Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Agus Rakasiwi, Ketua AJI Bandung 2006-2009

Monday, December 11, 2006

Bandung, 9 Des 2006 -- Melalui apa yang disebut sebagai "sebuah pergulatan intelektual", Agus Rakasiwi dari Pikiran Rakyat terpilih menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung periode 2006-2009. Ia menggantikan Nursyawal dari Radio Mara.



Keterangan foto: Agus Rakasiwi (kiri) bersalaman dengan Nursyawal (kanan)

Bukan Kriminal Total

Sunday, December 03, 2006

Mahasiswa parkir di dalam karena “tak mau ketinggalan menuntut ilmu”

Batari Saraswati dan Ikram Putra

SRI HARTATI SOENARMO punya kelas untuk diajar pada pukul sembilan pagi itu. Begitu sampai di kampus lima belas menit sebelumnya, ia seperti biasa menuju area parkir depan gedung Kerjasama PLN-ITB. Tapi di sana tak ada lagi tempat kosong. Ia lalu mencari area parkir lain dan mendapati semuanya penuh. Karena waktu yang semakin mepet, ia memutuskan untuk parkir di tepi jalan depan Labtek IX. Menambah panjang barisan mobil yang sudah lebih dahulu terparkir di sana, meski ada rambu “P coret”.

Tiba-tiba seorang satpam mendekati. “Jangan parkir di sini Bu,” katanya. “Terus saya mesti parkir di mana?” jawab Sri. Satpam diam. “Jadi dosen nggak usah parkir, nggak usah ngajar aja, gitu?”

Dosen pada Program Studi Meteorologi ini lalu memindahkan mobilnya dan parkir di tepi jalan antara Labtek IX dan Laboratorium Mesin. Walaupun dekat situ ada “P coret” juga, kali ini si satpam tidak bilang apa-apa.

“Kenapa saya saja yang dilarang? Kalau memang tidak boleh, kenapa yang lain dibiarkan?” kata Sri saat ditemui di ruangan kerjanya, Rabu 4 Oktober lalu. Ia bertanya-tanya apakah mahasiswa sekarang diperbolehkan parkir di dalam. Sebab selama 33 tahun mengajar, “baru tahun ini saya lihat area parkir penuh semua seperti ini.”


DI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, pada hari dan jam kuliah, tidak semua kendaraan bisa masuk ke kampus. Hanya yang dilengkapi stiker yang boleh. Ini sebuah mekanisme pembatasan jumlah kendaraan, salah satunya supaya daya dukung area parkir tidak terlampaui. Dikeluarkan oleh Biro Sarana dan Prasarana, stiker ini masa berlakunya satu tahun.

“Hanya dosen dan staff ITB yang berhak mendapat stiker. Kemitraan, seperti Bank Niaga, BNI, dan kantin juga diberi, tapi tidak semua” kata Tugino dari Biro. Tapi buat Sri, tak masuk akal jika tidak ada kendaraan mahasiswa di dalam.

“Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi? Mobilnya baru-baru semua... Dalam arti saya baru lihat, sebelumnya tidak,” ujar Sri. “Lagipula dosen kan jumlahnya segitu-gitu aja. Berapa sih dibandingkan jumlah mahasiswa?”

Mereka yang tidak punya stiker bisa memilih parkir di tiga lokasi parkir milik ITB, yakni di Parkir Timur (dekat Fakultas Seni Rupa dan Desain), Parkir Barat (dekat Program Studi Teknik Sipil), dan Parkir Utara (dekat Perpustakaan Pusat). Ketiganya dikelola Biro Sarana dan Prasarana. Petugasnya masing-masing ada empat, yang tiap hari berpindah lokasi tugas. Tarif parkir di sana Rp. 1000,- untuk mobil dan setengahnya untuk motor. Ada karcis.

(Di Parkir Barat dan Parkir Timur, jika sedang beruntung, mobil anda bisa jadi putih kena siram kotoran burung kowak. Petugas parkir di sana pernah menyalurkan bakat kreatifnya membikin kaleng pengusir burung, tapi apa daya baru tiga minggu berjalan, kaleng dan tali-temalinya itu sudah raib dicuri orang).

