawi toh? Dua tiga menit, kok nggak ketemu-ketemu juga ya. Perasaan nggak jauh-jauh dari jalan utama. Ah, coba cari terus deh pelan-pelan. Memasuki menit ke-4, saya mulai merasa seperti cucu durhaka, yang bisa lupa kuburan eyang sendiri.
“Cari siapa Mas?” Seorang petugas penjaga kebersihan bertanya. Saya kira dia gerah juga melihat orang mondar-mandir menenteng satu plastik kembang dan sebotol air mawar. Yang menggelikan, nada suaranya tak jauh beda dengan nada suara pramuniaga kalau kita masuk toko.
“Sanyoto.” Saya menjawab pelan dan langsung
window shopping lagi.
“Warnanya apa?” (Tuh kan, memangnya saya kelihatan seperti hendak belanja sepatu, sehingga ditanya-tanya warna?)
“Hitam.”
Ngawur berat, soalnya beberapa menit kemudian, saya menemukan sebuah nisan bertuliskan “Sanjoto bin Wignjo Soepartono” yang terbuat dari marmer putih. Benar-benar payah ingatan saya.
Saya pun mencopot sandal di sebelah kuburan dan menjadikan mereka alas duduk. Karena tidak terlalu mengerti tata cara ziarah, saya mulai saja dengan membaca Al-Fatihah. Habis itu Yasin. Lalu tiga serangkai Al-Ikhlas Al-Falaq An-Nas kemudian doa dan tabur kembang + siram air mawar. Saya memilih duduk membelakangi matahari supaya tidak silau.
Nah, ketika sedang membaca Yasin itulah (baru ayat 10an) tiba-tiba terdengar “crek-crek-crek” suara alat pemotong rumput. Ada seseorang memotongi rumput kuburan Eyang!
Di sela-sela ayat saya melirik. Rupanya dia si Abang yang tadi hendak membantu saya mencarikan kuburan Eyang. Hah, baru ketahuan sekarang profesi aslinya. Ternyata dia ini bergerak di bidang jasa pengguntingan rumput kuburan “jika-dan-hanya-jika-sedang-diziarahi”. Saya jadi agak sebal.
Pertama, kegiatan dia itu mengganggu orang mengaji.
Kedua, di kuburan ini tak ada rumput yang perlu dipotong, baik rumput liar maupun nonliar. Kalau saya biarkan lebih lama, yang ada malah bencana. Kuburan Eyang akan nampak seperti orang habis salah potong rambut. Tebal di sana dan tipis di sini. Cucu macam apa yang membiarkan bencana berlangsung depan mata?
Sejenak saya berhenti mengaji dan berkata kepadanya “Mas, nanti aja ya tunggu saya selesai”.
Dia menurut. Dia pergi duduk ke kuburan sebelah, kemudian merokok. Oke. Hilang sudah gangguan.
Lagi-lagi ngawur, soalnya menginjak ayat 30an, datang lagi satu angggota biro jasa lainnya. Kali ini dia berbunyi “srok-srok-srok” dan mengambil wujud tukang sapu. Tanpa menunggu lama, saya terapkan prosedur serupa. “Mas, bisa tunggu sampai saya selesai?”
***
Sabtu 30 Oktober 2004 adalah hari yang saya nanti-nantikan. Hari ini
Boulevard edisi 50 selesai dicetak. Siang nanti kami akan pergi mengambilnya ke percetakan, kemudian melipat-lipatnya, supaya siap dijual pada hari Senin. Betapa menyenangkan sekaligus bikin tak sabar.
Tapi ada hal lain yang membuat Sabtu itu tak terlupakan. Pagi-pagi sekali, saya dapat telfon dari Ibu. “Kram, Eyang Kakung sakit. Kamu baca-baca doa ya.”
Sebab masih mengantuk selepas bangun sahur — waktu itu lagi bulan Ramadhan — saya mengiyakan dengan berat mata. Tak berapa lama kemudian, Ibu menelfon lagi dengan inti pesan sama. Lalu telfon lagi. Saya mulai heran mengapa pesan yang sama diulang-ulang terus.
Pada telfonnya yang terakhir, inti pesan berubah. Saya disuruh berangkat ke Depok sekarang juga.
Dari nada suara Ibu, saya menangkap kesan Eyang sedang kritis berat, menghadapi sakaratul maut, sehingga kami keluarganya diminta berkumpul secepat mungkin.
Saya buru-buru pergi ke Metro (rumah Om Agus dan Bulek Kenny) untuk pergi bareng naik kereta api. Sampai di sana saya baru tahu, ternyata bulek saya memang sudah ada di Depok, jadi yang ada di rumah hanya Om Agus saja. Kami berdua pun naik Parahyangan ke Jatinegara.
Selama di kereta saya sedikit heran sebab tidak dapat kabar lebih lanjut. Saya juga heran kenapa Om Agus mukanya datar-datar saja. Tak banyak pembicaraan di antara kami (mungkin karena sama-sama menghadapi kabar buruk dan tak ada satupun yang hendak membincangkan hal itu).
