Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Indon(esia!)

Thursday, June 07, 2007

Pandangan mata saya tak sengaja tertumbuk pada berita singkat itu; yang berkejaran dengan berita lain di sisi bawah layar Metro TV. Isinya kurang lebih begini: masyarakat Indonesia di Malaysia memprotes media Malaysia yang sering menulis “Indon” untuk “Indonesia”.

Dari Detikcom dan ANTARA saya kemudian membaca berita yang lebih lengkap. Rupanya, pada Sabtu (12/5) silam, berlangsung seminar di Kuala Lumpur yang bertajuk “Indonesia dalam Pandangan Pers Malaysia”. Pada seminar inilah protes tadi dilancarkan.

“Di dunia ini tidak ada yang mengenal Indon. Yang adalah Indonesia,” kata Eka A. Soeripto, Atase Penerangan KBRI Malaysia. Ucapan Eko ditanggapi oleh Zainudin Ayib, redaktur tajuk rencana pada Berita Harian yang mengatakan “kata itu hanyalah merupakan kependekan saja. Bukan bermaksud untuk melecehkan dan merendahkan bangsa Indonesia.”

Sampai sini saya tidak bisa tidak tersenyum. Sebagai bagian dari bangsa yang tak kalah seringnya memenggal kata, buat saya protes masyarakat Indonesia itu terasa menggelikan.

Mungkin karena saya berasal dari Depok, Jawa Barat. Kalau suatu hari nanti Anda berkesempatan mengunjungi kota asal saya itu, jangan heran jika mendengar para supir angkot D.06 ramai-ramai berteriak “minal” atau “pangan!” kepada penumpang. Bukan, mereka bukan sedang mengucapkan “minal aidin wal faidzin” atau sesuatu yang berhubungan dengan “sandang pangan papan”. Yang mereka maksudkan adalah “(ter)minal” dan “(sim)pangan” – sesuai trayek mereka.

Supir-supir yang lain juga tak mau kalah. “Minggu minggu!” bagi mereka yang hendak menuju Pasar Minggu. “Bayoran” untuk Kebayoran. “Mestik” untuk Mayestik. Dan “Rambutan!” – supir yang satu ini bukan sedang beralih jadi penjual buah, tapi murni menyerukan tujuan dia: Kampung Rambutan.

Ketika pergi ke Bandung untuk berkuliah, saya menemukan hal serupa terjadi juga di sini. “Sion” kata supir angkot yang menuju Statsion. Lalu ada pula supir yang menyebut “Caheum” untuk Cicaheum, serta “Panjang!” untuk Terminal Leuwipanjang. Saya tak heran.

Bagaimana dengan kampus? Well, saya memang jarang pergi meminjam buku ke perpus. Tapi saya sering kok berjalan kaki melewati plawid. Biasa saja. Kalau sedang suntuk, maka dalam kuliah saya tidak akan konsen dan perlu entertain. Sangat wajar. Teman-teman saya banyak pula yang mengucapkan Amrik dan Aussie. Mereka yang pakai distro Ubuntu akan menginginkan DVD repo supaya tidak payah mendownload lagi.

Sepupu saya, yang mendapat nilai jelek dalam ulangan umumnya, bercerita dirinya pekan depan akan menghadapi remed. Sama sekali tanpa maksud melecehkan atau merendahkan. Dan di Friendster teman saya mengirim pesan “Krom, kemana aja? Isi testi gua yak!”

Pemerintah saya? Oh, mereka bertahun-tahun sudah melakukannya. Apalagi militer/kepolisian. Coba saja, kita tentu akrab dengan jargon, akronim, dan singkatan, yang menurut Farid Gaban (wartawan, pernah berkuliah di Planologi) bertujuan supaya “kelompok masyarakat lain tidak paham apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan”.

Saya hidup di lingkungan manusia penyingkat dan pemenggal kata. Saya akan merasa sangat malu untuk memprotes orang lain supaya berhenti melakukannya, sementara bangsa saya sendiri melakukan hal serupa. Setiap hari setiap saat.

***

Tentu saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Saya tidak boleh menutup mata bahwa dalam kehidupan, tidak semua kata halal disingkat. Pasti ada alasan yang kuat mengapa kita menyebut para orangtua sebagai “lanjut usia” (lansia) ketimbang “usia lanjut” (sialan). Dan mengapa teman-teman dari Sumatera Selatan tidak membentuk Keluarga Mahasiswa Palembang (sebab nanti bisa-bisa disingkat kampang). Konotasinya buruk!

Dan inilah yang terjadi pada “Indon”. Konotasinya konon buruk.

