Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Tenda Biru di Gerbang Ganesha

Thursday, March 17, 2005

Apa reaksi khalayak terhadap empat mahasiswa ITB yang mogok makan?

Oleh Ikram Putra

RAMSES J. Tamba tidur telungkup di atas kasur tipis. Matanya terpejam. Mukanya agak lemas. Di sebelah kandidat Presiden KM-ITB itu, berbaring pula Sandra, Wira, dan Agus. Mereka dinaungi plastik biru yang dijadikan tenda. Di dekat mereka, terbentang kain putih bercoretkan banyak tandatangan.

Semua itu menjadi pemandangan tak lazim: empat mahasiswa tidur-tiduran dalam tenda biru, di gerbang utama Institut Teknologi Bandung.

Ada apa gerangan?

Ramses dan kawan-kawan sedang melakukan mogok makan. Mereka memulainya pada Selasa pukul 17.00 WIB. Mogok makan ini menandakan protes mereka terhadap kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah pada awal Maret silam. Selain itu, ini juga bertujuan menggalang solidaritas untuk sebuah aksi unjuk rasa yang dijadwalkan berlangsung Kamis ini.

Sedangkan kain putih itu, fungsinya menampung aspirasi yang mendukung gerakan mereka.


PUKUL 16.00 WIB. Sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Sekelompok anak muda keluar dari dalamnya dan berjalan mendekati tenda Ramses. Sampai di depan kain putih, seorang dari mereka bersuara.

"Ini beneran, mogok makannya?" katanya.

"Jangan-jangan minum Jelly Drink?" sambungnya lagi.

Dia kemudian jongkok dan meraih spidol, membubuhkan tandatangan. Teman-temannya lantas melakukan hal serupa. Satu orang tidak, karena mengabadikan tingkah temannya yang lain dengan handycam. Saya mendekati salah satunya, Mirna. Saya tanya alasannya memberi tandatangan.

"Simpati, meski ini percuma," katanya.

Buat Mirna dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, aksi mogok makan tak akan mengubah keadaan karena tak jelas siapa yang akan mendengar. Pengaruhnya kecil. Begitupun, dia tetap membubuhkan tandatangan atas dasar simpati.


PUKUL 16.30 WIB. Widyo Nugroho sedang berada di Jakarta. Dia ada pertemuan di Direktorat Pendidikan Tinggi soal kemahasiswaan. Usai rapat, Widyo terbang ke Bandung dan langsung menemui mahasiswa yang mogok makan. Dia berbincang singkat dengan mereka. Selepas itu, kami bertemu.

"Saya justru tahu ada mahasiswa yang mogok makan dari Anda," kata Widyo pada saya.

Saya tersenyum. Saya memang mengirim pesan pendek menanyakan reaksi Widyo terhadap adanya mahasiswa yang mogok makan. Tak saya sangka, saya justru memberitahunya.

Lantas, apa reaksi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan ini?

"Apa yang dilakukan Ramses bukanlah gerakan kemahasiswaan dengan basis nilai ilmiah," jawab Widyo hati-hati. Widyo lebih melihat mogok makan sebagai gerakan moral, sebagai protes atas kenaikan harga BBM.

Dia menyayangkan "kegiatan menyiksa diri sendiri" yang dilakukan empat mahasiswa ITB itu. Kita, katanya, mesti mencari cara-cara terpelajar dalam menyalurkan protes terhadap kenaikan harga BBM.


SORE itu, gerbang ganesha ramai sekali. Langit makin gelap seiring matahari tenggelam. Di depan kain putih, seorang pengamben berorasi dengan megaphone. Dia berteriak-teriak soal ketidakadilan. Mengapa dirinya yang menyanyikan shalawat diberi uang seratus rupiah, sedangkan temannya yang menyanyikan lagu dari Maroon 5 mendapat seribu. Dia juga lancar menyitir ayat-ayat suci.

"Jeritan hati rakyat," kata Agus pada saya.

Namun, apa yang dilakukan pengamen itu seolah tak mendapat perhatian khalayak yang ada disitu. Orang-orang tetap saja hanya hilir-mudik di sekitarnya. Di dekat pos satpam, ada yang membagi-bagikan pamflet berisi ajakan turun ke jalan.

Saya jadi penasaran. Apakah mereka tahu apa yang sedang terjadi?

"Aksi menolak kenaikan harga BBM," kata Adis dari Teknik Lingkungan.

