Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Soekarno dan Inggit

Friday, February 29, 2008

Waktu itu saya sedang jalan-jalan bersama Alfonso dan Johannes di daerah Pasar Baru, Bandung. Entah ada angin apa, kami tiba-tiba membicarakan soal Inggit Garnasih, istri pertama Soekarno. (Ralat: Istri kedua ternyata. Terimakasih ya Nad!)

"Inggit itu kan tadinya ibu kos Soekarno," kata saya.

"Terus dia kawin sama ibu kosannya?" kata Alfonso.

"Iya. Gila ya? Sekarang aja kalau mendengar ada yang menikah sama ibu kosan rasanya gimana.. gitu. Apalagi waktu dulu. Hehehehe."

Kemudian Johannes, dengan nada supersantai, berkata pelan:

"Ya enak, biar nggak usah bayar kosan..."

Well, beda kepala memang beda interpretasi. Para ahli sejarah mungkin punya penjelasan memadai tentang mengapa Soekarno jatuh cinta pada Inggit. Tapi bagi mahasiswa abadi seperti kawan saya ini, alasannya rupanya sangat sederhana!

Supaya nggak usah bayar kosan. Damai, Joe :P

------
Mau baca lebih jauh tentang Inggit di blognya Zen?

Menyiapkan Blog Baru (2)

Sunday, February 24, 2008

BLOG baru sudah hampir rampung. Dari segi tampilan, ada beberapa kemajuan—yang tentu saja melibatkan (merepotkan) banyak orang.

Misalnya, ada aggregasi blog para wartawan/orang media di Indonesia. Ada modifikasi juga supaya pada halaman aggregasi tadi, yang muncul adalah nama-nama wartawan, bukan media.

Ada juga halaman khusus yang memuat sumber bacaan yang menarik buat belajar seputar jurnalisme, media, dan penulisan. Supaya kita sama-sama bisa belajar.

Oh iya, sempat ada survey kecil-kecilan juga soal bagaimana “read more” sebaiknya digunakan. Kepada para “konsultan” yang terlibat (baca: direpotkan), saya mengucapkan terimakasih banyak hehehe.

Sekarang harus mulai fokus kepada isi. Bagaimanapun, bagian terpenting dari sebuah blog kan terletak pada isi (kalau bagian terkeren: kolom komentar).

Bayi saya sudah lahir, sodara-sodara...!
And this blog is personal again :)

Menyiapkan Blog Baru

Tuesday, February 19, 2008

Beberapa hari ini saya sedang menyiapkan blog baru. Domain dan hosting sudah didapat, engine pun sudah ditanam—atas jasa baik Agus, Bisri, dan Nando. Sekarang tinggal beres-beres sedikit supaya sesuai yang saya mau. Ternyata Wordpress itu tidak semudah Blogger ya—meski memang bisa menawarkan lebih. Saya tidak tidur semalaman hanya demi hal-hal yang sederhana seperti mengubah margin, padding, memikirkan kategori dsb.

Dan akibatnya fatal. Saya mengingkari janji bertemu teman-teman di Potluck (sekali lagi maaf ya Ray + Nise).

Blog baru ini rencananya buat urusan pekerjaan. Bisri bilang, kalau mau jadi freelancer saya sebaiknya punya blog khusus supaya “lebih kredibel”. Saya rasa dia ada benarnya juga. Saya sudah lama ingin punya semacam portfolio online. Sementara, blog yang sekarang ini sudah terlalu kacau-balau untuk dipisah-pisahkan isinya mana yang pribadi mana yang pekerjaan. Jadi nantinya lebih baik dipisah: yang berhubungan dengan pekerjaan ditulis di sana saja (beberapa sih sudah dilakukan).

Jadi, sampai jumpa di komentatorlepas.net? Hehehe. Beres-beres lagi ah...

Siapakah Tifakul Sembiring?

Thursday, February 14, 2008

Siapakah gerangan Tifakul Sembiring yang oleh Bisnis.com disebut-sebut sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera?
Presiden PKS Tifakul Sembiring menyatakan partainya akan memajukan kader sendiri sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden 2009, jika mampu meraih 20% suara Pemilu legislatif 2009 dan PKS memiliki stok 250 orang ahli yang akan dicalonkan.
Adakah dia saudara kembar Tifatul Sembiring -- Presiden PKS versi website resmi? Kalau bukan, lalu siapa?

Sebab Bisnis.com nggak mungkin salah ketik. Mereka menulis "Tifakul" dari awal sampai ujung berita :P

Ya sudahlah. Bagaimanapun, saya menyukai gagasan Tifakul untuk memajukan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid sebagai kandidat presiden pada 2009 nanti.

Biar ada variasi sedikit, gitu.

Mengapa Piala Thomas dan Uber Bermakna Penting?

