Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

A Mighty Heart

Tuesday, December 28, 2004

Daniel Pearl adalah seorang wartawan Wall Street Journal yang sedang bertugas di Karachi, Pakistan. Suatu hari, ia menghilang diculik sekelompok aktivis Islam fundamentalis – apapun artinya itu – yang menuduh Daniel anggota CIA dan Mossad.

Mariane, istri Daniel, sedang mengandung anak pertama mereka masa itu. Dia cemas dan berusaha mencari suaminya. Dibantu teman-temannya, Mariane melacak semua nama yang berhubungan dengan Daniel. Metode yang dipakai tak sembarangan. Maklum, Mariane juga seorang wartawan – dia bekerja untuk Radio France International.

Begitulah, usaha pencarian terus dilakukan. Sampai suatu saat, datang kepada mereka sebuah video berisi rekaman adegan mengerikan: kepala Daniel dipisahkan dari tubuhnya, dijambak rambutnya, dan diayun-ayunkan.

Atas sebuah kisah yang begitu memilukan, sekaligus menggambarkan keteguhan hati seorang istri, pantaslah jika buku tempat kisah itu dituangkan berjudul A Mighty Heart. Buku ini bertutur tentang kegelisahan, pencarian, sekaligus penantian penulisnya, Mariane Pearl.

Sementara itu, jauh dari Karachi, di tempat yang baru saja dihantam tsunami: Aceh, ada seorang Sori Ersa Siregar, wartawan RCTI, yang terbunuh dalam baku tembak TNI-GAM 29 Desember 2003.

Tak seperti Daniel yang kemudian dikenang dengan sebuah yayasan, apa yang Ersa dapat?

Hmm, mari kita dengar apa kata Jakob Nuwawea, mantan Menteri Tenaga Kerja RI:
“Coba, teman kalian saja yakni Ersa Siregar (wartawan RCTI yang tewas di Aceh) itu ganti ruginya mencapai Rp 300 juta lebih. La ini direktur kok ganti ruginya cuma segitu (Rp 126 juta),” sesal Jakob Nuwawea usai menemui Presiden Megawati di Istana Negara, Senin (26/1) kemarin.
-Harian Surya, 27 Januari 2004

teriring ucapan terimakasih untuk Kety, yang telah meminjami saya buku A Mighty Heart.

Post-Power Syndrome

Tuesday, December 07, 2004

Soeharto konon terkapar sakit akibat tidak lagi menjadi Presiden Republik Indonesia – gelar yang melekat padanya selama 32 tahun.

Selain itu, banyak saya dengar betapa banyak mantan pejabat yang jadi labil emosinya. Mereka seakan kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan membiarkan kesedihan itu menyeretnya ke dalam lamunan, hingga akhirnya sakit.

Memang ada juga yang tak sampai sakit, tapi paling tidak jadi gampang marah-marah.

Mungkin ini terdengar paranoid, tapi apakah saya akan terserang sindrom yang sama? Apalah saya ini, hanya melepas jabatan Pemimpin Redaksi Boulevard ITB. Tapi, jabatan yang mungkin tak seberapa itu sangat susah dilupakan. Aduh, rasanya baru kemarin saya belajar bagaimana cara menjadi pemred. Aduh, rasanya belum lama ini saya membidani kelahiran SELASAR. Aduh, dan aduh lainnya terus membayangi pikiran saya.

Apakah Boulevard tetap terbit dengan informasi keren, dan diminati banyak orang?

Apakah SELASAR bisa terbit konsisten tiap pekan, dan dinanti banyak orang?

Saat saya paksakan berpikir untuk menjawab, otak saya menolak. Ia sepertinya lebih mendengar perintah bagian diri saya yang lain – yang menyuruhnya berhenti bekerja.

Ia yang seperti berkata “Tunggu saja. Biarkan penerusmu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi”.

Sekali ini, saya diam dan tertunduk patuh.

Olahraga Otak di Kantin

Friday, December 03, 2004

Kamis siang itu, saya – seperti biasa – menghabiskan waktu di depan komputer Zaki (yang diberdayakan di Boul). Saya sebenarnya sudah lapar, tapi malas makan sendirian. Saat itu, Akbar datang.

“Udah makan, krom?”

“Belum. Makan yok bar?”

“Gua sih udah.”

Sialan. Kalau memang sudah makan, apa gunanya bertanya dengan nada mengajak!

Saya putuskan segera beranjak ke KBL. Tak mau lagi menunda-nunda, soalnya tadi pagi limbah harian saya sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan pencernaan. Akbar pun ternyata juga mau ke KBL.

Disana saya bertemu Efri, alumni Boul. Ternyata dia baru saja ke sekre dan tiada orang disana. Tak sempat saya tanyakan maksud kedatangannya, dan langsung saja mengajak ngobrol sambil makan. Mulainya, dari “perkembangan terbaru kampus”.

Artinya, apa kabar Kusmayanto Kadiman, menteri ristek kita itu?

