Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Ceritanya Tes Psikologi

Tuesday, May 29, 2007

Di antara empat kata di bawah ini, mana yang beda sendiri?

a. Giant
b. Carrefour
c. Hypermart
d. Makro

***

Jawab: b

Giant: raksasa
Hypermart: toko sangat-sangat
Makro: sangat besar

Carrefour? Persimpangan.

Nasi Goreng Aroma

Monday, May 28, 2007

Sudah jam sembilan malam dan saya belum makan. Kalau sudah begini satu-satunya pilihan adalah pergi ke mulut gang membeli nasi goreng Mas Nano. Minta dibikinkan nasi goreng putih pedas dengan telur mata sapi. Sedap lagi praktis.

Tapi ternyata malam itu Mas Nano nggak berjualan. Yang bertengger di sana adalah gerobak penjual lain, yang sebenarnya sudah masuk daftar cegah-tangkal kami. Sebabnya, teman saya Wahyu suatu hari pernah membeli nasi goreng dari penjual ini.

Warna nasinya kehitaman, entah karena gosong entah memang begitu. Aromanya campur aduk. Ada minyak tanah, yang mana wajar sebab si penjual tidak mencuci tangan dahulu selepas membesarkan api kompor, serta ada juga aroma lain.

Rasanya jangan ditanya. Wahyu bilang dia waktu itu sampai pengen muntah.

Nah, sejak saat itulah kami wanti-wanti jangan sampai membeli nasi goreng dari penjual yang ini. Kami akan setia pada Mas Nano, yang tidak pernah berpikir untuk memasukkan aroma minyak tanah dalam bumbu masaknya.

Karena saya sudah lapar (dan malas cari makan ke tempat lain) saya akhirnya pesan juga sepiring. Saya lumayan beruntung sebab meski si penjual lagi-lagi tidak mencuci tangan setelah membesarkan api kompor, nasi gorengnya tidak beraroma minyak tanah. Warna nasinya pun masih dalam batas kewajaran. Rasanya begitulah. Tidak seenak bikinan Mas Nano memang, tapi masih berterima di lidah orang lapar seperti saya.

Yang penting tidak ada aroma-aroma yang bikin ingin muntah.

Saya mengerti bahwa kita tidak bisa berharap banyak soal kebersihan dari penjual makanan pinggir jalan seperti ini. Mana bisa dia mencuci tangan dulu sementara harga minyak tanah semakin mahal? Kan pemborosan. Dan katakanlah dia mencuci tangan – bagaimana dengan piring serta sendok dan gelas? Di mana dia bisa mencuci piring dkk. dengan air bersih yang mengalir sementara dia berjualan berpindah-pindah?

Lagipula ini bukan pertama kalinya saya makan makanan tidak higienis. Jadi semoga ada sedikit antibodi dalam tubuh saya yang sanggup menangkal bakteri-bakteri atau apapunlah yang ada di situ :)

Nasi goreng sudah jadi. Saya pun duduk di warung rokok dekat situ. Makan sampai habis. Kenyang. Habis itu, saya pesan kopi ke bapak warung. Si penjual nasi goreng ikut duduk dan kami pun mengobrol ringan.

“Duduk” yang saya maksudkan adalah, duduk di bangku panjang dengan sebelah kaki naik (seperti Nagabonar kalau lagi makan). Siku kanannya disandarkan di atas lutut, dan akibatnya telapak tangan menggantung hampir menyentuh telapak kaki.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh mengerikan. Seperti cuma mengikuti naluri purbawinya (“eh tangan gua dah dekat kaki nih”), dia pun mulai mengorek-ngorek kuku kakinya itu. Mak oi… Saya pura-pura cool saja sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.

Begitupun, tetap saja saya masih bisa melihat dia mengorek-ngorek kuping. Terus pindah lagi ke kaki. Saat itulah saya curiga jangan-jangan orang ini sepertinya belum mandi berhari-hari, makanya dia hobi banget garuk-garuk. Iya juga sih, kalau dilihat-lihat, kulit mukanya berminyak banget. Apa itu istilahnya? Dekil.

Duh saya semakin sulit berusaha bersikap cool. Segera saya seruput kopi cepat-cepat dan pulang ke kosan. Eh belakangan si penjual ikut beranjak pergi – tapi dengan niat cuma untuk merapatkan badannya ke sebuah tembok dan menurunkan resleting celana di sana. Aaarggh.

