Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Antara Kekerasan Domestik dan Karma

Sunday, December 18, 2005

Barusan ini saya mendengar cerita yang tidak enak. Kami berencana hendak belajar bersama di rumah seorang teman. Tapi teman saya yang cowok dilarang datang, gara-gara salah satu teman yang lain, cewek, dilarang bergaul dengan cowok oleh pacarnya. Jadi pilihannya hanya dua. Kalau si cowok datang, maka si cewek ini tak akan ikut belajar. Kalau si cewek ini ikut belajar, si cowok tak boleh datang.

Teman saya yang cowok mengalah. Dia belajar sendiri.

Saya mengusulkan diri untuk berbicara pada pacar si cewek itu. Setidaknya setor muka, dan bilang baik-baik bahwa kami hendak belajar bersama. Bukannya berhura-hura atau ada kegiatan sejenis yang sanggup menimbulkan rasa cemburu berlebihan (saya pun paham rasanya terbakar cemburu; tidak enak). Posisi saya sepertinya cukup kuat. Toh hati saya sudah saya serahkan pada seseorang lain. Dan si cewek itu, dia bukan tipe cewek idaman saya.

Teman-teman yang lain melarang. "Elonya sih nggak bakal kenapa-napa, Kram. Tapi dianya besok malah yang biru-biru", kata mereka.

Saya terperanjat. Separah itukah sang pacar?

Cemburu dan kekerasan domestik buat saya adalah lain soal, meski cemburu memang bisa jadi pemicunya. Seseorang yang cemburu itu wajar -- rasa sayang biasanya kan datang sepaket dengan cemburu. Tapi kekerasan sama sekali bukan ekspresi kasih sayang, kecuali buat mereka yang tumbuh besar di penjara. Atau mereka yang berprofesi sebagai pawang gajah. Atau tukang topeng monyet. Atau penganut sado-massochist (dengan atribut cambuk, topeng, dan kalung berduri).

Menjadi posesif adalah urusan masing-masing; saya tak mau ikut campur dalam hal itu. Kita bebas melarang apa saja kepada pasangan kita. Namun kita bebas pula melanggar larangan yang kira-kira tak masuk akal. Apalagi jika pasangan kita tak punya dasar kuat buat melarang. Belum pun jadi suami, sudah mengekang. Sudah memukul. Saya penasaran kira-kira apa yang akan dijanjikannya kelak saat mengajak menikah?

Apakah kalian tidak mengajak bicara dia supaya meninggalkan pacarnya, saya bertanya. Mereka jawab sudah. Tapi si cewek ini bilang, dia menerima perlakuan itu sebab dia merasa inilah karmanya. Sebelumnya dia suka mendepak laki-laki. Saya lantas terdiam. Dalam bahasa friendster, inilah "it's complicated".

Rasanya percuma saja Raden Ajeng Kartini menulis puluhan surat yang kemudian dibukukan dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Percuma saja ada barisan feminis yang berusaha merombak tata nilai masyarakat supaya lebih menghargai wanita. Percuma saja ada Ayu Utami yang menjadi pionir gerakan ogah-nikah. Percuma saja ada iklan suami-istri mengangkat-angkat galon Aqua di televisi.

Percuma saja menyadarkan wanita bahwa mereka semestinya diperlakukan manusiawi dan setara.

Apa yang diucapkan teman saya yang malang itu, sesuatu tentang karma, (dan dari mana sih dia belajar soal itu?) membuat semuanya jadi percuma saja.

Agaknya inilah yang mesti dilakukan barisan feminis selain mempermasalahkan budaya patriarkal, mengutak-atik dalil agama, dan menggalakkan program emoh-nikah: tolong ajarkan kepada teman saya itu konsep karma yang benar!

Buat M Ma'ruf

Pak Ma'ruf, Muhammad Ma'ruf, Menteri Dalam Negeri saya.
Berapa banyak duit departemen Bapak keluar buat biaya iklan?
Iklan itu loh Pak, iklan kesuksesan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah.
Dibilang di situ (ada foto Bapak juga), 92 persen sukses.
Tapi kok nggak dijelaskan yang sisanya akhirnya diapakan?

Saya kan penasaran.

Bagaimana kalau Bapak menghentikan dulu iklan-iklan yang sudah ada.
Dan duitnya dialihkan buat pasang iklan yang lebih besar!
Yang bisa menjelaskan langkah-langkah departemen Bapak selengkapnya.
Berapa duit habis buat menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah.
Berapa persen yang sukses.
Berapa persen yang gagal (dan diapakan, jangan lupa).
Berapa duit anggaran bikin iklan.
Berapa duit biaya pasangnya.

Dan kalau misalnya ada juga berapa duit anggaran yang dikorupsi...
Wah saya bakal senang sekali Pak!

Saya tunggu ya Pak?
(Jangan ikut-ikut marah dikritik... Saya kan sudah berusaha sesopan mungkin nih).

Saya,
Ikram Putra

PS: Teman-teman saya mungkin ada yang mau menambahkan juga Pak, di kolom komentar di bawah ini. (Yang sopan ya teman-teman, para pejabat kita kan banyak yang dikaruniai kuping tipis).

Dilema Pramuniaga

Saturday, December 17, 2005

Meski sering sebal dengan tingkah laku mereka (terutama tatapan curigation-nya), saya menyadari betapa sesungguhnya bekerja sebagai pramuniaga itu susah. Pramuniaga, sebagai yang bersentuhan langsung dengan konsumen, mestilah ramah dan membantu. Ini kan supaya konsumen merasa puas dan semoga kembali datang berbelanja, bukan malah lari ke pesaing.

Di sisi lain, pramuniaga juga mesti punya kesetiaan tinggi kepada perusahaannya. Tapi sejak tidak ada batasan yang jelas antara seberapa membantu dan seberapa setia, seorang pramuniaga akibatnya harus pintar-pintar menjelaskan. Dan mungkin saja itu dilematis. Contohnya yang bekerja di Disc Tarra Dago ini.

"Mas, ada Tompi?" tanya saya.

"Waduh, lagi kosong Mas,"

"Adanya kira-kira di mana lagi dong?"

"Coba ke BSM deh Mas. Mungkin masih ada."

"Oh, BSM ya. Makasih."

Bayangkan. Dia begitu ramah dan membantu (dia menjawab pertanyaan saya tentang tempat lain mendapatkan Tompi). Dia juga menunjukkan kesetiaan tinggi kepada perusahaan (dia menyarankan saya mencari ke Disc Tarra Bandung Supermal yang jaraknya sekitar 10 kilometer).

Saya keluar Disc Tarra, kemudian berjalan kaki ke arah selatan. Melewati Bank Niaga. KFC dan Superindo. Fuji Film. Dan akhirnya sampai di Aquarius. Tidak sampai 100 meter.

"Ada Tompi?"

"Tompi ... ini," kata pramuniaga menunjuk ke CD bersampul putih.

Rencana terlaksana dengan beres. Hahah. Ternyata menjadi pramuniaga Disc Tarra bisa bikin nggak gaul ya. BSM, eh?

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by