"Mogok makan. Tapi saya nggak setuju dengan aksi-aksi gitu. Menyiksa diri sendiri," cetus Wawan dari Teknik Lingkungan.

Saya lantas teringat kata-kata yang diucapkan Ramses kepada Widyo: Demi Rakyat, Pak. []

------
SELASAR Edisi 25, Maret 2005

Catatan penulis: Ramses J. Tamba terkena diskualifikasi setelah mendapat empat peringatan keras. Kandidat Presiden KM-ITB tinggal dua sekarang: Wiyono dan Muhammad Syaiful Anam.

Wiyono Ngambek Sebab Tak Paham

Friday, March 11, 2005

Ikram Putra
Boulevard ITB

SAUDARA Wiyono, seorang yang sedang bertarung memperebutkan kursi presiden KM-ITB, menggugat SELASAR dalam sebuah hearing kampanye. Menurutnya, mingguan ini telah berkampanye gratis bagi kandidat yang lain, Muhammad Syaiful Anam. Ia lantas meminta kejelasan dari tiga pihak: Anam, panitia pelaksana pemilu, dan kami. Sebelum ada kejelasan, Wiyono emoh menjawab pertanyaan selama hearing.

Pembaca, penyebab Wiyono berbuat ini adalah rubrik kami "Suara Kamu" yang bertanya pada publik siapa yang mereka akan pilih pada pemilihan presiden KM tahun ini. Ada dua orang yang dengan lugas menyatakan pilihannya -mereka akan memilih Anam. "Suara Kamu" adalah rubrik yang menampung sms-sms masuk sebagai respon atas pertanyaan kami. Seperti polling pendapat.

"Sesuai etika jurnalisme," kata Wiyono pada saya, "seharusnya SELASAR tidak menyiarkan itu, karena bisa menggiring opini publik."


SAUDARA Wiyono ngambek sebab dia tidak paham tugas-tugas jurnalisme yang kami usung. Ada sembilan elemen jurnalisme, sebagaimana dirangkum Kovach dan Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, 2001. Salah satunya adalah "jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga". Dan butir inilah yang kami coba lakukan, dengan menyiarkan sms-sms yang sampai kepada kami.

Agar lebih fokus, tiap minggunya kami melempar pertanyaan terbuka yang berbeda-beda. Pertanyaan yang berbuntut gugatan itu sendiri berbunyi: Siapa yang Anda dukung menjadi presiden KM 2005-2006?

Jikalau ini sungguh bisa "menggiring opini publik" (yang adalah esensi kampanye), maka pertama-tama kami patut berterimakasih pada tudingan itu. Itu artinya, Wiyono percaya pembaca memperhatikan kami dan percaya bahwa apa-apa yang kami sampaikan benar adanya.

Tapi kemudian saya harus minta maaf kepada Wiyono, karena tidak semudah itu. Kami di sini melayani pembaca ITB yang cerdas. Mereka, saya yakin, tidak lantas dengan mudah "tergiring" hanya karena dua baris kalimat di "Suara Kamu". Maaf, saya harus katakan bahwa saya kecewa terhadap tudingan Wiyono, yang secara tidak langsung mengatakan pembaca kami bodoh -- dalam hal menjatuhkan pilihan.

Apapun pilihan pembaca, itu menjadi hak mereka sepenuhnya. Kami hanya menyajikan informasi agar mereka bisa merdeka dan bebas menentukan pilihan. Termasuk juga informasi tentang gugatan Wiyono. Itu semua kami sampaikan, namun kami tak ada urusan dengan pilihan akhir mereka.


SAUDARA Wiyono ngambek sebab dia tidak paham etika jurnalisme. Mari kita tengok Kode Etik Wartawan Indonesia butir (4) yang menyebutkan hal-hal apa saja yang tidak boleh disiarkan.Yakni, "...bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila."

Pembaca, sama sekali tidak ada butir yang melarang menyiarkan informasi yang "menggiring opini publik". Sejauh itu kebenaran, maka itulah yang kami siarkan. Dan itu adalah etika jurnalisme SELASAR. Jika kami tidak menyiarkan sms-sms itu (sebagaimana yang Wiyono mau) maka justru saat itulah kami mengkhianati elemen jurnalisme "forum publik" tadi.

Saya sudah mengecek kepada Maya Irawati, Pemimpin Redaksi SELASAR, dan sms-sms itu ada. Bukan dusta.