Karena tak sabar, akhirnya saya bertanya, “Jadi sekarang ini Eyang itu lagi sekarat ya om?”
“Loh kamu belum dikasih tahu?”
Dia berbicara seakan-akan saya seorang pejuang kemerdekaan yang belum dengar kabar bahwa proklamasi sudah dibacakan Soekarno.
“Nggak. Adek cuma dikasih tahu supaya pulang buruan. Kirain lagi kritis.”
“Oh, udah nggak Kram.”
Detik itulah saya baru tahu kalau Eyang sudah pergi. Dada saya sedikit nyeri mengingat saya tidak sempat mendoakannya pagi tadi.
***
Yang saya ingat segalanya berjalan lumayan cepat siang itu. Dari Jatinegara kami naik taksi dan ketika sampai, orang sudah ramai sekali. Beberapa bergumam lega karena cucu dan menantu sudah tiba. Rupanya mereka memang tinggal menunggu kami saja sebelum berangkat menguburkan Eyang.
Saya duduk di sebelah jenazah lalu berdoa. Sebentar saja, karena saya tahu panjang-pendeknya doa tidak terlalu berpengaruh, toh proklamasi sudah dibacakan.
Yang mengherankan, Eyang terlihat seperti sedang tertidur saja. Hanya bedanya kali ini dia tidur dalam posisi bersedekap dan dibalut kain putih. Dan kali ini tidurnya panjang, sangat panjang. Dan keningnya terasa dingin saat saya cium.
Jenazah dimasukkan dalam keranda. Sekarang saatnya ke Tanah Kusir.
Kami berangkat berombongan dan dipandu dua motor polisi untuk membuka jalan. Saya naik ambulans di bagian belakang dengan Om Wawan (jadi bertiga dengan Eyang). Sementara Ayah di depan, di samping supir dan petugas Yayasan Kemboja.
Sepanjang perjalanan, Om Wawan dan saya tidak banyak bicara tapi untunglah saya sudah terbiasa dengan keheningan yang menyergap. Saya hanya tinggal mengalihkan pikiran saja ke tempat lain.
Hanya bila keheningan sudah demikian memekakkan telinga dan saya tak bisa tahan lagi, saya mengajak Om berbicara. Selebihnya saya melakukan hal yang sama dengan dia — menatap jalanan lewat jendela dan membiarkan pikiran kami mengunyah keheningan.
Waktu terasa berjalan lambat dalam ambulans.
Sampai di Tanah Kusir, proses penguburan langsung dimulai. Jenazah diletakkan di samping liang lahat, kemudian tiga orang diminta turun ke dalam untuk menerima jenazah dan membaringkannya. Tiga orang itu adalah Om Arya, saya, dan Om Wawan.
Kami menerima jenazah dan menurunkannya perlahan, membaringkannya sedemikian rupa (“mukanya mesti nyentuh tanah”), membuka semua ikatan kainnya, lalu menyempalkan bulatan-bulatan tanah ke bawah Eyang.
Sekarang saatnya Om Arya mengumandangkan azan dan iqomah.
“Allahu Akbar.. Allaaaaahu Akbar!”
“Asyhadualla ilaa ha illallaaaaah!”
Begitulah. Dengan suara tercekik dan paling parau yang pernah saya dengar, Om Arya memaksakan diri azan sambil menahan tangis. Semakin lama dia semakin terlarut emosi dan melakukan keduanya bersamaan, azan sambil menangis. Nadanya pilu sekali. Kasihan dia — sementara dadanya dihimpit sesuatu, dia masih harus terus bersuara.
Persis di sebelahnya, saya gemetar ... Azannya terdengar sangat jelas. Saya tak tahu apa yang membuat azan ini terasa sangat panjang dan bila diingat-ingat, masih saja bikin ngilu sampai sekarang. Sebelum saya sadari air mata saya sudah meleleh.
(Saat menuliskan ini pun mata saya jadi perih)
***
Melihat saya sudah selesai mengaji dan menaburkan bunga + menyiramkan air mawar, si petugas jasa kebersihan “jika-dan-hanya-jika” mendekat. Dia meneruskan kembali pekerjaannya yang tertunda tadi. Crek-crek-crek.
“Katanya warnanya hitam?”
“Iya, saya tadi salah ingat.”
“Maaf Mas ya tadi saya nggak ikut ngaji.”
“Oh nggak papa. Udah Mas, nggak usah diterusin. Rumputnya kan udah rapi.”
Matahari sudah kian meninggi. Baju saya basah oleh keringat (dan kalau pipi saya berair pun sepertinya itu akibat keringat juga deh). Saya berdiri, memakai sandal, dan beranjak meninggalkan Tanah Kusir.
Selang beberapa langkah, saya kembali lagi untuk mengambil gambar buat kenang-kenangan, juga panduan bilamana lupa kelak.
Satu misi selesai sudah untuk bulan Ramadhan tahun ini.