Kata “Indon” mulai menjadi populer di Malaysia ketika media sana menyiarkan berita mengenai perbuatan kriminal yang dilakukan orang Indonesia. Misalnya, “Mafia Indon Mengganas” atau “PRT Indon Menculik Anak”. Lambat laun, persepsi orang terhadap “Indon” tidak lagi bagus (atau setidaknya netral) melainkan jelek. Seorang teman pernah bercerita, “Indon” artinya mirip “Preman” di sini. Anak yang nakal akan dimarahi, “Mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi indon?”

Sayangnya, pemberitaan ini tidak seimbang. Dalam seminar yang sama, pengamat media dari Universiti Kebangsaan Malaysia Nasrullah Ali-Fauzi, mengatakan, pers Malaysia dalam menyiarkan berita kriminal seringkali mengutip hanya satu sumber saja, yakni kepolisian. Tidak ada usaha-usaha penelusuran lebih jauh.

“Akibatnya banyak pekerja Indonesia dirugikan,misalkan, PRT Indon dituduh mencuri anak padahal jika si terdakwa diwawancari ternyata anak itu merupakan hasil dari perselingkuhan. Anak itu juga merupakan anak PRT Indonesia padahal sudah ramai pers Malaysia memberitakan hal itu,” kata Nasrullah.

Hmm, untuk urusan check and balance sepertinya media kita juga sama malasnya. Maka baik mereka maupun kita sepertinya mesti sama-sama belajar supaya lebih ketat lagi dalam verifikasi.

Tapi tetap, menolak kata “Indon” sebab ia berkonotasi kriminal dan buruk adalah sebuah langkah aneh. Pertama, kata “Indon” tidak berarti apa-apa. Sepanjang kata itu tidak ring a bell di kepala saya, saya sih santai saja. Ini sama seperti kita dipanggil “xeslgh@%#sd;ai”. Tak ada arti, mana bisa ada konotasi.

Lagipula media Malaysia tidak secara khusus menyebut “Indon” untuk urusan kriminalitas semata. Farah Mahdzan, seorang Malaysia yang memiliki perhatian besar terhadap masalah Indonesia, di blognya menunjukkan kliping judul berita di beberapa media. Di antaranya: “Indon pop diva launches autobiography”, “SBY’s hit list: Indon president gives cops 100 days to nab top M’sian terrorists” dan “Indon politicians in bitter dispute” dan masih ada lagi.

Zainudin Ayip benar. “Indonesia” rupanya terlalu panjang sehingga sulit untuk ditulis atau diucapkan penuh. Kita bisa bilang apa? Padahal antara “Indonesia” dan “Malaysia” hanya berbeza satu huruf sahaja, ya kan Encik? Tak apalah. Kami tak kisah.

Kedua, masalah konotasi adalah masalah pencitraan dan persepsi. Baik dipenggal maupun ditulis utuh, kata “Indonesia” sudah memiliki citra sendiri. Ucapkan “Indonesia” kepada 100 orang dan kita akan mendapatkan 100 persepsi yang berbeda. Baik buruk halus kasar, itu terserah mereka. Ini urusan persepsi – tak bisa kita paksakan supaya citra kita selalu bagus. Berusaha supaya bagus iya, memaksakan tidak.

Bagaimana caranya supaya citra bagus? Mengutip kalimat diplomat terkenal mantan duta besar RI di Australia Wiryono Sastrohandoyo, If you want to change the perception, you should change the reality first.”

------
Berkala ITB edisi Mei 2007

20 Komentar:

Anonymous Anonymous »
08 June, 2007 00:29  

Hm, gw baru nyadar juga kalo selama ini banyak menyingkat kata. Tapi kan yang penting maksudnya, semantiknya. Jadi kalo saya sih fine-fine aja.
Nah masalah sampe diributin itu emang gak penting. Lebih baik kita ga berkonsentrasi dengan citra, tapi konsentrasi untuk memperbaiki diri. Kalo dalemnya bagus, kemungkinan besar presepsinya juga bagus kan. Tapi kalo presepsinya bagus, belum tentu dalemnya bagus.

Anonymous Anonymous »
08 June, 2007 06:43  

tulisan menarik mas
memang kita keknya terlalu sensitif dan munafik dalam menyinkat2 kata...orang USA aja kita penggal sebutannya jadi Amrik, orang Thailand jadi Thai, orang Saudi Arabia kita panggil Arab saja..dll...hehehe
ini karena inferior budaya saja...:p

salam kenal...berkala ITB itu kan majalah ITB ya?
saya alumni Sipil 95 ITB

Blogger Trian Hendro A. »
08 June, 2007 09:09  

Buat mas resle, Berkala ITB itu media terbitan ITB. lebih tepatnya terbitan Rektorat ITB. Para 'wartawan-nya' sebagian besar (atau semua?) mahasiswa. Tapi tetap, keputusan tertinggi ada di 'redaktur utama'.

betul kram?