SAUDARA Wiyono ngambek sebab dia tidak paham cara menyelesaikan masalah ini. Andai ia tahu akan adanya Hak Jawab, tentu acara hearing tak akan sempat mandek. Tentu Muhammad Syaiful Anam tak perlu repot memberi klarifikasi. Tentu Jalu Pradhono -- ketua panitia pemilu -- tak perlu membuat surat klarifikasi bersama.

Segala macam keberatan terhadap isi sebuah media, semestinyalah ditujukan kepada media itu. Dalam kasus ini, Wiyono hanya tinggal menuliskan mengapa ia keberatan beserta argumennya. Nanti, kami akan muat. Wiyono tak perlu ngambek. Tak perlu mengumbarnya di hadapan publik, apalagi dalam sebuah forum yang sama sekali bukan tempatnya. []

Bertepuk Sebelah Tangan

Tuesday, March 08, 2005

Aji GPS dan Ikram Putra

Edaran wakil rektor kemahasiswaan tak dihiraukan mahasiswa

WIDYO Nugroho resah. Baru 22 hari menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, ia sudah dihadapkan pada wisuda mahasiswa. Acara ini, seperti biasa, bakal diwarnai dengan tradisi arak-arakan yang rentan memicu tawuran antarhimpunan mahasiswa.

"Destruktif," kata Widyo tentang kegiatan pawai wisuda khas mahasiswa ITB itu.

"Anda tahu, acara wisuda adalah kegiatan yang berbiaya tinggi," sambungnya. Ada dosen yang mengawasi agar tidak tawuran, dan banyak sampah berceceran.

Sadar dirinya adalah pendidik, Widyo tak mau tinggal diam. Ia lantas mengirim surat edaran kepada himpunan-himpunan mahasiswa dan unit-unit kegiatan mahasiswa untuk "memperhatikan dan menghindari hal-hal berikut".

Jangan arak-arakan baik di dalam kampus maupun di luar... Jangan menggunakan kendaraan berat... Jangan menutup jalan, mengeluarkan kata-kata kotor, serta berkelahi/tawuran.

Buat mereka yang merayakan wisuda secara baik, tertib, indah, dan kreatif, ada hadiah. Rayakanlah dengan tertib, wajar, dan tidak berlebihan.

Tak lupa, akan ada sanksi bagi mereka yang melanggar.

Surat itu bernomor 321/K01.04/KM/2005 dan bertanggal 4 Maret 2005. Alias, sehari sebelum acara wisuda berlangsung.


LANGIT cerah. Matahari bersinar lumayan terik. Siang itu di Sasana Budaya Ganesha, acara wisuda baru saja usai. Di pelataran parkir, manusia berjubel. Ada pedagang kaki lima, tukang foto keliling, dan keluarga mahasiswa yang menunggu para wisudawan keluar.

Puluhan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain menanti di dekat pintu utama. Dengan mengenakan kostum bebek dan koki, mereka menyambut para wisudawan dari FSRD. Mereka meneriakkan yel-yel dengan iringan genderang. Mereka cukup menyedot perhatian sekeliling.

Saya berdiri di sana. Saya melihat kumpulan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Elektroteknik menyambut para wisudawan mereka. Yang laki-laki meloncat ke atas truk. Yang perempuan, dibantu pijakan dari tangan.

Arak-arakan kemudian dimulai. Himpunan Mahasiswa Sipil, Himpunan Mahasiswa Elektroteknik, Keluarga Mahasiswa Penerbangan, adalah sebagian mereka yang terlihat membawa wisudawan mereka menuju Gerbang Ganesha dengan sebuah pemandangan klise: wisudawan bergelantungan di truk bagaikan koboi memberi semangat kepada adik-adik mereka yang berjaket himpunan -- yang mengawal dengan barisan di depan.

Dalam antrian kendaraan yang mengular, seorang supir angkutan kota bercerita pada saya, dirinya tak mengapa dengan kemacetan dadakan itu.

"Dimana-mana juga macet kok," kilahnya.

Suasana jadi mirip karnaval jalanan. Saya heran. Adakah mahasiswa membaca edaran Widyo itu?


"ARAK-arakan ini kan udah dipersiapkan dari jauh hari. Kalau dibatalin, mau apa lagi isinya?" komentar Prima, mahasiswa Teknik Industri angkatan 2003.

Anggapan senada saya jumpai pula pada Fitra, seorang mahasiswa Teknik Material. Fitra bercerita, karena edaran datang mendadak, ia tetap tak bisa mengubah apa-apa. Semua sudah direncanakan.


