Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Seminar Peran Media MGB

Saturday, June 17, 2006

PETER F GONTHA pagi itu tampil lain dari biasanya di program televisi The Apprentice Indonesia. Selain berambut tipis (di tivi dia botak plontos) dan hanya memakai kaus polo-shirt (biasanya setelan jas), dia juga melakukan hal yang aneh untuk ukuran seorang bos yang di penghujung program, terletak nasib para karyawan magang di tangannya. Gontha berbicara penuh canda.

Donald Trump van Indonesia itu pada Rabu, 29 Maret 2006, silam memang sedang menyampaikan pandangannya dalam seminar bertopik “Peran Media dalam Pembangunan Bangsa dan Karakter Bangsa”, yang diselenggarakan Majelis Guru Besar ITB yang bekerjasama dengan Forum Kultur dan Teknologi serta TV Club – sebuah perkumpulan awak divisi program lintas stasiun televisi. Dia berbicara setelah Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas.

Gontha memaparkan hasil sebuah penelitian yang menyebutkan, siaran televisi membuat anak-anak menjadi lebih agresif dan berkurang IQ-nya. Ketika seorang anak yang agresif (secara individual) bertemu dengan anak lain yang agresif pula, jadilah mereka anak yang agresif secara kolektif. Tak heran jika kenakalan remaja meningkat. Dia juga menyoroti sinetron-sinetron yang ada sekarang, yang menurutnya hanya berisikan perselingkuhan, kebohongan, rumah sakit, kematian, dan air mata. “Orangnya mesti nangis. Itu sebabnya Insto laku keras di dunia sinetron.”

Hadirin banyak yang tergelak-gelak mendengarkan Gontha, terutama sewaktu dia mengeluarkan kritik mengenai sinetron-sinetron mistis. “Jangan sampai di bulan puasa – di bulan puasa nih – ada sinetron yang menayangkan pohon berubah jadi naga... naga jadi halilintar... halilintar berubah jadi orang... dan orang menjadi... menjadi pemasukan buat Ram Punjabi,” kata Gontha.

Tapi masalah banyaknya sinetron mistis yang berselimutkan azab agama tak bisa sepenuhnya dipersalahkan kepada pembuat sinetron atau pengelola televisi. Tingginya animo masyarakat yang menonton (yang diukur dari tingginya rating dan banyaknya iklan masuk) juga menyumbang andil. “Saya katakan pada Ram, ‘Ram, why do you make something like this?’ dan dia bilang ‘Oh Peter, Peter, people like it’” kata Gontha, sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri saat menirukan Punjabi. Dia lalu dengan cepat menambahkan bahwa dirinya dengan Si Raja Sinetron berteman.

Di akhir pembicaraan, penyelenggara Java Jazz Festival ini menyarankan agar peraturan yang menyangkut penyiaran segera dibuat, guna menentukan apa-apa saja yang mesti ada di televisi Indonesia. Atau dalam istilah Jakob Oetama, platform. “Kalau anak kita menyukai gula-gula, bukan berarti kita boleh berikan dia gula-gula setiap hari,” kata Gontha.

Kemudian, sebagai bos, dia lagi-lagi aneh. Disebutnya dirinya sebagai “asal muasal dosa ini” – dia mengaku dosa! Wah, apa kabar “bos selalu benar”?

***

WIDIYANTO adalah editor pada Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Dalam liputannya yang berjudul “Televisi Batavia” – dikerjakan dengan sponsor UNESCO lewat yayasan Pantau – dia menyebutkan, industri televisi di Jakarta cenderung menjadi lembaga bisnis belaka.

Ketika tayangan kriminal naik daun, tulisnya, hampir semua televisi berlomba “berdarah-darah”. Dan ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat peringkat (rating) bagus, seluruh televisi ramai-ramai menayangkan talkshow dan sinetron komedi (tak lucu) soal seks. Saat ini, kecenderungan bergeser ke tayangan mistis mulai reality show dunia gaib sampai sinetron siksa kubur, dan hampir semua televisi jualan “siksa kubur”. Tak kurang dari 20 program sinetron jenis ini tayang setiap minggunya.

Dan itu belum semuanya. Sinetron-sinetron berlatarbelakang kehidupan pelajar SMA dengan seragam entah mengikut peraturan negara mana, juga makin lama makin banyak. Isinya kebanyakan berupa pertengkaran remaja, serta menggambarkan guru sebagai seseorang yang bodoh dan tukang marah-marah belaka. Seorang Kepala SMA yang hadir dalam seminar ini, angkat suara mengeluh betapa sinetron-sinetron remaja jenis begini makin membuat pihaknya tidak dipandang hormat oleh murid. “Bagaimana kami mau mendidik, kalau kami tidak dihormati?” katanya setengah menggugat.

Kalau terus-terusan begini, berarti peran media adalah membentuk karakter bangsa yang percaya klenik, serta tak hormat pada guru?

