Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Marbatat Anggota DPR

Sunday, July 29, 2007

Wartawan Bisnis Indonesia mungkin sedang terlalu bersemangat ketika menulis berita ini, sehingga pada kalimat pertama dia salah mengetik.
JAKARTA (Antara): Pernyataan Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono dinilai merendahkan marbatat anggota DPR RI.
Tapi sempat terbersit di pikiran usil saya, jangan-jangan dia memang sengaja menulis marbatat begitu. Sebab sudah sedikit sekali anggota DPR RI yang masih punya martabat.

Yah, siapa tahu kan? Hehehe.

"Tim Sukses"

Friday, July 27, 2007

Adalah mengherankan bagi saya menonton atau membaca berita mengenai “tim sukses” akhir-akhir ini. Terlebih menjelang pemilihan gubernur Jakarta pada awal bulan muka. Hampir tiada hari tanpa berita soal tim sukses Anu begitu dan tim sukses Ani begini. Seingat saya tidak ada sebelumnya perhelatan pemilihan kepala daerah yang menyita perhatian sebesar pemilihan gubernur Jakarta ini – huh, dasar sentralisasi menyebalkan.

Mengapa mengherankan? Sebab pengertian “tim sukses” tidaklah jelas benar. Apa sih tim sukses itu? Sebuah tim yang sukses/berhasil? Kan belum tentu.

Sejarah mencatat (sengaja saya tuliskan kata “sejarah” supaya Zen dkk. berminat menanggapi hehe) tim sukses Wiranto, Megawati, Amien Rais, dan Hamzah Haz sebagai “tim sukses yang gagal” dalam pemilihan Presiden pada 2004 silam.

Padahal, bagaimana mungkin tim sukses bisa gagal? Itu kan contradictio in terminis.

Sebenarnya ada pilihan kata yang lebih baik, yang sebenarnya sudah juga digunakan selama ini, yaitu “tim kampanye”. Pengertiannya pun sangat jelas: sebuah tim yang berkampanye atau mempersiapkan urusan kampanye bagi si calon gubernur. Tidak akan tercipta kontradiksi bila tim ini gagal atau berhasil.

(Melalui pencarian lewat Google.co.id saya mendapatkan 2530 artikel dengan “tim sukses” dan 1230 “tim kampanye” di Kompas.com. Sementara, di Tempointeraktif.com keadaannya terbalik; 4030 “tim sukses” dan 5530 “tim kampanye”)

Lantas mengapa media lebih memilih “tim sukses” daripada “tim kampanye” – atau setidaknya menuliskan keduanya berdampingan?

Akan jauh lebih baik bagi media bila mereka tidak genit menulis “tim sukses”. Akan lebih tercerahkan bagi masyarakat bila media tetap bertahan dengan “tim kampanye”.

Ada beberapa alasan:

Pertama, jika yang dimaksudkan dengan “tim sukses” adalah tim yang berusaha menyukseskan si calon, maka frase itu kurang “kena”. Semestinya “tim penyukses”. Jadi jika tim ini gagal atau berhasil, takkan ada kontradiksi. Secara logika pun lebih tepat.

Kedua, bukankah parameter sukses/keberhasilan hanyalah kemenangan dalam pemilihan? Si Anu menang, tim kampanye Anu sukses. Si Ani kalah, tim kampanye Ani gagal. Sesederhana itu bukan?

Nah supaya menang, si Anu butuh jumlah suara yang lebih banyak dari si Ani. Berlaku juga sebaliknya. Dalam rangka meraup suara sebanyak mungkin, mereka mengajak-membujuk-merayu masyarakat untuk memilih dirinya – itulah yang namanya “kampanye”.

Jadi apapun yang dilakukan sebuah tim untuk menyukseskan calonnya, sebenarnya setali tiga uang dengan kampanye. Buat apa bikin kosakata baru yang tak jelas – “tim sukses” – kalau begitu?

Ketiga, ini lebih didasarkan pada prasangka buruk. Saya curiga frase “tim sukses” dimunculkan (coined) oleh tim kampanye itu sendiri untuk mengesankan mereka sudah sukses. Kalau kecurigaan ini benar, bayangkan betapa senangnya mereka mendapatkan pertolongan media demi mengesankan kesuksesan itu, dengan gratis pula. Bayangkan pula betapa tololnya media yang tanggungjawab pertamanya ada pada publik, bukan politisi, dengan memberi pertolongan seperti itu.

Juga bayangkan betapa ruginya masyarakat, dengan didadahkan pencitraan seperti itu.