Di samping itu, mereka bisa juga parkir di Sasana Budaya Ganesha. Ini adalah lahan milik Pemerintah Kota Bandung yang disewa ITB. Tarif parkirnya Rp. 2000,- untuk mobil.

Tak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya, khusus untuk mahasiswa ITB, ada tarif khusus. “Kalau menunjukkan KTM, bayar seribu,” ucap Yan Rizal, Kepala UPT Olahraga, yang selain mengelola mata kuliah olahraga juga mengelola lahan parkir ini.

Bahkan petugas parkir pun tak tahu soal “tarif khusus” ini. Saat ditanya berapa tarif parkir di sana, si petugas menjawab “dua ribu rupiah Neng,” sambil menunjuk tulisan ‘Rp. 2000’ yang ada di kaca pos jaga parkir.

“Kalau mahasiswa ITB bayarnya dua ribu juga Pak?”

“Iya.”

“Kalau saya menunjukkan KTM?”

“Tetap dua ribu, Neng.”

Yan Rizal bercerita, ia merasa gusar kepada mahasiswa yang memarkir mobil di tepi jalan tembus penghubung lahan parkir atas Sabuga dengan lahan parkir bawah, dekat kolam renang. Soalnya, jalan itu sempit. Kalau ada yang parkir maka akan mengganggu mobil yang hendak lewat. Dosen pada Program Studi Teknik Geologi ini sudah menempelkan larangan parkir, “tapi ternyata mahasiswa ITB pada nggak bisa baca.”

Selain di lokasi-lokasi itu, mereka bisa pula parkir di sepanjang Jalan Ganesha, Jalan Skanda, Jalan Tamansari, serta Jalan Dayang Sumbi. Namanya parkir jalanan, petugasnya datang dari barisan berseragam oranye. Beberapa beri karcis beberapa tidak.

Semua lokasi parkir menunjukkan kondisi yang sama: penuh.


LINA ROOSLINA dari Biro mengatakan, dalam sehari pihaknya menerima sekitar Rp. 900 ribu hasil pemasukan uang parkir dari tiga lokasi yang dikelolanya. Ini jumlah kasar. Saat diminta perinciannya, Lina menolak dengan halus. “Jangan sekarang deh.”

Agak sulit memang untuk mengetahui berapa persisnya jumlah pemasukan dari tiga lokasi ini. Pertama, tidak semua pengguna bersedia bayar parkir. Misalnya di Parkir Timur.

“Paling susah dimintai bayaran. Kadang main nyelonong masuk aja” kata Aam, salah seorang petugas parkir.

Kedua, kalaupun bayar, tidak semua pengguna mendapatkan karcis hijau tanda bukti pembayaran. Padahal karcis ini selain berfungsi sebagai alat pengamanan, juga sebagai alat periksa kesesuaian jumlah uang yang harus disetor.

“Kita sih pasti ngasih karcis. Terserah orangnya mau diambil apa nggak.”

Yoga Sukmadewa, mahasiswa Oseanografi angkatan 2002, termasuk salah seorang dari mereka yang tidak menerima karcis parkir. “Gua sengaja. Kasihan sama petugasnya.” Agaknya ada semacam keterikatan emosional antara pengguna dan petugas parkir, yang membuat mereka tidak mau menerima karcis.

“Berapa sih gajinya mereka? Padahal kerjaannya berat. Lo udah pernah lihat mereka gotong motor belum? Roda depannya diangkat,” kata Yoga. “Kalau ada kendaraan hilang, mereka pertama kali kena. Kalau ada yang ketinggalan kunci, mereka yang nyimpenin.”

Sejak angkatan 2006 masuk, jumlah motor melonjak. Oleh karena itu, di Parkir Utara, jatah lahan parkir mobil dikurangi dan dialihkan untuk motor.

Dan sejak kasus kehilangan kendaraan semakin marak (terakhir, sebuah Toyota Starlet lenyap di Parkir Timur pada 2 Oktober), tidak boleh lagi ada parkir paralel. Jajang, seorang petugas parkir, menyebutkan ini “kebijakannya Pak Rustandi.” Rustandi yang dimaksud adalah Rustandi Sasmita, Kepala Biro Sarana dan Prasarana.