Suka kencing sembarangan, dan punya hobi menggaruk-garuk bagian tubuhnya bilamana dirasa perlu. Ternyata itu dia rahasianya; mengapa selain aroma minyak tanah, waktu itu Wahyu juga merasakan aroma lain. Mak oiiii.

NB: Tentu saja saya bayar dulu baru pulang. Baik kopi maupun nasi gorengnya.

Nagabonar Jadi 2

Sunday, May 20, 2007

[Batari]
Akhirnya saya nonton juga film Nagabonar Jadi 2. Setelah banyak teman menyarankan untuk menonton film ini. Kata mereka, ceritanya lucu. Kata mereka, akting Deddy Mizwar oke. Ada juga yang bilang, Darius di film ini tampak super ganteng.

Berbekal masukan-masukan, hari itu saya berangkat ke Blitzmegaplex. Berencana nonton Nagabonar yang jam 19-an bersama Ikram. Saya beli tiket, beli popcorn dan terlebih dahulu harus meyakinkan Ikram bahwa duduk di bangku F tidak mendongak.

Hari itu bukan jadwalnya nonton hemat, jadi kami berdua harus mengeluarkan 50 ribu.
Tak apalah, pikir saya, toh film-nya bagus.

Sudah 20 menit menonton, saya mulai mempertanyakan pendapat teman-teman tentang bagusnya film ini. Banyak yang tidak masuk akal.

Kok tiba-tiba anak si Nagabonar ini sudah punya perusahaan saja?
Enak betul pulang dari luar negeri langsung bisa kaya, punya rumah amat besar sekali.

Semakin lama menonton, saya jadi geram. Mana lucunya??

Buat saya, terlalu banyak yang mau diceritakan dalam satu film ini. Ada masalah gusur-menggusur kuburan. Ada cerita cinta Tora-Wulan. Ada hubungan bapak-anak Nagabonar-Bonaga. Ada supir bajaj yang baik hati. Nonton Nagabonar Jadi 2 ini rasanya seperti menonton film dimana sutradaranya ada LIMA! Tidak jelas mana inti ceritanya.

Darius memang ganteng. Tapi kenapa teman-teman Bonaga ini harus berpenampilan dan berkelakuan seperti F4? It's soo laaaast yeaar, pak sutradara..

Pada akhirnya, saya tidak merasa film ini layak ditonton dengan harga 25 ribu. Beberapa adegan memang ada yang berhasil memancing senyum. Tapi itu tidak banyak. Beneran deh, banyak adegan yang terlalu 'dipaksakan'. Betapa gemarnya Nagabonar main bola, betapa tidak bisanya si Bonaga merayu Wulan Guritno. Oh, satu lagi : kenapa ceritanya mesti diakhiri dengan kedatangan tukang karpet?

Saya tidak tersentuh sama sekali dengan nilai nasionalisme yang disuguhkan di film ini. Mungkin saja saya tidak penuh menghayati, karena 2 hari sebelumnya saya baru saja menonton Mr. Bean's Holiday dan Meet The Robinsons berturut-turut. Jadi, waktu nonton Nagabonar Jadi 2, saya sudah mati rasa.

Entahlah.

***

[Ikram]
Sakit, mata ini, demi melihat seorang kakek berbicara sendirian di depan tiga kuburan. Apalagi lagaknya seperti sedang berbicara kepada orang hidup saja. Pakai titip-titip. Memang sih, yang terbujur kaku di dalam tanah itu adalah ibu, istri, dan adik dari si kakek itu. Tapi tetap saja aneh. Kayaknya baru sekali ini deh saya lihat ada orang Medan curhat kepada kuburan.

Bertambah aneh lagi ketika melihat seorang pengusaha muda, di dalam mobil, malah mendengarkan musik dari si mungil iPod. Padahal, sistem audio di mobil mewah itu pasti akan sanggup menghadirkan musik dengan kualitas suara jaaauuuhh lebih jernih. Speakernya pasti surround. Jadi mengapa orang itu malah mendengarkan musik lewat earphone yang dicantelkan ke kuping – dan lama-lama bikin pegal itu? Pasti supaya terlihat, bahwa sekarang zaman modern. Penandanya? Ya iPod itu.