Besar harapan saya, ke depannya media akan kembali bertahan kuno dengan menulis “tim kampanye” dan tidak genit dengan “tim sukses”. Menjadi kuno kan bukan dosa sepanjang alasannya tepat?

Debat Tim Calon Gubernur Jakarta di SCTV

Thursday, July 26, 2007

Tadi malam di SCTV ada debat tim sukses calon gubernur Jakarta. Awalnya saya kira debat ini akan berjalan membosankan (soalnya pakai ada acara adu yel-yel segala sih). Tapi ternyata tidak juga. Debatnya bisa dibilang “hidup” – dengan alasan yang mohon maaf akan terdengar subjektif.

Dari pihak Adang ada Igo Ilham, sementara dari pihak Foke ada Idrus Marham. Secara kualitas penampilan, saya kasih skor 1 untuk Igo. Tutur kata dan intonasi dia teratur dan menarik. Tidak banyak retorika dan sangat mudah dicerna. Dia sangat tenang, banyak menebar senyum, pokoknya simpatik sekali lah (ini kali pertama saya melihat Igo Ilham dan saya jujur terkesima hehehe).

Sedangkan Idrus mirip penceramah malam tadi. Dia beberapa kali mengutip ayat suci Al-Quran dalam argumennya – sesuatu yang bagi saya kurang perlu. Selain karena dia bisa mencari argumen lain, ayat yang dikutip pun tidak terlalu “kena” dalam debat itu. Jadi tidak bernas. Pada beberapa babak dia juga nampak gusar dan akibatnya gelagapan.

Kalau PKS (yang bernafaskan Islam) saja sama sekali tidak menyitir ayat suci, mengapa pula koalisi partai-partai (yang bernafaskan “pluralisme”) merasa perlu melakukannya?

Dalam 4 menit waktu yang diberikan pemandu debat, Igo berhasil memaparkan program Adang. Sedangkan Idrus? Sampai menit ke 3 saya masih belum menangkap apa poin dia.

Selanjutnya pemandu debat melontarkan pertanyaan tentang banjir, masalah abadi kaum Jakartanensis. Idrus diberi kesempatan menjawab lebih dulu. Setelah mengatakan bahwa banjir adalah persoalan kompleks dan karenanya diperlukan penanganan bersama dalam menanggulanginya, dia menjamin dalam 3-4 tahun tidak akan ada banjir lagi jika Foke menang. Alasannya?

Foke sudah dan lebih tahu pemetaan masalah Jakarta. Dia juga ahli perencanaan tata kota.

Tentu saja ini poin empuk untuk diserang. Kalau saya jadi Igo pun saya akan mempertanyakan hal serupa: mengapa tidak dari dulu? Mengapa baru sekarang? Bagaimana bisa keluar angka 3-4 tahun sedangkan selama ini toh Jakarta selalu kebanjiran?

Idrus bertahan dengan mengatakan, bagaimanapun Foke sudah lebih paham. Ini jauh lebih baik ketimbang “orang baru” yang tentunya memerlukan waktu untuk belajar lagi – sementara Jakarta tidak bisa menunggu. Tiba-tiba pengacara Ruhut Sitompul (yang duduk di pihak Foke) berdiri dan menambah huru-hara.

Ruhut memulai dengan mengatakan “surga itu di telapak kaki ibu!”, “aku Poltak si raja minyak dari Medan”, dan “ada iklan di televisi seorang nenek mengatakan, buat anak kok coba-coba”. Nah, kata dia, kalau untuk anak saja tidak boleh coba-coba, bagaimana Jakarta?

Hahaha. Sebuah argumen yang pantas diikutkan lomba atletik karena mampu melompat sedemikian jauh.

Terhadap “Foke lebih tahu dan ahli”, Igo menjawab bahwa persoalan menjadi gubernur adalah persoalan kepemimpinan, bukan keahlian. Gubernur adalah seorang generalis, bukan spesialis. Untuk urusan teknis kita bisa membekerjakan para ahli. Persoalannya sekarang adalah niat. Bertahun-tahun dana pembangunan Banjir Kanal Timur dikeluarkan tapi kok proyek itu tidak kunjung selesai.

Oya, perkataan Ruhut yang membawa-bawa Poltak (karakternya dalam sinetron Gerhana) juga menyebalkan. Entah kenapa saya tidak pernah suka orang yang menggunakan karakternya dalam sinetron/film untuk tujuan politik. Saya pun membenci Ruhut dengan kadar yang sama saya membenci Rieke Dyah Pitaloka dan Rano Karno – yang setelah gagal jadi calon gubernur malah tampil mendukung Foke sebagai Si Doel.