Tidak demikian bagi Ishadi SK, direktur utama Trans TV. Dia tidak terima jika televisi kebagian yang jelek-jelek melulu. Berbicara pada sesi kedua (setelah makan siang) bersama Prof. MT Zen, Ishadi mengatakan bahwa di televisi juga ada program bagus, hanya kurang diperhatikan. “Seperti di Trans, kami punya Fenomena, tapi juga punya Good News dan Jelajah.”

Lebih jauh dia berpendapat, apa yang terjadi pada televisi dewasa ini adalah akibat dua hal. Pertama, kegembiraan terhadap berakhirnya pengekangan media selama sekian lama oleh Soeharto. Setelah Soeharto jatuh dan surat izin usaha penerbitan pers tidak diperlukan lagi, tiap orang bebas mendirikan media, termasuk televisi. Jumlah media pun meningkat pesat. Persaingan ketat. Ini membuat pengelola televisi lebih mementingkan unsur keterjualan ketimbang mutu sebuah acara. Bagaimanapun, siaran butuh biaya.

Kedua, terkait dengan ungkapan bad news is good news. Media lebih suka memberitakan kejadian-kejadian “seram” ketimbang hal-hal baik yang sebenarnya terjadi juga di masyarakat. Sebab, berita buruk adalah berita bagus. Dua hal tadi pada akhirnya membentuk citra televisi yang buruk, yang tidak menyajikan program bermutu.

“Jadi ibaratnya dari keadaan ekstrem yang satu (terkekang), beranjak menuju ekstrem yang satunya lagi (bebas),” kata Ishadi memberi analogi. “Nantinya akan terjadi keseimbangan.”

***

Seminar ini berawal dari keinginan beberapa anggota Majelis Guru Besar – khususnya mereka yang ada di Komisi Kebangsaan – untuk “berbuat sesuatu demi bangsa”. Mereka tadinya memang hendak bikin seminar soal pembangunan karakter bangsa, tapi tak punya duit. “Eh kok ya kebetulan, ternyata teman-teman dari TV Club juga ingin mengadakan seminar dengan topik yang mirip-mirip. Ya sudah kita jajaki kerjasama,” kata Prof. I Gede Raka dari Majelis Guru Besar.

Setelah seminar yang pertama, seminar lanjutan diselenggarakan di Balai Pertemuan Ilmiah di Jl Surapati, pada Jumat dan Sabtu, 28 - 29 April. Kali ini, topiknya “Peran Media dalam Pendidikan Masyarakat dan Perubahan Sosial”.

Jadinya memang agak lucu. Membicarakan media di hadapan bukan orang media. Peter Gontha bisa santai mengaku dosa, disambut tepuk tangan hadirin segala. Dan Ishadi SK; dia pun bisa tersenyum mengaku tidak punya dosa (“karena waktu saya mau benerin TVRI, saya dipecat Harmoko”).

Tapi siapa tahu, mungkin justru dari situ perbaikan bisa dimulai. []

Polisi dan Gorengan

Saturday, June 10, 2006

Selepas sholat Jumat siang kemarin, saya dan Engkong pergi mengantarkan koper ke Bumi Wiyata. Karena tak bertemu orang yang kepada siapa koper ini hendak diantarkan (haiah, ribet betul), saya titipkan saja ke resepsionis. Sudah itu pulang. Tapi rupanya Engkong mau beli singkong goreng dulu di seberang terminal Depok.

Dia tetap di motor, saya turun mengantri. Singkongnya masih digoreng. Saat mengantri itulah, datang seorang polisi yang baru kelar makan di warung tegal belakang gerobak gorengan. Perutnya buncit, mulutnya masih berminyak. Dia berdiri persis di samping saya.

Si tukang gorengan ternyata ngeh ada polisi berdiri-diri nggak jelas. Watak rakyat kecilnya langsung keluar. “Eh, monggo mas, gorengan?” katanya. Tapi hingga si penjual menawarkan tiga kali, polisi tetap bergeming.

“Gorengan opo?” — akhirnya dia bersuara. Tapi dari nada suaranya, belum bisa ditebak apakah dia hendak beli atau sedang sensus. Dijawab oleh penjual, “Molen, tahu, pisang, monggo wae,”

“Molen deh.”

Disinilah saya jadi keki. Soalnya, si tukang gorengan ini langsung menanggalkan prinsip first come first served-nya yang mestinya dipegang teguh. Dia enak saja mengabaikan singkong pesanan kami, yang masih digoreng dan butuh perhatian, untuk kemudian buru-buru meladeni pesanan Pak Polisi. Diisinya satu kantong penuh. Saya tunggu, saya tunggu, saya tunggu, dan benar saja: polisi itu tidak bayar.

Praktek pemungutan upeti yang sepantasnya sudah lama berakhir seiring kebangkrutan Majapahit baru saja terjadi di depan mata saya.

“Kok polisi itu nggak bayar?”

“Oh, itu... Temen saya kok Mas,”

“Wah, kalo gitu saya jadi pengen jadi polisi juga,” kata saya sambil menerima singkong pesanan, naik motor terus pulang.

(Ngomong-ngomong, gorengan dia ini memang enak. Singkongnya kriuk-kriuk di luar, tapi empuk di dalam. Tahunya juga, matang luar-dalam. Enaklah — mungkin karena gratis)

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by