Mulai pukul lima sore hingga sembilan malam, semua kendaraan boleh masuk kampus tanpa perlu biaya sepeserpun (tidak seperti di Universitas Indonesia di mana anda mesti membayar Rp. 2000,- untuk sekedar “izin masuk kampus”). Anda akan menerima tiket dari pos satpam di gerbang depan, yang mesti diserahkan kembali pada saat keluar.


ADALAH SULIT UNTUK MENGATAKAN bahwa tidak ada mahasiswa yang membawa mobil masuk ke kampus. Mereka memang ada. Tentang hal ini, Tugino dari Biro mengatakan, hal itu sebenarnya tidak boleh.

“Tapi terkadang ada yang anaknya dosen...” sambungnya. “Juga sekarang kasusnya, banyak stiker yang dipalsukan, di-scan...”

Kami beruntung bisa mewawancarai tiga di antara mahasiswa berstiker yang membawa mobilnya masuk kampus. Tapi maaf, berdasarkan kesepakatan, kami tak bisa membagi identitas sebenarnya mereka kepada anda.

Yang pertama, kita panggil saja Juan. Dia memakai stiker milik ayahnya yang bekerja di bagian tata usaha sebuah Program Studi. Stiker itu kadang dipakainya bergantian dengan adiknya. Dengan begitu, Juan bisa memarkir motonya sedekat mungkin ke ruang kuliah.

“Ada banyak mahasiswa beli stiker dari pegawai TU,” kata Juan.

Kemudian, Ninda. “Gua dapet stiker dari bokap gua.” Ayahnya, seorang pejabat Bank BNI di Jakarta, menghubungi BNI Tamansari supaya mengusahakan stiker buat Ninda. Setelah dapat, Ninda membayar Rp. 125 ribu. Stiker ini dibuat resmi berdasarkan plat mobil dan identitasnya. Jadi jika sewaktu-waktu ada razia, Ninda akan aman-aman saja. Mau tahu kenapa ia butuh stiker?

“Supaya bisa masuk kampus, mungkiiin?” jawabnya dengan logat anak Jakarta. “Gua males jalan. ITB itu gede.”

Masalah besar-kecil-luas-sempit memang relatif. Dan kita tidak bisa menutup mata bahwa bagi beberapa orang, 28 hektar tergolong luas hingga mereka malas berjalan.

Yang terakhir: perkenalkan, Raymon. Pada mulanya, ia meminjam stiker milik temannya sesama mahasiswa. “Temen gua beli dari asisten Kimia Dasar, kalau nggak salah, harganya empat ratus sampai lima ratus ribu.” Oleh Raymon, stiker itu kemudian di-scan.

“Mau tahu biaya scanning-nya? Dua ribu rupiah,” kata Raymon tersenyum sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf ‘V’ di udara. Setelah diolah dengan Adobe Photoshop, stiker itu dicetak di atas kertas foto.

Lalu bagaimana dengan nomor serinya?

“Gua ganti. Pas temen gua ada keperluan ke pos satpam, gua ikut. Pinjam lihat database nomer stiker yang sering disalahgunakan. Gua pastiin nomer stiker gua bukan yang dicari itu.”

Tapi itu dulu. Sekarang stiker hasil scanning itu sudah ia hibahkan ke temannya. Raymon sudah punya stiker baru, yang ia bilang didapat dari hasil koneksi ayahnya, seorang petinggi di sebuah perusahaan pertambangan.

Karena stiker ini bekas orang, Raymon masih waswas bilamana ada razia, ia akan ketahuan.

Saat ditanya alasannya, Raymon sambil tersenyum menjawab “Nyari parkir itu susah. Di mana-mana penuh. Makanya gua bukan kriminal total. Gua cuma gak mau terlambat menuntut ilmu.” []

------
Naskah yang masih jauh dari sempurna ini sedianya kami susun untuk Boulevard ITB. Daripada makin lama makin basi, lebih baik diterbitkan di sini saja deh. Juga bisa dibaca di sini. Terimakasih.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by