Kepala ini juga jadi sedikit pusing (oke, hiperbola) ketika menyaksikan mereka berdua (si kakek dan pengusaha muda itu) berhenti sebentar di tengah jalan untuk tendang-tendang bola dulu barang sebentar. Haduh-haduh. Saya memang nggak mengerti film sih, jadi nggak mengerti apa sebenarnya makna di balik adegan itu.

Dari kepala, penyakit turun ke perut. Agak mulas rasanya ketika kamera memasukkan gambar empat ondel-ondel anak buah si pengusaha muda. Anak buah dengan job description tidak jelas. Seketika saya ingat geng F4 dari Taiwan – hanya dalam skala kebelaguan yang lebih rendah.

Untunglah ada adegan di mana si kakek tua mencopet dompet salah satu F4. Saya mulai melihat adanya kemungkinan saya bisa terhibur, menonton film Nagabonar Jadi 2 ini.

Dan memang benar, saya bisa terhibur. Pemeran si kakek bernama Nagabonar itu, tak perlu diragukan lagi memang piawai berakting. Meski tidak pada semua adegan dia prima. Saya paling suka bagian dia mempertanyakan dasar pelarangan bajaj masuk jalan protokol. Juga adegan ketika dia bilang, tidak semua orang layak dihormati. Tapi adegan dia memanjat patung Sudirman guna menurunkan hormat si patung? Oh, sori dori mori. Not impressed.

Saya, jujur, terhibur dengan gaya penyampaian film ini yang berbeda dari film-film Indonesia lain. Film ini mencoba menawarkan pemahaman soal nasionalisme dengan cara yang berbeda. Yang simbolis. Mulai dari patung Sudirman sampai ke upacara bendera. Semuanya terasa simbolis dan, sebab tak paham bahasa simbolis, saya kesusahan menangkap maknanya. Termasuk soal mengapa mesti bajaj, dan ada apa dengan permainan sepak bola bersama anak-anak kampung itu.

Bicara soal kesusahan, saya juga merasa kesusahan mencerna bagaimana bisa kok pengusaha muda itu bisa kaya raya, punya rumah besar, namun tidak mau mengakali pembayaran pajak? Film ini settingnya masih Indonesia, bukan? Saya juga tak melihat adanya hubungan sebab-akibat antara dibesarkan tanpa ibu dan kesulitan mengucapkan “aku sayang kamu”.

Jadi, secara logika, ada banyak hal-hal yang tak saya pahami dari film ini. Tapi saya menikmati betul dialog-dialog spontan yang ada (meskipun logatnya luarbiasa dipaksakan). Saya menikmati pandangan sederhana si kakek tentang kehidupan setelah mati, meski pada saat bersamaan tak habis pikir mengapa dia harus selalu menambahkan “dimakan cacing” berulang kali saat sedang menyebut nama adiknya. Saya terkesan dengan supir bajaj sekaligus heran dengan si penjual karpet masjid.

Dan saya cukup terhibur dengan pemeran “pacar” si pengusaha muda, yang kali ini bisa mengatur duduknya supaya tak nampak celana dalamnya. Oh maaf, pujian ini lebih patut dialamatkan kepada para kameramen yang pandai menahan diri, serta operator yang mampu menyunting gambar dengan benar.

Kecurigaan saya: film ini terkendala urusan komersial alias bisnis. Itu mungkin mengapa banyak pemeran pembantunya berasal dari artis sinetron, artis acara komedi, model iklan, dan pembawa acara gosip. Kalau mereka pakai pemeran dengan kualitas prima namun kurang terkenal? Belum tentu bisa laku kan.

Tapi eh, menurut Anda bagaimana?

Howard, Gestapo, dan Gestapu

Thursday, May 17, 2007

Untuk Zen

Perdana Menteri Australia John Howard pekan lalu melarang tim kriket negara itu pergi ke Zimbabwe pada September tahun ini. Sebab kata Howard, pemerintahan Zimbabwe adalah tirani. Ia juga menyebut Presiden Robert Mugabe sebagai seorang "diktator kotor" (grubby dictator).

(Mister Howard rupanya bukan cuma senang membikin panas kuping Indonesia, tapi juga Zimbabwe)

Serangan balasan: dari Zimbabwe, Menteri Informasi dan Publisitas Sikhanyiso Ndlovu mengatakan John Howard adalah "seorang gestapo internasional dan penjahat.. dia lebih buruk dari siapapun, kelakuannya yang melarang kriket adalah satu contoh dia seorang gestapo".

