Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Negrofonte? Negroponte!

Friday, April 27, 2007

Tempointeraktif hari ini (27/4) memuat berita berjudul "Harga Proyek Negrofonte Melambung".

Padahal kita tahu yang benar adalah "Negroponte". Lengkapnya Nicholas Negroponte, pencetus proyek "One Laptop per Child" yang dulu menjabat direktur Lab Media MIT. Ia juga penulis buku "Being Digital".

Ketika awal pekan ini Tempointeraktif menulis famplet bukannya pamflet saya masih bisa maklum. Mungkin si wartawan sangat sibuk sehingga tak sempat mengecek mana yang benar. Tapi kali ini? Mengapa nama orang yang jelas-jelas "Negroponte" jadi "Negrofonte"?

Heran. Sama sekali tidak susah dan tidak butuh waktu banyak kok untuk memastikan ejaan nama Mister Nicholas. Apalagi kalau cuma mengutip Associated Press. Tuliskan saja sebagaimana AP menuliskannya. Beres! Tak perlu buka kamus atau Google atau Yahoo, atau sebangsanya (dan tak perlu improvisasi).

Jangan-jangan di ruang redaksi Tempointeraktif sedang ada kecenderungan untuk menukar penggunaan f dan p. Siapa yang nggak melakukannya nanti dianggap nggak gaul. Nah daripada nanti dianggap nggak gaul, lebih baik mengganti nama orang sesuka hati. Kita harap maklum sajalah.

------

Famplet atau Pamflet?

Monday, April 23, 2007

Tempointeraktif (23/4) pagi ini memuat berita berjudul “Famplet Adang dan Dani Sebagai Calon Gubernur Disebar”. Tadinya saya pikir ini salah ketik biasa – f jadi p. Rupanya bukan. Mereka memang sungguh-sungguh menulis famplet di sekujur tubuh berita. Coba saja baca beritanya utuh. Famplet semua.

Padahal kita tahu yang benar adalah pamflet. Ini dari bahasa Belanda, yang kalau dalam bahasa Inggris ditulis pamphlet. Artinya? Selebaran, atau buku kecil berisikan informasi atau opini. Cocok kan dengan sesuatu yang dibagi-bagikan kepada masyarakat, seperti dalam berita di atas?

Saya mencoba memaklumi, mungkin wartawan Tempointeraktif itu seorang Sunda. Makanya dia terbalik-balik antara f dan p. Salah satu keunikan orang Sunda kan ya itu: suka terbalik-balik. Saya pernah dengar lelucon soal penyanyi dangdut yang bilang, “Ah, saya mah fositip thinking sajah” ketika lagi ramai digosipkan.

Dan pernah juga saya dengar lelucon yang berbunyi, “Kata siapah orang Sunda nggak bisa ngomong ep? Pitnah eta!” Hahahaha.

Tapi anggapan umum atau stereotype ini tentu saja tak sepenuhnya benar. Eyang putri saya orang Sunda, umur 80 tahun. Dari dulu sampai sekarang pelafalan tiap katanya selalu tepat dan jelas. Memang sih, bisa jadi ini akibat pendidikannya (dia dulu murid sekolah guru) tapi saya kira semua orang Sunda bisa kok seperti dia. Ini lebih kepada disiplin diri serta keinginan untuk selalu mencari tahu mana yang benar.

Nah, yang terakhir inilah yang tidak dilakukan kawan kita dari Tempointeraktif itu. Dia mungkin sangat sibuk sehingga tidak sempat memeriksa ejaan yang benar. Famplet atau pamflet?

------
Arti kata pamflet di Dictionary.com

Aminah

Thursday, April 19, 2007

Ini cerita 23 tahun yang lalu, ketika Aminah berulangtahun ke-57.



Waktu itu putri sulung Aminah sedang hamil tua. Perkiraan dokter mengatakan, putrinya akan melahirkan pada awal April. Tapi sekarang sudah tanggal 19 dan belum juga ada rasa kontraksi atau apapun. Agaknya janin itu terlalu betah di dalam.

Sebelum ini putri Aminah yang bungsu sempat berharap si bayi akan brojol pada tanggal 14, supaya mereka bisa merayakan ulangtahun sama-sama. Hmm, tak terkabul. Malah sudah lewat lima hari. Janin itu benar-benar betah di dalam? Saya tak tahu.

Saya juga tidak tahu bagaimana awalnya sehingga, Aminah tiba-tiba melangkahi si sulung yang sedang berbaring. Kaget bukan main, dia bertanya: "Kenapa Mah?"

"Nggak apa-apa," jawab Aminah singkat. Belakangan dia mengaku dirinya hanya mengikuti nasehat orang-orang tua zaman dulu.

Lalu keanehan pun terjadi. Percaya atau tidak, putri sulung tak berapa lama merasa mulas. Hari itu juga mereka mengantarnya ke sebuah rumah sakit. Semua berjalan cepat. Bayinya laki-laki.

Sepanjang hayat, Aminah akan berbagi hari ulangtahun dengan cucunya yang kedua itu.

Bahwa dalam sebuah keluarga, ada orang-orang yang lahir pada hari yang sama, sudah sering saya dengar. Tapi bayi yang mesti dilangkahi neneknya dulu baru lahir, seolah-olah ia bisa menunggu dan memilih hari lahirnya sendiri? Sulit dipercaya bukan?

Mungkin iya mungkin tidak. Saya sih percaya saja, sebab sayalah bayi itu. Aminah eyang putri saya.


Eyang putri,
Selamat ulangtahun ke-80
Semoga selalu di bawah rahmat Allah swt.

