Bandung, 8 Agustus 2007
Kepada
Ibu Ivonne M. Radjawane
Ketua Program Studi Oseanografi
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Dengan hormat,
Izinkan saya menulis untuk menyampaikan perihal insiden yang saya alami di Semester Pendek 2007/2008. Pada SP tahun ini saya mengambil matakuliah Mekanika (FI 2101) dengan dosen Pak Bobby Eka Gunara.
Waktu itu hari Kamis, 28 Juni 2007. Saya menemui kesulitan ketika mengerjakan soal di papan tulis. Soal integral. Pada mulanya Pak Bobby memberi petunjuk bagaimana menyelesaikan soal itu. Namun karena saya tidak kunjung bisa, nada suaranya kemudian meninggi dan lebih lanjut mengatakan: “Kalau kamu nggak bisa juga saya kasih E nanti. Pilihannya gitu aja. Bisa atau DO sekalian”.
Saya langsung panik dan tidak bisa berpikir. Mematung di depan kelas. Akhirnya setelah 5-10 menit kelas pun bubar, dan saya tidak diperkenankan mengikuti kelas lagi sebab “sudah direkomendasikan tidak lulus Mekanika”.
Saya memutuskan mendatangi ruangan Pak Bobby untuk meminta kesempatan mengikuti kelas. Di depan ruangannya kami berbicara sebentar. Pak Bobby bilang, semestinya saya bisa mengerjakan soal itu, sebab bab Integral sudah diajarkan di Kalkulus. Tapi saya tidak sempat mengatakan kembali kepadanya kalau saya lulus Kalkulus pun dengan nilai pas-pasan.
Kemudian dia masuk sementara saya tetap di luar. Dialog dilanjutkan dengan saling menyahut lewat jendela. Sampai sore itu berakhir dan Pak Bobby meninggalkan ruangannya, permohonan saya masih ditolak. Saya divonis tidak lulus Mekanika.
Pada hari Senin, 2 Juli 2007, saya memberanikan diri tetap datang ke kelas. Melihat saya ada di kelas, Pak Bobby meminta saya keluar dan mengatakan supaya saya membikin surat perjanjian terlebih dahulu. Isinya adalah bahwa saya akan diberi ujian khusus – jika nilai ujian saya kurang dari 30, saya langsung dapat E untuk Mekanika. Jika lebih dari 30, saya boleh ikut kelas kembali. Surat itu harus dibubuhi materai dan diketahui ketua program studi Oseanografi (waktu itu Ibu Nining Sari Ningsih).
Tandatangan Ibu Nining saya dapatkan pada 12 Juli 2007, setelah menunggu dosen wali saya (Pak Mohammad Ali) kembali ke Bandung dari luar kota.
Dari teman sekelas, saya mendapat kabar bahwa ujian khusus saya ternyata diganti menjadi Ujian Tengah Semester. Surat perjanjian saya serahkan pada hari UTS, 18 Juli 2007. Pada keesokan harinya, nilai sudah keluar. Saya mendapat 10. Jadi berdasarkan surat perjanjian, saya resmi tidak lulus Mekanika.
Bersama Johannes Pangaribuan (teman saya yang pada Rabu 11 Juli 2007 terkena insiden serupa) saya menemui Pak Pepen Arifin, ketua Program Studi Fisika. Kepada beliau kami menceritakan semuanya. Dari situ, Pak Pepen meminta kami kembali pada Senin 23 Juli 2007 sebab dia perlu mendengar cerita dari Pak Bobby terlebih dahulu. “Soalnya buat saya nggak masuk akal kalau kalian diusir gara-gara nggak bisa mengerjakan soal,” katanya.
Kami pun kembali lagi pada 23 Juli 2007. Di sana kami diberitahu bahwa, menurut Pak Bobby beliau sengaja memperlakukan kami demikian sebagai motivasi supaya kami lebih tekun lagi. Dan sekarang, kami boleh masuk ke kelas dan juga ikut Ujian Akhir Semester. Ketika saya tanyakan perihal surat itu – apakah dianggap batal atau bagaimana – Pak Pepen menjawab “Soal surat nggak usah dipikirkan. Konsentrasi saja ke ujian”.
Ujian Akhir diadakan pada 30 Juli 2007. Lagi-lagi saya mendapat 10. Dan nilai akhir saya E.
Pada Senin 6 Agustus 2007 saya dan Johannes menemui Pak Pepen, meminta diberikan kesempatan untuk ujian tambahan atau tugas guna menambah nilai. Tapi tidak dikabulkan, sebab tidak ada di ketentuan awal. Lagipula dari dua kesempatan yang diberikan, kami toh tidak bisa
perform dengan baik.
Argumen saya memberanikan diri meminta ujian tambahan waktu itu adalah, saya tidak mendapat proses kuliah sebagaimana “ketentuan awal” sedangkan soal ujian yang saya dapatkan adalah sama dengan yang didapatkan mahasiswa lain – yang kuliah seperti “ketentuan awal”.
Soal
performance. Tentu Ibu Ivonne sudah mengetahui bahwa dalam kondisi normal bahagia saja saya tidak pintar-pintar amat – bahkan bisa dikatakan buruk – apalagi dalam kondisi tertekan dan dihantui ancaman DO? Bagaimana bisa saya diharapkan
perform dengan baik?
Tapi argumen saya mental. Pak Pepen bilang, dalam sebuah kelas tidak diperkenankan adanya perbedaan soal ujian. Ketidakhadiran saya di ruang kelas adalah analog dengan jatuh sakit. Tidak masuk kelas, boleh ikut ujian, dan tetap dinilai berdasarkan hasil ujian. Kalau saya tak salah ingat, Pak Pepen juga bercerita bahwa ketika bertanding, seorang atlet tidak dilihat sedang stress atau tidak. Yang dilihat adalah prestasinya semata.
Kami berdebat lumayan panjang dan berputar-putar, dengan keputusan akhir: tidak ada ujian/tugas tambahan. Pak Pepen mengatakan bahwa penilaian hanya ada di ujian (yang telah ditentukan jumlahnya hanya dua kali).
Kalau begitu kenapa saya divonis E ketika masih kuliah ya Bu?
Bagaimanapun, saya masih punya harapan akan adanya penyelesaian yang membahagiakan atas insiden yang saya alami ini. Untuk itulah surat ini saya buat. Atas perhatian Ibu Ivonne saya ucapkan terimakasih.
Ikram Putra
NIM. 12902006