Lalu kami berlanjut ke soal tabloid edisi 50. Efri banyak mengomentari isi dan isu. Dia dengan tepat menebak bahwa kami bekerja terburu-buru. Tujuh hari persisnya.

“Gua suka tulisannya. Bersih, dan nggak kaku.”

“Thanks. Gua juga paling puas ama terbitan kali ini.”

Dan berlanjutlah pembicaraan kami siang itu. Sebagai ritual sehabis makan, saya hisap Lucky Strike milik Akbar. Satu batang. Dua batang. Sehabis itu, Akbar bilang dia mau pergi. Entah karena tak tertarik dengan diskusi dadakan kami, entah karena takut lama-lama rokoknya habis saya mintai.

Namanya juga dadakan, topik diskusi ngalor-ngidul kemana saja. Soal potensi anak Boul 2004. Soal muker yang akan berlangsung Sabtu-Minggu (4-5/12) di rumah Kety. Dan yang lumayan seru: soal fenomena kutu loncat di arena pemilihan rektor.

Saya ceritakan bagaimana semalam saya berdebat dengan Zaki, membicarakan masalah ini. Zaki tahu, saya sangat tidak menyukai mereka yang menjadikan pemilihan rektor sebagai ajang menaikkan gengsi, mengukur kepopuleran, dan menggadaikan jabatan sekarang untuk meraih tahta rektor. Saya benci mental itu. Kalau memang mau jadi rektor, tolong ya letakkan jabatan yang Anda pegang sekarang!

Soalnya, mereka yang sedang menjabat dan – pada saat bersamaan – ingin jadi rektor, sudah berkhianat terhadap jabatannya sekarang. Kemana komitmen mereka dulu, ketika maju jadi ketua departemen, sekretaris departemen, ketua senat akademik, atau apapun lah?!

Kini, bisa-bisanya mereka mengaku punya komitmen akan memberikan yang terbaik bagi ITB. Sekarang saja komitmen mereka terbukti rendah. Begitu ada kesempatan jadi rektor, langsung disambar...

Efri banyak diam ketika saya melancarkan argumen dengan nada tinggi. Sisa-sisa debat semalam masih membekas di benak saya. Diaa sesekali menimpali, tapi tetap bisa menahan diri agar tidak merangsang suara saya naik satu oktaf lagi. Saya terus berceloteh, sampai sadar sendiri kerongkongan saya kering.

Ah, kebiasaan berteriak saat membahas sesuatu yang menarik ini masih sulit juga saya hilangkan.

Kini giliran Efri. Dia bercerita tentang masa-masa kejayaannya di Boul. Mendapat sumbangan seribu dolar Amerika. Menerbitkan tabloid hanya berdua dengan Rendra. Setiap masa memang menyimpan cerita tersendiri, yang pasti bisa dibanggakan.

Dari tempat saya duduk, saya melihat Kety sedang berada di dekat situ. Dia saya panggil supaya berkenalan dengan Efri. Tak lama, datang Bintang. Lalu, Zaki pun bergabung. Jadilah kami berlima disana. Sekarang, topik bergeser ke yang lebih ringan.

Awalnya dari kesenangan Kety membaca novel-novel karya Fira Basuki. Saya menyampaikan tuduhan bahwa novel-novelnya itu bermuatan. Saya curiga Fira membuat pembaca akrab kepada room sharing, dan permisif terhadap free sex. Kety membantah tuduhan saya. Dia menikmati karya Fira dan bersikap biasa saja, tak terpengaruh.

Kami lantas menggeser topik lagi. Kety, yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, mengajak bermain di isu virginitas. Kami ladeni. Eh, Zaki malah jadi objek interogasi: apakah dia menuntut calon istrinya masih perawan? Efri – dengan kematangannya – berhasil “menjebak” Zaki. Satu pernyataan bagus keluar dari mulutnya. Ah, tak tega saya tuliskan di sini.

Satu lagi, isu feminisme juga sempat kami bahas. Berikut derivatifnya, metrosexual stuff. Kami meraba-raba, metroseksual sengaja dihembuskan untuk meningkatkan penjualan produk kecantikan. Jika perempuan berdandan, dan pria juga dibikin nyaman bersolek, maka produsen kosmetik yang senang, bukan?

Apapun, akhirnya saya sadar telah berada di kantin itu selama sekitar lima jam. Saya duduk, merokok, bercanda, berdiskusi (dengan sedikit ngotot), dan yang terpenting: olahraga otak. Tak terbayangkan betapa menyenangkannya aktivitas yang satu ini, dibanding hanya sekedar menonton televisi dan mengamati tayangan gosip.

Betapa asyiknya bisa bertukar pikiran, mendengar sudut pandang lain, berlatih merumuskan argumen, yang bermula dari percakapan sederhana!

Ah, saya tak sabar lagi menunggu kedatangan Efri selanjutnya. Apa mungkin, olahraga otak bisa semenyenangkan itu, tanpa dia? Lebih baik saya coba.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by