Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Being a Ticket Reseller

Tuesday, November 29, 2005

I have just got back from the train station, trying to make some money. I did a ticket-resell. Considering this is my first time, I think I was not bad. I was nice -- I treated all my customers in a nice way.

I got to the station at 4.15 and a bit panic to see there were no queueing lines. I had made a plan to resell the ticket to people who are lining up, but it seemed I could sell it to no one. Not knowing what to do, I decided to wait still right in front of the souvenir shop.

From where I stood I saw a young man standing. He looked confused. So I walked toward him. Who knows?

"Mas, mau tiket Parahyangan jam lima? Saya nggak jadi berangkat..." I said.

"Wah, saya juga masih bingung ini, mau Argo apa Parahyangan,"

"Oh"

He was my first customer and I already knew he was confused. I should think about being a marketing executive someday.

"Kenapa-kenapa Mas?" suddenly a girl standing close to us asked me.

"Oh, ini Mbak. Saya udah beli tiket Parahyangan jam lima, tapi nggak jadi berangkat.."

"Kenapa nggak jadi?"

She was my second customer and she already got interested in knowing me further. I should think about being a public figure someday.

"Saya beliin buat pacar saya, tapi ternyata dia udah beli sendiri." (That lame excuse was the only thing that popped up in my head in a half second)

"Oh, kalo gitu nanti dulu deh Mas."

Then I moved to the information board, pretending to be reading something important there. After about five seconds, I saw my prospective customer coming: a sweet young lady in a hurry.

"Saya punya tiket Parahyangan jam lima. Mbak mau beli nggak?"

She looked at me a while and said "Kenapa kamunya nggak jadi?"

Damn, I really should think about being a public figure seriously.

"Saya mau berangkat sama temen-temen saya, lewat Cipularang." (This excuse sounds better than the first)

"Oh, apa saya bareng temen-temen kamu juga aja ya?"

I trembled. This was a situation where an amateur like me couldn't handle. I said to myself I was in duty. Must be professional. Then, "Hehe," I just smiled.

"Mana liat?"

"Ini. Jam lima, Parahyangan. Eksekutif."

"Nih." She handed me 100 thousands. Being a stupid amateur, I didn't prepare the change. All I have was 40 thousands in wallet. So I gave her all of it. "Saya nggak punya lima ribuan Mbak, jadi 60 aja deh."

"Wah, pake diskon. Makasih ya Mas!"

"Sama-sama,"

I walked out the station, stopped the angkot and headed home. What a nice ticket-reseller I have been, don't you think? :)

Brownies

Thursday, November 24, 2005

Setibanya di airport Cengkareng siang itu, Amelia langsung meluncur ke apartemen tunangannya. Dia kangen sekali Joe. Apalagi hari itu hari ulangtahun Joe. Amelia memutuskan datang diam-diam. Dia hendak memberi kejutan. Tapi malah Amelia yang terkejut.

Didapatinya Joe berada dalam bak mandi bersama wanita lain, telanjang bulat. They were in the middle of something. Joe rupanya punya caranya sendiri merayakan ulangtahun...

Amelia pun terguncang. Didi, sahabat kental Amelia, tak tahan melihatnya berlama-lama galau. Dikenalkannya Amelia pada Are, pemilik sebuah toko buku yang juga seorang pembuat kue brownies yang handal. Cinta pun tumbuh antara Amelia dan Are -- tentu dengan bumbu-bumbu konflik yang menambah ramai cerita.

***

Saya membaca novel "Brownies" lebih dulu daripada menonton filmnya. Kebanyakan kan film diterjemahkan dari novel, tapi "Brownies" mengalami sebaliknya. Ia hadir dalam bentuk film lebih dulu, baru kemudian ditulis ulang oleh Fira Basuki menjadi novel. Untuk pekerjaan ini, Fira memang handal.

Saya merasa membaca novelnya lebih mengasyikkan ketimbang menonton filmnya.

Alasannya menyangkut pemilihan pemain buat beberapa karakter: Are, Joe, dan suaminya Didi. Melihat mereka dan penampilan mereka, imajinasi saya tentang cerita jadi rusak.

