Sabtu itu mestinya bakal jadi sama saja dengan Sabtu-sabtu sebelumnya di Jalan Ganesha. Para penjual makanan akan ramai mengelompok di sekitar jalan menuju Masjid Salman. Para juru parkir akan mengatur mobil-mobil yang berjejer mengisi tepian jalan. Angkutan kota akan hilir-mudik dan beberapa akan berhenti ngetem menunggu penumpang. Tapi pada Sabtu 7 April, ceritanya lain.
Tak ada satupun penjual makanan. Kehadiran mereka digantikan oleh ratusan aparat kepolisian yang berjaga-jaga, membentuk pagar betis di mulut jalan menuju Salman. Juru parkir juga tidak tampak. Kalaupun ada, apa yang hendak dibantu parkir? Truk polisi dan tentara tentu tidak butuh juru parkir berseragam oranye. Hari itu, yang secara terus-menerus hilir-mudik bukanlah angkot melainkan prajurit TNI berseragam tempur, yang berlari berkelompok.
(Satu-satunya yang berjalan seperti biasa mungkin hanyalah burung kowak yang bertengger di pepohonan).
Penyebabnya satu: kuliah umum bertajuk “Penyelesaian Konflik Secara Damai di Indonesia” yang menghadirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pembicara. Jusuf Kalla dinilai berhasil meredam tiga konflik di Indonesia (Ambon, Poso, dan Aceh) sehingga Program Studi Pembangunan Alur Pertahanan mengundangnya untuk berbagi cerita di Aula Barat pada hari itu.
Maka, sesuai prosedur pengamanan standar Presiden/Wakil Presiden, kawasan sekitar Aula Barat pun dibuat steril. Tidak sembarang orang boleh berada di situ. Hanya mereka yang mengantongi kartu undangan saja. Menurut rencana awal, kawasan ini akan ditutup mulai pukul 11.00 WIB. Pemberitahuan kepada warga kampus disebarkan lewat email dan selebaran di area parkir.
Tapi belakangan datang kabar bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Bandung Raya akan melakukan demonstrasi terhadap kedatangan Jusuf Kalla. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (pemandangan demonstrasi tentu bukan sesuatu yang elok dipandang), rencana penutupan pun diubah menjadi sejak pagi hingga sepulangnya Wapres.
Karena mendadak, perubahan rencana ini tak sempat dikomunikasikan dengan baik kepada warga kampus. “Hari Sabtu jarang yang buka email,” kata Bambang Setyadji dari Kantor Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Informasi.
Akibatnya jelas. Kehebohan tak terhindarkan.
Tabloid
Boulevard ITB memberitakan, sebanyak 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati terpaksa melaksanakan ujian di pelataran Masjid Salman. Kepada
Pikiran Rakyat, dosen Biologi Umum Rina Ratnasih mengaku “mengambil soal pun dikawal”.
Cerita kegusaran tak berhenti sampai di situ. Sebut saja, mahasiswa Biologi yang semestinya memberi makan hewan percobaan mereka. Atau mahasiswa Kimia yang sedang melakukan praktikum. Kedua keperluan ini jelas batal terlaksana gara-gara ditutupnya kampus.
Acara “Trend Desktop 2007” yang sedianya diselenggarakan di Comlabs juga mesti
berpindah tempat ke Gedung Annex di Tamansari.
Mahasiswa meradang. Terlebih lagi, mereka tak mendapatkan jawaban yang jelas atas segala kehebohan ini. Djadji Satira dari Kantor Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan mengatakan, karena sudah menyangkut keamanan Wapres, kendali tidak di tangan mereka. Mashudi dari Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung juga mengaku pihaknya hanya bertugas mengisolasi area. Semua jawaban bernada sama: “sudah prosedur”.
Terhadap begitu banyaknya aparat keamanan yang dikerahkan, seorang mahasiswa bernama Anggun Oktari mengatakan di
blognya. “Bapak teh mau ke kampus atau kandang teroris?”
***
Seisi Aula Barat bangkit dari duduknya ketika Jusuf Kalla dan rombongan – salah satunya mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin – memasuki ruangan. Sebelum acara dimulai, mereka mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu Rektor ITB Djoko Santoso menuju mimbar, memberikan sambutan.
Sayup-sayup, orasi BEM se-Bandung Raya terdengar sampai ke dalam.