Saya hendak memotong skor pihak Foke untuk argumen yang dodol ini, tapi mereka belum punya satupun. Ya sudah, kalau begitu tambahan skor saja untuk pihak Adang. Jadi 2-0.

Saya juga tadinya hendak memberikan skor kepada pihak yang mengucapkan “Kanal Banjir Timur” tapi baik Igo maupun Idrus tidak ada yang mengatakan demikian.

Sekarang pemandu debat berlanjut ke persoalan kemacetan lalu-lintas, yang juga masalah abadi. Igo mengatakan akan “meneruskan yang sudah ada” seperti proyek busway, monorail, dan lain-lain. Ini langsung langsung disambar Idrus, yang mengatakan “nah kan, sudah diakui sendiri kan keberhasilannya”. Dia kemudian meminta semua pihak jangan ambivalen. Di satu sisi mengungkapkan kegagalan, tapi di lain sisi mengakui keberhasilan.

Ini juga mendapat balasan: Sutiyoso sendiri sudah mengakui bahwa busway adalah proyek dia, bukan Foke.

Dijawab lagi: keberhasilan Sutiyoso kan berkat andil Foke juga.

Dibalas lagi: kalau begitu pihak Idrus pun tak kalah ambivalen. Untuk keberhasilan, Foke dibilang punya andil. Tapi giliran kegagalan, Foke tak ada andil?

Hahaha. Seru sekali bukan?

Ketika membahas kemacetan ini, Ruhut kembali berdiri. Dia menyindir adanya sebuah partai yang melakukan demonstrasi dan akibatnya memacetkan Jakarta. “Apa partainya? Kitalah yang tahu...” katanya sambil tertawa. Ini jelas menyindir PKS. Apa jawaban Igo Ilham?

“Kalau memang tak ada lagi partai yang membela rakyat, PKS lah yang turun.”

Dahsyat.. Saya suka orang yang blak-blakan. Saya benci tukang sindir. Tambah skor lagi lah buat Igo. 3-0.

Setelah itu debat dilanjutkan dengan persoalan kriminalitas dan pengangguran. Sama seperti sebelumnya, ada juga “berbalas pantun” di sini. Tapi esensi debatnya sih sama saja. Yang satu melihat pemerintahan sekarang sebagai berhasil (dan ada andil calon mereka di situ) sedangkan yang satu lagi melihat pemerintahan sekarang gagal dan karenanya mesti diganti.

Idrus sempat hampir bunuh diri dengan mengatakan pasar tradisional akan semakin berkembang jika Foke menang. Hahaha. Memangnya siapa yang selama ini mematikan pasar rakyat dengan membangun pusat perbelanjaan di mana-mana?

Baiklah. Karena sepertinya saya sudah berbicara terlalu panjang, ini penilaian terakhir. Calonnya Igo sudah mengundurkan diri sejak 8 bulan yang lalu sementara calonnya Idrus hanya cuti. Tambah lagi deh skor untuk Igo. Saya benci kutu loncat sih. 4-0. Saya kasih skor juga untuk pemandu debat, Andy Budiman, yang memberi cukup ruang bagi peserta debat. Tegas tapi tidak galak.

Akhir kata, Igo Ilham menang telak malam tadi. Saya kira akan sayang sekali jika kemenangan itu tidak kembali terulang pada 8 Agustus nanti.

------
Bagi yang belum menonton (atau sudah tapi masih pengen lagi), silakan klik di sini.

Antara Salah Ketik

Monday, July 23, 2007

Agaknya ketika menulis berita ini, wartawan Antara sedang terburu-buru sehingga pada alinea ke-11 ia salah mengetik.
Ia mengatakan, selama dalam perawan, kondisi Wendi pingan bahkan mungkin koma, karena dokter di Sumedang saja tidak sanggup menanganinya hingga harus dibawa ke RSHS Bandung.
Mungkin yang dimaksud adalah "perawatan" dan "pingsan". Sayang sekali ya...

Sekelompok Pemalu

Sunday, July 22, 2007



Inilah gambar sekelompok pemalu yang sebelumnya menolak tawaran makan siang dari teman-teman Politeknik Bandung sebab sedang mengejar waktu untuk mengurusi terbitan. Mereka datang ke sana untuk menghadiri seminar dalam rangka persiapan pembentukan pers mahasiswa Politeknik.

Tapi sesampainya di halte menunggu angkot, mereka tak kuasa menahan lapar. Maka beginilah jadinya.