Kepada Radio ABC, Mister Ndlovu melanjutkan, "Rakyat Australia mesti benar-benar menolak John Howard yang cenderung jadi gestapo serta ikut campur urusan negara orang. Dia ingin menyebabkan ketidakamanan di negara kami dan kami takkan membiarkan itu".

Well, diktator dibalas gestapo. Silakan dilanjutkan, bapak-bapak.

***

Gestapo, atau Geheime Staats-polizei, adalah polisi rahasia negara Jerman semasa rezim Nazi dulu. Mereka terkenal akan metode dan operasinya yang kejam, brutal, dan menebar teror. Saking kejam dan brutalnya, nama mereka lambat laun digunakan orang untuk menggambarkan suatu taktik atau langkah yang mengancam/mengintimidasi. Seperti yang dilakukan terhadap Howard tadi.

Nah di Indonesia, ada sebuah operasi rahasia yang sampai-sampai sengaja dipaksakan diberi nama ngawur supaya mirip-mirip Gestapo. Apakah itu? Gestapu alias Gerakan September Tiga Puluh. Maksa banget kan?

Pertama, kita di Indonesia biasa menyebut tanggal dulu baru bulan. Jadi dari segi penulisan pun itu sebuah istilah yang aneh. Kalau mau taat asas mestinya Gerakan Tiga Puluh September, tapi jadi tidak mirip Gestapo deh.

Kedua, sudah jadi pengetahuan umum bahwa selepas jam dua belas malam, hari dan tanggal sudah berganti menjadi hari berikutnya. Operasi itu sebenarnya terjadi pada 1 Oktober. Jadi nama gerakannya pun semestinya Gerakan Satu Oktober, disingkat Gestok. Tapi makin tidak mirip Gestapo deh.

Apa boleh buat. Demi mengingatkan betapa kejamnya operasi malam itu, kita disini terpaksa menulis bulan dulu baru tanggal. Juga berpura-pura bodoh tidak mengerti perhitungan hari dan tanggal. Serta yang paling dahsyat: bertahan dalam kepura-puraan itu seraya tetap menyebutnya Gestapu atau dalam bentuk lain G/30 S/PKI.

------
Artikel dari The Sidney Morning Herald
Pengertian Gestapo dari Dictionary.com

Kalung Presiden

Sunday, May 06, 2007

Saya sempat sedikit khawatir dengan kesehatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir-akhir ini. Siang malam dia—maaf, beliau—mesti tetap bekerja keras demi menyusun ulang kabinetnya. Beliau kali ini tidak boleh lagi salah pilih. Tidak, di saat hanya tinggal 2,5 tahun tersisa. Dia tentu masih ingin jadi presiden di periode mendatang, bukan?

Mencari dan mengumpulkan orang-orang pilihan memang tidak terlalu sulit. Di Indonesia ini potensi banyak terserak. Tapi di tengah rewelnya orang-orang partai politik? Itu lumayan sulit dan menguras pikiran loh. Saya yang bodoh ini mungkin bisa dibohongi begitu saja ketika semua tokoh parpol serempak menilai perombakan kabinet “itu prerogatif Presiden”. Tapi beliau tentu tidak semudah itu percaya.

Ketika Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir—yang hebat itu—berkata semua ini terserah Presiden, lalu merendahkan partainya sendiri dengan mengatakan “Hatta Radjasa kader terbaik dari PAN”, tentu SBY mengerti bahwa maksudnya adalah, Hatta jangan sampai terdepak.

Apalagi sebelumnya Sekjen PAN Zulkifli Hassan sudah mengancam akan mengevaluasi dukungan jika Hatta dan Bambang Sudibyo diganggu-gugat. Nah! Dia lebih galak tuh.

Ketua PBB Yusron Ihza Mahendra sempat juga bilang, kalau Yusril Ihza Mahendra akan diganti, secara etika penggantinya harus orang dari partai yang sama. Tapi semuanya terserah Presiden.

Presiden SBY mesti pintar-pintar membaca apa yang tersurat dari kalau bukan ucapan, tindakan orang-orang partai. Pertemuan di hotel mewah Ritz-Carlton, misalnya. Itu kan produknya jelas: merekomendasikan pencopotan Sugiharto dari jabatan Menteri BUMN. Terus apa kabar “semuanya terserah Presiden”?