Kalau Djoko seakan tak hirau (ia tetap lancar membacakan sambutannya tanpa terpengaruh), tidak demikian dengan Jusuf. Begitu sampai di mimbar, ia langsung memerintahkan Kapolda supaya “Itu mahasiswa suruh diam. Ajari mereka demokrasi – kalau kita bicara, mereka diam.” Hadirin tertawa mendengar perintah yang tidak terlaksana ini. Sampai ujung acara, suara orasi mahasiswa masih saja terdengar.
Jusuf mengawali kuliahnya dengan bercerita soal keterlibatannya dalam usaha-usaha penyelesaian konflik di Indonesia. Ia mengaku dirinya terlibat secara tidak sengaja. Sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat waktu itu, ia bertanggungjawab mengurusi sekitar 250 ribu pengungsi di Poso. Sesampainya di Poso, ia menemui kenyataan bahwa saat itu ada kesalahpahaman luar biasa di antara kedua kelompok yang bertikai.
“Yang Islam bilang, kalau kau bunuh Kristen kau akan masuk surga. Yang Kristen juga bilang, kalau kau bunuh Islam kau masuk surga. Jadi mereka jual murah surga”
Padahal menurutnya, akar konflik sebenarnya adalah masalah politik. Gara-gara kekalahan dalam pemilihan kepala daerah, yang dikait-kaitkan dengan persoalan agama. Mengetahui akar konflik akan sangat berguna dalam menyelesaikannya. Untuk memberantas kesalahpahaman itu, Jusuf menantang kedua pihak untuk menunjukkan ayat kitab suci, yang menyebutkan janji mendapat surga dari membunuh itu.
Apa saja kiat-kiat penyelesaian konflik? Antara lain, pentingnya menjaga kepercayaan kedua belah pihak yang bertikai. Ini berarti tidak boleh ada perbedaan perlakuan. “Kalau saya pergi ke masjid satu hari, maka saya juga harus pergi gereja satu hari. Mesti adil.”
Ia juga menekankan pentingnya menunjukkan keberanian. Pihak penengah tidak boleh terlihat takut. Kemudian, selalu usahakan bertemu dengan orang yang paling “keras”. Kalau panglima sudah ditundukkan, maka yang lain akan menurut. Inilah sebabnya Jusuf Kalla tidak memakai jasa pengawalan selama berada di daerah konflik. Ia juga pergi sholat subuh ke masjid tanpa dikawal, supaya orang mendapat pesannya: tak ada ketakutan.
Kuliah umum ini seperti acara “behind the scene” – menceritakan apa yang belum terungkap.
“Kita mesti memahami mereka. Baca buku tentang daerah mereka, sejarah mereka, dengarkan musik, ingat tanggal-tanggal,” kata Wakil Presiden, “tapi kalau lupa sebut saja sembarang tanggal. Mereka juga sama nggak ingat kok itu. Hahahaha.”
“Dalam setiap perundingan, saya selalu kasih selang waktu tiga hari saja. Supaya mereka tidak bisa berpikir lama-lama atau berubah pikiran.”
“Saya katakan kepada pihak yang berkonflik. Ada tiga pilihan: pertama, tambah jumlah peluru dan senjata supaya kalian bisa saling membunuh lagi. Supaya masuk surga semuanya. Mau? Tidak. Kedua, saya tambah jumlah tentara. Tidak mau juga? Ah yang ketiga, hentikan konflik ini. Akhirnya mereka memilih opsi yang ketiga ini.”
Acara kuliah umum Jusuf Kalla ini, sebagaimana yang diharapkan Djoko Santoso, berhasil memberikan pandangan lain tentang penyelesaian konflik – khususnya di Indonesia. Sebab, selama ini literatur soal penyelesaian konflik yang ada kurang membahas Indonesia.
***
Hingar-bingar yang terjadi seputar kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla meninggalkan pelajaran rumah bagi ITB untuk memperbaiki lagi perihal komunikasi publik. Secara resmi, memang tidak ada kegiatan akademis pada hari Sabtu – tapi bukan berarti tidak perlu ada pemberitahuan bahwa kampus akan ditutup bagi warga kampus selain undangan, bukan?
Tetap saja, perlu dicari tahu bagaimana caranya supaya ITB bisa menjadi penyelenggara acara yang baik, yang tidak menyusahkan siapapun.
------
Berkala ITB edisi Mei 2007