Monday, February 11, 2008

“Kejuaraan Piala Thomas dan Uber memiliki makna yang penting karena partai final akan berlangsung tanggal 18 Mei atau dua hari sebelum tepat 100 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Mudah-mudahan bisa menjadi kado istimewa bagi kita,” harap Direktur Trans Corp, Ishadi S.K.
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/bultang.htm
Berkali-kali saya membaca penggalan berita itu, namun tetap saja saya gagal mengerti logika yang dicoba dipaparkan... Jadi Piala Thomas dan Uber bermakna penting hanya karena pertandingan finalnya berlangsung dua hari sebelum Hari Kebangkitan Nasional ke-100?

Kalau benar demikian, maka ulangtahun saya juga bermakna penting doong. Saya berulangtahun satu bulan dan satu hari sebelum Hari Kebangkitan Nasional ke-100. Dan kalau begitu, ulangtahun Batari bermakna penting juga dong? Cuma tujuh bulan kurang dua hari sebelum Hari Kebangkitan Nasional ke-100 kok.

Mudah-mudahan bisa menjadi kado istimewa bagi kita juga, ya. Amin.

Ngomong-ngomong, pertandingan final piala Thomas dan Uber kenapa tidak sekalian saja digelar bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional ke-100 sih?! Supaya maknanya semakin bertambah berlipat ganda penting. Hehehehe.

Tambahan: Penting tidak penting kok diukurnya dari Hari Kebangkitan Nasional ya? Apa hubungannya memang?

If You Something Revised

Thursday, February 07, 2008

One morning I was at the Soekarno-Hatta airport and saw this announcement by one of the doors. Said to myself whoa, they revised it already.



There you go! Good job, guys. It looks much better now -- at least not embarrassing anymore.

(If you'd like to see the previous version of the announcement, please go here. You can also click on the picture to enlarge)

Megawati Sebaiknya Berhenti Menggempur SBY

Tuesday, February 05, 2008

Megawati Soekarnoputri sebaiknya mulai berpikir untuk berhenti menggempur Susilo Bambang Yudhoyono dengan istilah-istilah yang hanya enak buat didengar telinga. Kecuali kalau memang Mega ingin SBY menang lagi pada pemilihan presiden tahun 2009.

Saya tidak sedang membela pemerintahan SBY, tidak. Dan saya tidak pula sedang berani-berani membatasi kebebasan berekspresi seseorang — terlebih seorang mantan presiden. Saya murni menyarankan ini demi kebaikan dirinya sendiri. Apa dia mau kalah dua kali dari orang yang sama?

Persoalannya yang pertama adalah, selama ini kritik Mega atas kinerja pemerintahan SBY — betapapun itu benar — tidak pernah bersambut seperti yang diharapkan. Jadi jika Mega tetap melontarkan kritik, saya khawatir itu cuma akan memberi contoh nyata bagi peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”.

Ketika setahun yang lalu Megawati menuding Yudhoyono sibuk “tebar pesona”, apakah Yudhoyono menyambut tudingan itu dengan berhenti “tepe-tepe” (istilah anak muda untuk tebar pesona)?

Tidak. Sebab kalau bukan pesona, apalagi yang bisa ditebar. Mau menebar Mercedez dan kapal pesiar, SBY bukan Tianshi. Mau menebar televisi, SBY bukan TransTV. Mau menebar cinta, SBY bukan Ariel Peterpan :P

Dan ketika Megawati sekitar setengah tahun yang lalu menggugat Yudhoyono hanya bisa “berjanji setinggi langit, tapi kenyataan di atas bukit”, apakah Yudhoyono berubah jadi menepati janji-janjinya yang dijual saat kampanye dulu?

Tidak. Sebab hanya politisi dari jenis yang bodoh yang menepati janji. SBY tidak bodoh, SBY tidak menepati janji.

Kemudian ketika baru-baru ini Megawati kembali mencibir pemerintahan Yudhoyono bagaikan “tarian poco-poco” — maju selangkah tapi mundur dua langkah — apakah Yudhoyono langsung berhenti menari dan mendaftar gerak jalan sehat biar maju terus?

Tidak. Sebab gerak jalan sehat tidak membutuhkan perhitungan. Orang hanya perlu jalan saja terus. Sedangkan pada tarian poco-poco, ada kesempatan bagi SBY untuk berpikir hendak maju atau mundur. Atau geser ke samping. Dan SBY, kita tahu, sangat menyukai “berpikir penuh perhitungan” — kata sopan untuk “ragu-ragu”.

Sisi terangnya, Megawati berhasil menunjukkan kepada publik seperti apa mutu kepemimpinan seorang SBY. Dan ini bagus bagi kehidupan demokrasi Indonesia.

Persoalannya yang kedua adalah, Mega sendiri melakukan apa yang dituduhkannya kepada SBY. Jadi jika Mega tetap melontarkan kritik, saya khawatir itu cuma akan memberi contoh nyata bagi peribahasa “mendulang air terpercik muka sendiri”.

Tebar pesona Mega pernah. Meminta rakyat memilih kandidat presiden yang paling cantik? Menjual tahilalat? Jangan lupa juga bahwa Mega tidak hanya menjual pesona dirinya sendiri tapi juga pesona ayahnya.