(Kalau saya jadi SBY, di titik ini saya pasti akan berangkat gila)

Kalau tidak gila, paling tidak tekanan darah saya meningkat. Kadar asam urat meroket. Ancaman kolesterol. Stroke. Diabetes. Serangan jantung. Nyeri sendi. Leher/pundak kaku, dll.

Tapi untunglah saya bukan SBY—beliau sih punya raga yang prima sehingga semua berjalan lancar. Beliau tetap bisa memanggil para menteri yang masih akan duduk nyaman di kursinya ke Cikeas. Beliau masih bisa menelepon calon menteri yang kira-kira pantas masuk kabinet untuk diajak ngobrol barang sebentar. Beliau masih bisa memberi evaluasi. Sungguh pekerjaan berat.

Dan saya tahu rahasia di balik raga yang prima itu, sehingga beliau terhindar dari ancaman penyakit di atas: SBY pakai kalung Bio FIR (ooh, pantas!)

Alergi Obat

"Ada alergi obat?" dokter itu bertanya pada saya. Pertanyaan standar dokter-dokter sebelum mereka memulai menulis resep. Saya sebetulnya punya juga jawaban standar, tapi gara-gara kepala yang sangat sakit ini, saya lupa apa. Kalau nggak salah penicilin.

"Um.. Penicilin? Amoxycillin? Tapi itu sudah nggak dipakai orang lagi bukan?"

"Beberapa masih pakai. Kalau obat yang kemarin dikasih di sini bikin alergi nggak?" dia bertanya lagi sambil menunjuk ke kartu riwayat pasien. Ah, solusi cerdas. Saya menggeleng cepat dan pembicaraan kami pun ditutup dengan "Oke. Tapi sepertinya belum perlu antibiotik".

Saya kemudian mengucapkan terimakasih dan keluar ruangan. Di depan sana, saya serahkan resep ke pegawai. Selang beberapa menit kemudian obat didapat, saya pun pulang.

Nggak enak banget deh kalau punya flu akibat alergi. Sekali bersin bisa-bisa 10 kali nonstop. Lalu kepala jadi berat dan mata berair. Hidung juga. Makanya begitu sampai di kosan, saya minum dua kaplet dan satu kapsul itu. Satu buat sakit kepala, satu buat flu, dan satu lagi multivitamin. Saya lalu siap-siap berbaring, sebab obat dari dokter seringkali bikin ngantuk.

Tapi mata saya bukannya tambah berat, malah perih. Keanehan dimulai.

Saya kucek-kucek biar terasa lebih enak sedikit. Tidak mempan. Mata saya masih perih plus gatal, dan panas. Saya pergi ke kamar Wahyu minta diteteskan Rohto. Ah, lumayan enak. Tapi... saya tidak bisa melihat ke bawah dengan jelas. Seperti terhalang sesuatu.

Saya lihat ke kaca dan ya ampun, kelopak bawah mata kanan saya membesar. Waduh, saya alergi obat. Kalau dibiarkan, bisa-bisa saya akan mengalami seperti yang dialami ayah saya -- matanya tinggal garis saja tertutupi kelopak.

"Gimana? Lo mau ke dokter lagi?" tanya Wahyu.

Saya tahu pada detik ini saya mestinya menjawab iya dan kembali ke dokter itu untuk ganti obat. Tapi saya tak ada duit lagi. Di dompet. Di ATM. Di manapun. Alergi obat seperti ini biasanya ditangani dengan suntikan. Dan suntikan berarti pengeluaran.

Nggak deh. Lagipula kalau dipikir-pikir, sakit kepala saya lumayan berkurang. Bersin juga tinggal sekali-dua. Mata bengkak hanya persoalan penampilan. Nanti saja dikompres.

Dan untunglah rupanya ini bukan alergi serius. Sepertinya badan saya cuma kaget dan butuh masa perkenalan dengan obat ini. Besok paginya bengkak di mata saya berangsur-angsur menghilang, begitu pula dengan bersin-bersinnya. Tinggal sakit kepala ini saja sesekali.

Benar-benar beruntung sekaligus nekat. Tapi tolong, jangan ditiru. Berbahaya!

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by