Are diceritakan sebagai seorang pembaca buku. Pintar, berwawasan luas. Saat bersama Amelia, dia berceloteh tentang falsafah perempuan Jawa ("dari luar saja terlihat pasrah, tapi dibalik itu semua...") dan laki-laki Jawa ("...yang paling bisanya main judi"). Are juga merepet panjang saat diajak ke mal ("kamu tahu nggak, orang miskin sengaja digusur buat memenuhi hasrat berbelanja orang kaya"). Are tak doyan Mc Donald ("maaf, aku nggak makan makanan kapitalis"). Dan terakhir, Are juga menyuruh Amelia membaca Das Kapital supaya tahu perbedaan antara kapital dan kapitalisme ("kamu baca dulu, baru abis itu kita ngobrol lagi").

Tapi ya ampun, karakter se-sempurna ini malah dipercayakan kepada Bucek Depp.

Joe diceritakan sebagai seorang eksekutif muda. Tampan, putih, bersih. Hasil didikan luar negeri. Bicaranya campur-campur antara Indonesia dan Inggris. Tapi dalam film, pemerannya malah seperti yang mengalami kesulitan berbicara. Jarak antara gigi atas dan gigi bawahnya terlalu dekat.

Suaminya Didi diceritakan sebagai teman SMA Are sewaktu di Jogja. Dia wartawan. Pembaca buku juga, malah dia yang mengilhami Are sehingga membuka toko buku. Sempat bersitegang dengan keluarga Are gara-gara terlalu ikut campur dalam pernikahan mereka.

Tapi ya ampun, karakter se-hebat ini malah diperankan oleh Arie Untung.

Scott McCloud dalam "Understanding Comics" menulis, salah satu hal yang memikat dari komik adalah adanya ruang berimajinasi bagi pembaca. Kalau imajinasi sudah dibatasi, kan jadi tidak asyik lagi. Lebih tidak asyik lagi kalau imajinasi jadi pupus. Bayangan tak sesuai kenyataan. Dan itulah yang saya rasakan saat menonton filmnya.

Oh ngomong-ngomong, Yasmin menulis soal serupa dengan bagus sekali disini.

Terakhir. Ada yang ingat nama suaminya Didi siapa?

Waktu Wage Rudolf Supratman Mencair

Thursday, November 03, 2005

Hujan yang turun rintik-rintik sore itu membuatnya menaikkan jendela yang tadinya terbuka hingga setengah. Dia menyisakannya sekitar dua jari. Cukuplah buat angin, pikirnya, meski semilir angin yang menerpa pelipisnya bercampur titik air hujan dari luar. Dia merasa tak sanggup menikmati udara dingin saat sendirian di mobil. Baginya itu sungguh mubazir. Lagipula menyalakan AC kan membuat konsumsi bensin makin banyak.

Teringat soal bensin, sekilas dia melirik penunjuk bahan bakar: satu garis menjelang E. Dia pun berbelok masuk ke pom bensin di Margonda.

"Lima puluh ribu Pak," katanya sambil memutar tutup tangki. Si penjaga memencet-mencet panel, dan kemudian mendekat menjulurkan selang.

Dia menoleh ke kiri dan kanan, masing-masing kira-kira lima detik, sambil tangannya merogoh dompet di saku kanan belakang. Dan tepat saat pandangan matanya tertuju ke badge nama si petugas, Bapak itu menarik selang -- tanda pengisian selesai.

Hah, bentar banget...

Dia menengok ke layar panel. Disana terpampang angka 11,111. Ingatannya langsung melayang ke masa liburan kuliah, saat biasanya panel itu menunjuk 20,833. Seingatnya, lima puluh ribu tidaklah mencair secepat itu. Dia ingat betul, soalnya -- setelah sempat mengamati badge namanya -- dia biasa basa-basi dulu dengan si petugas. Dan sementara itu, bensin masih mengucur.

Wage Rudolf Supratman lalu berpindah tangan, disertai "terimakasih" pelan. Dia memutar tutup tangki bensin kembali, kemudian berjalan perlahan masuk mobil. Pasang sabuk pengaman, lepas rem tangan, memutar kunci starter. Persis saat kaki kirinya menginjak kopling dan tangan kirinya memasukkan gigi satu, dia sudah menyimpulkan sesuatu.

Berarti waktu bensin masih tujuh ratus, ngisi lima puluh ribu bisa sambil smsan dulu kali yak.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by