Memberi janji-janji juga Mega pernah. Saya masih belum lupa bagaimana dia berjanji tidak akan membiarkan darah tertumpah lagi di Aceh dalam sebuah pidato politiknya tahun 2002. Dan saya juga masih belum lupa bagaimana Mega tidak segera mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.

Menari poco-poco mungkin Mega belum pernah karena dia rupanya lebih suka berdansa. Tapi bukankah esensi semua tarian sama saja?

Jadi segala kritik Mega bagaikan anak panah yang melesat maju tapi kemudian berbalik arah mengenai dirinya sendiri. Ini jelas buruk bagi citra dirinya sebagai kandidat presiden 2009. Dia akan tergambar sebagai orang yang berkinerja buruk, tapi menyalahkan orang lain yang juga berkinerja sama.

Tapi entahlah. Sisi terangnya, bagi warganegara yang berpikir nakal seperti saya, dia akan tergambar seperti orang yang berkinerja buruk dan tak rela orang berkinerja buruk juga. Mega seperti mengatakan “Cukup saya saja yang begitu. Jangan tambah lagi penderitaan rakyat” :P

Persoalan selanjutnya, persoalan ketiga, adalah buah dari persoalan pertama ditambah yang kedua. Kritik yang tak bersambut, ditambah tukang kritik yang pernah berkinerja sama buruknya, hanya akan berujung pada kegiatan berbalas ejekan. Megawati tentu bisa merasakan sendiri bagaimana SBY — baik secara langsung maupun lewat para pembantunya — membalas setiap kritik.

Ketika Mega melakukan safari politik dan bertemu rakyat yang setia kepadanya, Andi Mallarangeng tinggal bilang siapa sekarang yang “tebar pesona”. Ketika Mega mengatakan SBY hanya bisa janji, Andi pun tinggal membantah dengan mengungkap prestasi-prestasi yang dicapai Presiden. Dan ketika Mega menilai pemerintahan SBY seperti tarian poco-poco, Jusuf Kalla pun pasang badan dengan mengatakan lebih baik poco-poco daripada dansa berputar-putar.

Megawati semestinya sadar bahwa kritik dia hanya memicu terjadinya sirkus murahan yang tak ada gunanya bagi rakyat banyak. Saling mengejek kan tidak membikin harga kedelai murah?

Sisi terangnya, para pembantu SBY jadi punya kesempatan menunjukkan kesetiaan. Andi Mallarangeng jadi punya pekerjaan di samping menyanjung Presiden di sebuah suratkabar setiap awal pekan. Sementara saya? Saya jadi sedikit terhibur melihat kreativitas mereka semua. Enak didengar telinga sih.

Nah sekarang — paling penting untuk dicermati — adalah persoalan keempat. Dengan terus melontarkan kritik terhadap SBY, Megawati sebenarnya sedang membahayakan dirinya sendiri pada pemilihan 2009.

Menengok sekilas ke belakang, salah satu faktor kemenangan SBY pada 2004 adalah keberhasilannya mengolah empati rakyat terhadapnya yang seolah-olah dizalimi Mega. SBY terbukti piawai — selain beruntung saya kira — dalam memanfaatkan ejekan Taufik Kiemas (suami Megawati) yang berbunyi “Jenderal kok kayak anak kecil”. Dengan begitu dia semakin terbukti tertindas, dan rakyat cenderung memilih kandidat yang tertindas juga.

Saya kira kepiawaian mengolah empati ini perlu diwaspadai. Karena inilah yang menjadikan Veri dan Ihsan masing-masing pemenang Akademi Fantasi Indosiar dan Indonesian Idol. Atau Kangen Band melejit tanpa ampun. Atau bahkan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilihan 1999!

Rumus umumnya, semakin ditindas semakin mendapat dukungan. Soal kemampuan belakangan. Bodoh memang, tapi itulah kenyataan.

Akan tetapi, yang lebih bodoh lagi saya kira adalah membuka jalan bagi SBY untuk kembali mengolah empati rakyat. Jika Megawati terus-terusan mengkritisi SBY, maka sesungguhnya dia justru sedang membantu SBY mendapatkan lagi bukti bahwa dia tertindas.

Padahal, jangan lupa juga bahwa usaha mengolah empati ini sudah dimulai. Ingat kan SBY pernah mengeluh bahwa ada yang mengganggunya “cuci piring”? Atau bahwa dia selama ini “kurang tidur”? Atau bahwa media cenderung tidak memberitakan prestasi pemerintahannya? Nah kalau ditambah lagi dengan kritik Mega, tentu SBY akan bahagia sekali :P

Untuk yang ini tidak ada sisi terang. Megawati sebaiknya mulai berpikir untuk berhenti menggempur Susilo Bambang Yudhoyono dengan istilah-istilah yang hanya enak buat didengar telinga. Gempuran itu hanya akan memberi bahan bakar bagi usaha SBY mengolah empati rakyat.

Kecuali kalau memang Mega ingin SBY menang lagi pada pemilihan presiden tahun 2009. Bukankah dalam politik semua hal mungkin terjadi? :P

Kan Ada Internet...

Saturday, February 02, 2008

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by