Tak Pandai Berhitung

Monday, April 16, 2007

Di acara Politeknik Bandung Sabtu (14/4) kemarin, saya mengatakan kepada hadirin bahwa banyak wartawan Indonesia tak pandai berhitung. Atau setidaknya tak biasa pakai kalkulator. Sebenarnya bukan maksud saya menghina wartawan begitu. Karena tak sempat menjelaskan lebih jauh, izinkan saya menjelaskannya di sini ya.

Saya sebenarnya sedang menunjukkan sebuah contoh buruk betapa gampangnya orang berkomentar tanpa sungguh-sungguh tahu duduk masalahnya (saya juga termasuk yang model begini). Nah, kebiasaan wartawan yang tidak pandai berhitung, sedikit banyak memperparah kebiasaan orang yang suka asal bunyi itu.

Contohnya adalah hingar-bingar rencana pembelian laptop bagi anggota DPR (duh!). Berapa sih harga tiap laptop sesungguhnya? Mari kita tengok cuplikan berita dua media massa nasional.

Dari Kompas, 24 Maret 2007.
Menurut Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal, anggaran untuk sebuah laptop Rp 21 juta. Berarti, untuk 550 laptop, total uang negara yang akan dihabiskan mencapai Rp 12,1 miliar.
Dari Tempointeraktif, 28 Maret 2007.
Agung pada Selasa lalu mengumumkan DPR memutuskan membatalkan pengadaan laptop yang anggarannya Rp 12,1 miliar. Dana ini dengan asumsi setiap unit laptop Rp 21 juta.
Mereka sama-sama menulis angka Rp 21 juta. Padahal, total anggaran berjumlah Rp 12,1 miliar. Ini kan aneh. Anggota DPR ada 550. Jadi 550@21 juta akan menghasilkan... Rp 11,55 miliar.

Kompas memang cuma mengutip Sekjen Faisal Djamal, tapi mengapa tidak dikoreksi? Atau ditanyakan keesokan harinya ("Pak, setelah dihitung-hitung nggak sampai 12 miliar nih. Hayo! Kemana setengah miliar lagi?")

Pak Wakhudin dari Pikiran Rakyat, yang duduk di sebelah saya, menanggapi, "ya sisanya itu untuk biaya lain-lain hehehehe". Hadirin juga ikut tertawa. Memang hal kecil sih, tapi buat saya yang kecil-kecil ini fatal.

Gara-gara salah hitung yang dibiar-biarkan ini, banyak masyarakat terjerat dalam kebodohan. Apalagi blogger. Mereka dengan cepat memprotes rencana ini tanpa mau capek-capek memeriksa lagi angkanya. Oya, rencana ini sudah masuk APBN 2007. Jadi peduli setan dengan anggota yang sok-sok akan menolak.

Saya kira hanya Republika, dalam tajuknya, yang teliti.
DPR akan bagi-bagi laptop (komputer jinjing) ke seluruh 550 anggotanya. Harga per satuannya sekitar Rp 21 juta. Sehingga, total anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 11,5 miliar. Namun, oleh pejabat berwenang disebutkan sekitar Rp 12,1 miliar.
Tapi mereka pun tidak menelusuri lebih jauh kemana selisih itu pergi. Sementara itu lihatlah: akibat wartawan tak pandai berhitung, masyarakat (terutama blogger) sibuk cuap-cuap dan sekaligus tenggelam dalam kebodohan.

Fatal bukan?

My Early Present 2

Thursday, April 12, 2007

This year's is 256MB RAM card, so that my laptop can speed up a bit. I bought it along with my housemate Achmad Bisri, who also wanted to buy one. But we were in hurry we didn't spend much time to survey. Anyway, with a life-time warranty, I think this MCPRO thing is not bad.

Last year I didn't write down what I gave to myself -- books from Banana Publishing, about literary journalism. They offered a discount. So again, I thought it's not bad. Let's see what next year's present will be.

Cheers.

Kelas Jurnalisme

Tuesday, April 03, 2007

Di saat orang-orang bergembira merayakan wisuda 3 Maret kemarin, kami di Campus Center juga bersenang-senang dalam Kelas Jurnalisme Boulevard.



Ini adalah kelas kecil-kecilan dengan tujuan memperkenalkan apa-itu-jurnalisme kepada teman-teman di kampus. Sengaja ingin kecil saja, supaya kelasnya bisa berlangsung dengan fokus dan akrab. Santai. Niatnya memang mengadaptasi model kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau.

Tapi ternyata yang datang banyaaak sekali -- sampai-sampai tidak terlihat :) Total yang bisa tertangkap kamera hanya dua saja: Wan Intan (kiri) dan Rizky Diah (kanan bawah).

Kami pertama-tama mendiskusikan resensi Andreas Harsono soal Sembilan Elemen Jurnalisme (yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001), lalu menghubungkannya dengan kenyataan sehari-hari. Pertanyaan klasik juga dibahas: apakah infotainment itu jurnalisme? Haha.

Kemudian soal wawancara. Berapa banyak kata sih idealnya dalam satu pertanyaan? Makin sedikit rupanya makin baik. Kalau terlalu panjang, malah bikin bingung narasumber.

Keesokan harinya, kami berlanjut ke tulisan. Tentang perbedaan hard news dan feature. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan struktur antara keduanya. (Kalau hard news lebih berita, maka feature lebih cerita.)

Wan Intan dan Rizky bilang, kelas kecil-kecilan ini lumayan menarik. Suasananya santai. Kalau ada yang kurang, maka itu terletak pada pembicaranya yang cuma satu. Membosankan mungkin hahahaha.

------
  1. Resensi Sembilan Elemen Jurnalisme.
  2. Kritik Menuju Layar Liputan 6 tahun 2004.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by