DUA hari kemudian, pada pukul 12.30 saya datang ke ruangan Widyo Nugroho di Lembaga Pengembangan Kesejahteraan Mahasiswa. Sambil sibuk mencatat sesuatu, ia mempersilakan saya duduk. Di mejanya ada tumpukan kertas dan buku.

"Terimakasih, Anda berminat mengangkat soal edaran ini," ucapnya.

"Edaran itu tak digubris. Apa komentar Anda?"

Widyo menampik. "Jangan dibilang tak digubris,"

Dari perspektifnya, Widyo melihat dirinya sudah berupaya mencegah budaya arak-arakan, serta tawuran yang "destruktif" tadi. Ia tak bermasalah jika edaran itu bertepuk sebelah tangan.

"Undang Undang Anti Korupsi saja, yang berskala nasional, juga tak digubris," ia memberi analogi.

Yang penting, kata dosen Teknik Geodesi ini, edaran adalah sebuah titik awal pelaksanaan pembenahan. Ia pun tak akan menimpakan sanksi bagi para himpunan yang tidak menghiraukan edarannya. Soalnya, sanksi yang khusus mengurusi soal wisuda itu belum ada.

Ia menilai edaran itu cukup berhasil, karena tak ada tawuran yang terjadi.

Widyo berencana mengumpulkan para ketua himpunan untuk mempertanyakan pentingnya merayakan wisuda dengan arak-arakan.

Mengapa tak melakukannya dari dulu, jauh sebelum mengeluarkan edaran?

"Tak ada waktu," jawab Widyo, tersenyum.


------
SELASAR Edisi 24, Maret 2005

Ralat: Tidak ada wisudawati dari Himpunan Mahasiswa Elektro. Mohon maaf atas kesalahan ini.

Meeting A Racer

Friday, March 04, 2005

Last night, my friend in highschool sent me a text, saying she was in Bandung. I replied quickly and asked her to meet somewhere, for dinner. She asked back where to.

"Di mana yang enak? Chempor atau Halaman?"

Damn. All the good-tasting foods for her meant all the deep-pocket-digging ones for me. But hey, eating there during first week of the month would not clean out my monthly budget anyway. Beside, considering we hadn't met for quite long time, I thought it was tolerable.

"Halaman aja."

At least, I didn't have to spend more money for the angkot!

At eight, she called me and we agreed to meet up at McD Simpang Dago -- the place she only knew around. She said there were four of them, including her boyfriend. We lastly rearranged the meeting point -- straight to the Halaman.

And there we met. I reached the place at the same time they arrived. I introduced myself to this gentlemen and another new name.

We then were directed to our seats.

I started to smoke, so did he. Thanks to this Indian-brilliant-invention-ever, we easily chitchatted about things. They said they were here to watch a drag-race competition on Sunday.

"Elo tau nggak tentang itu?"

"Nggak,"

I had been told that he was a car-racer. Well, I must say he did act like one. He smiled a lot, making fun of his girl friend all the time, joking around. Nothing serious.

To me, it's "pembalap banget".

Being used to surrounded by girls, he might be thinking he was one step behind Schummy.

She -- my highschool friend -- and I ordered steak. He chose special fried rice ("...with no shrimp and egg" he moaned), and the two girls had only french fries. Had finished their meals before us, they stood up and went to the clothing outlet to look around.

I was glad. I had time to talk about something more personal and more "me" for about twenty minutes.

Later on, they got back. My new friend bought a new belt. They were laughing. He told us about the shopkeeper, who had mistakenly inserted the price to the Visa machine.

"Itu harganya 165 ribu. Tapi si mbak-nya salah, dia masukin 265 ribu. Jadinya dia ngasih kita seratus ribu," he said. Still with laugh.

"Udah gitu mbak-nya ngomporin banget. Gua lagi liat-liat jam tangan, padahal gua nggak bawa cash. Eh dia malah nawarin, 'jadi satu aja Mas?'"

At this point, I could hardly hold myself. If it hadn't been for her, I would had quit faking my smile. As you can see, I was in these situations:

It's the first week of the month, and I was already halfway through my spending-much-money.

It's just two days after the raise of the fuel's price, and I was talking with a smiley car-racer who obviously didn't seem to have problems with that. None of them would, I guessed.

It's my meeting with an old friend, and I couldn't catch up well.

But let's cut it off.

However, I should be thankful that I didn't have to pay the bill. It was on him :)

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by