Nasi kotak yang disetujui untuk dibawa pulang, mereka “hajar” pada jarak sekitar 100 meter dari gedung Politeknik. Padahal kalau ketahuan, waduh.. Betapa memalukannya hahaha.

Banyak Media Itu Bagus

Wednesday, July 18, 2007

Sebagaimana pernah saya tuliskan ketika berkomentar di blognya Maul dan Indi, satu hal yang saya rasa kurang dari film “Harry Potter: Order of Phoenix” adalah tidak dimunculkannya “konflik” media antara The Daily Prophet dan The Quibbler. Mungkin dalam rangka memendekkan durasi film supaya tetap enak ditonton – dan nggak bikin bioskop bangkrut gara-gara tagihan listrik – bagian ini dihilangkan. Kecewa deh saya.

Soalnya “konflik” ini menarik. The Daily Prophet adalah harian ternama di kalangan kami kaum penyihir di Inggris. Sirkulasinya luas, dibaca banyak orang, dan sangat berpengaruh. Kalau di kalangan kalian para muggle, koran ini mirip Kompas lah.

Sedangkan The Quibbler adalah majalah yang isinya kebanyakan aneh-aneh, yang membuat reputasi majalah ini kurang begitu terpandang. Ayah Luna Lovegood bekerja sebagai editor di sini.

Ketika The Daily Prophet merapat ke Kementerian Sihir (duh, penyakit media mainstream banget sih) kemudian ikut-ikut mencap Harry sebagai pembohong, banyak orang terpengaruh. Mereka tak percaya Voldemort telah hidup kembali. Mereka tak percaya Voldemort membunuh Cedric Diggory. Mereka percaya Harry penipu.

(Kalau di dunia kalian, ini miriplah dengan kasus penyerangan Irak. Para muggle Amerika banyak yang percaya begitu saja bahwa Irak perlu “dibebaskan” – meskipun itu berarti membumihanguskan kota orang dan menggantung mati pemimpin yang sah)

Untunglah ada Luna Lovegood yang percaya Harry. Dan untunglah ada Hermione yang dengan cerdik memaksa seorang wartawan Prophet untuk mewawancara Harry soal kebangkitan Voldemort. Wawancara ini lalu dipublikasikan di Quibbler. Si wartawan, Rita Skeeter, tak kuasa menolak sebab kalau tidak, rahasianya sebagai animagus-tak-terdaftar akan dibongkar.

Masyarakat penyihir pun akhirnya mendapat informasi “tandingan” yang kemudian terbukti benar. Voldemort memang telah kembali. Menarik bukan?

Saya cerita rahasia sedikit ya... Sebenarnya antara kehidupan kami dan kehidupan kalian tidak terlalu jauh berbeda kok, terutama jika dilihat dari peran media. Media kita sama-sama bisa mengangkat nama seseorang dengan cepat, namun bisa pula menjatuhkannya dengan lebih cepat lagi. Media kita sama-sama bisa tidak kritis dan terlalu percaya pada penguasa, tanpa mau memberi ruang bagi informasi tandingan. Media kita pun sama-sama bisa terjerumus menghalalkan segala cara dalam mencari berita. Pendeknya: media kita sama-sama bisa salah!

Bayangkanlah betapa berbahayanya jika kami hanya punya Prophet, atau Quibbler. Dari mana kami bisa mendapat informasi tandingan? Bayangkan pula betapa berbahayanya jika kalian hanya punya Kompas atau Tempo. Dari mana kalian bisa mendapat informasi tandingan?

Selain itu, menyebalkan sekali bukan mendapatkan informasi dari satu sumber? Saya masih ingat betapa bosannya menonton berita dari televisi kalian TVRI – yang dulu wajib disiarkan tiap jam 7 dan 9 malam. Ditambah lagi, satu-satunya pihak yang diuntungkan dengan adanya dominasi/monopoli informasi adalah penguasa. Bukan masyarakat.

Jadi bersyukurlah kalian punya banyak media.

Jangan seperti sebuah kampus muggle di Bandung yang sedang ingin menyatukan media-media. Mereka itu sudah bagus sebenarnya. Ada radio, televisi, majalah, dan tabloid. Eh malah ingin digabungkan. Mereka bilang begini: “bukan satu suara, tetapi satu pintu.”

Padahal baik demi satu suara maupun satu pintu, yang namanya integrasi media tetap saja sebuah kemunduran bukan?

When News Happens

Tuesday, July 10, 2007

When news happens: send photos, videos & tip-offs to 0424 SMS SMH (+61 424 767 764), or email us.


Di tengah pagi yang superdingin itu dia berjalan agak bergegas. Dia takut terlambat menghadiri pengarahan pengawas SPMB 2007. Gara-garanya? Dia menghabiskan waktu untuk mendidihkan air buat cuci muka, dan setelah itu bukannya berangkat malah menyetrika ulang kemejanya supaya masih hangat ketika dipakai. Dia sebenarnya agak menyesal telah melakukan dua perbuatan sia-sia itu, karena pada akhirnya toh tetap kedinginan.

Ya sudahlah. Sekarang toh dia sudah sampai di restoran Aceh (yang waktu itu masih direnovasi). Setelah ini akan melewati toko sepatu, rumah dinas rektor, lalu operator CDMA, lalu dealer mobil... Lalu aha!

Di depan sana kan ada minimarket 24 jam. Dalam hati, dia berniat mampir sana sebentar. Segelas kopi panas akan bisa membantu melawan hawa dingin seperti pagi itu, bukan?

Maka berjalanlah dia ke sana. Namun sesampainya di depan toko, niat itu urung terlaksana. Dari luar, terlihat olehnya ada antrian panjang di depan meja kasir. Kalau tetap masuk ke dalam, bisa-bisa makin banyak waktu yang dia habiskan. Kasir minimarket ini soalnya belum pernah sekalipun masuk nominasi penghargaan sebagai kasir-kasir tercepat. Apalagi dengan mesin kas mereka yang cuma satu.

Dia bisa-bisa makin terlambat. Dan karena takut makin terlambat, dia akhirnya berjalan terus dan berbelok ke Jalan Dayang Sumbi.

Tidak dipedulikannya ada mobil Kijang terparkir dengan kepala menghadap ke jalan. Tidak diperhatikannya ada dua orang dalam mobil yang tiba-tiba merunduk saat dia melintas. Tidak dirasakannya ada sesuatu yang aneh pada pagi itu.

Yang dia pikirkan hanyalah mengawas SPMB. Itu saja. Untunglah dia datang tepat pada saat pengarahan akan dimulai. Lalu dia pun mengawas. Berada dalam sebuah ruangan dimana waktu terasa berjalan sangat lama.

Pada siang hari, usai mengawas, dia pun berjalan pulang dengan hati riang sebab membayangkan ada Soekarno-Hatta yang terbungkus amplop di kantong kemejanya. Setiap kali melirik ke arah kantong kemejanya, dia nyengir. Dia sudah tak sabar hendak membelanjakan hasil jerih payahnya melawan kantuk, di ruangan yang aliran waktunya berjalan sangat lambat tadi.

Dia tiba-tiba kalap. Dan kalau sudah kalap, dia impulsif. Dan kalau sudah impulsif, dia mau mampir sebentar di minimarket 24 jam tadi. Pembalasan!

Maka bayangkanlah keterkejutannya demi melihat minimarket itu kini ditutupi plastik kuning bertuliskan "garis polisi". Dia tak bisa masuk dan berbelanja sebab minimarket itu kini ditutup sementara, guna keperluan penyidikan dan reka ulang kejadian. Rupanya tadi pagi sekali ada perampokan.

Dari situs berita di Internet di rumah dia kemudian membaca bahwa ada enam orang perampok. Mereka bersenjatakan pistol dan mengendarai Kijang -- yang diparkir menghadap jalan. Empat orang masuk lebih dahulu, mengamati keadaan. Setelah itu mereka bersama-sama mendekat ke kasir (membentuk antrian panjang). Saat itulah, dua orang sisanya masuk (yang tadinya masih di mobil). Mereka menggasak Rp 12 juta. Ditambah sebuah mobil Jazz milik seorang calon pembeli, yang datang di tengah perampokan berlangsung.

Tiba-tiba kepalanya agak pening karena membayangkan apa jadinya kalau pagi itu dia tidak menjerang air dan menyetrika kembali kemejanya. Dia mungkin akan sempat punya waktu untuk membeli kopi. Dan itu berarti, mungkin juga dia akan ikut disekap dalam gudang.

When news happens... how would you know that you're witnessing one?

------
Gerombolan Berpistol Rampok Circle K Dago

SPMB 2007

Friday, July 06, 2007



Being in this room reminds me of my own admission test few years ago. And... that stupid supervisor who accidentally bumped into my right elbow while I was filling out my name. No wonder I had a beautiful curve on the answer paper.

But I was cool though. I didn’t get mad (How could I? It’s an accident).

So I just waited. Right after he, in a tone of innocent puzzlement, said to me “Eh kecoret ya?” — THAT’s when I decided to get mad.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by