Anonymous Anonymous »
08 June, 2007 11:15  

Salomo seharusnya memberikan judul 111 Kolom Bahasa Kompas + 1 Kolom Bahasa Bukan Kompas, di bukunya itu.

Hahaha, Ikram.

Mengingat Putu Wijaya atau entah siapalah yang mengatakan seperti ini, "Tak perlu berkaca pada citra. Jika pun harus mengubah realita, toh seharusnya dimaksudkan bukan untuk pencitraan."

Masalah citra, mungkin akan lebih bijak kita tanyakan pada teman Geodesi. Hehehe

Anonymous Anonymous »
08 June, 2007 15:23  

apakabar kramput?

#arfah: Masalah citra, mungkin akan lebih bijak kita tanyakan pada teman Geodesi. Hehehe

wakakakkakak..

Anonymous Anonymous »
09 June, 2007 01:38  

Perspektif orang Malaysia:
Don't Call Us 'Indons'
by Farah 'Fairy' Mahdzan
(6-Mar-2005)
http://www.myindo.com/story/241.asp

Blogger Nieke,, »
10 June, 2007 02:22  

wah, aku baru tuh kalo Indonesia disebut Indon di Malaysia..

Blogger Nieke,, »
10 June, 2007 03:21  

baru tau* mksdnya..
maaph x(

Anonymous Anonymous »
10 June, 2007 15:09  

baik2 aja disini,, dan ngebaca blog lu bikin gw mikir: "curiga bakal jadi direktif yang baru nih.." hahahaha.. JADI MALU PERNAH BILANG REPO.

Blogger ikram »
10 June, 2007 17:01  

Loh kenapa malu Bod. Yang penting kamu nggak melarang-larang orang Malay bilang Indon kan?

Stania, terimakasih linknya. Aku salah ngetik. "Farah Fahdzan". Tapi sudah diperbaiki.

Iya, Berkala memang terbitan rektorat. Dan tadinya saya mengira, keputusan tertinggi ada pada redaktur utama. Tapi ternyata tidak juga. Keputusan tertinggi ada di rapat (yang lebih berkesan makan-makan, hehe).

Blogger ANDRE »
10 June, 2007 22:30  

“If you want to change the perception, you should change the reality first.”

gila, ini quote keren banget

Anonymous Anonymous »
11 June, 2007 12:47  

minta kram, majalahnya.

Anonymous Anonymous »
12 June, 2007 15:17  

Waah ikram.. tulisan2 lo di blog ini berbobot banget, penyampaiannya serius tapi santai dan santai tapi serius.. keren!!!

Tentang singkatan... iya yah kenapa ya Indonesia seneng banget maen singkatan.. sadar gak sih dari jaman kita SD, kita dicekokin sama singkatan2 yang bikin pusing dan bahkan sering keluar jadi soal di ujian nasional? Hmmmm.....

Blogger aria »
14 June, 2007 11:11  

asik juga baca blog lo.
temen2 kampus gw juga suka maen singkat2an..
gw sebagai pribumi(lahir di bogor) gak pernah pake kata singkatan (sampai gw ketemu temen2 kampus gw yang dari berbagai pelosok).
barangan siang mereka bilang BS.
asrama putri mereka bilang ASTRI (gw kira mereka ngomongin cewe)..
dan sebagainya lah..

so, what i'm trying to say is...
well.. i just wanna leave a comment..

Anonymous Anonymous »
15 June, 2007 00:27  

tulisan yg sangat menarik..

Anonymous Anonymous »
16 June, 2007 21:48  

Wah..wah..wah.. bener sih. Waktu beberapa bulan lalu mampir kesana, kerasa banget nuansa diskriminasinya. Sebenernya kalo menurutku, masalah nama juga ga masalah sih.. mau indon, indo, ind, nesi, atau sia juga terserah aja. Sebenernya yang jadi masalah itu adanya "pembezaan" antara perlakuan ke orang2 kita disana. Terutama buat TKI. Mungkin dengan pelengkapan nama kembali ke "Indonesia" harapan mereka, imej negatifnya bakal ilang. Kemungkinan yang dari awal salah kaprah :( Yang masalah itu kan imejnya, jadi ya daripada sibuk dengan panggilan, perbaiki imej dong. Targetnya kesana atuh pak Eka (sang atase KBRI) :) HEhehehe...

Blogger astronomsableng »
18 June, 2007 21:52  

Lah kita sendiri menyingkat nama negara dewek jadi Indo (apalagi kalau lagi chatting). Hal-hal yang superfisial begini kok diurus ya, sementara TKI disiksa kok diam saja. Kalau kata Tora Sudira, ``Negara yang aanneeehhh..." Hehehehee...

Dalam bahasa Inggris memang ada beberapa kata yang dianggap peyoratif: nigger jelas punya konotasi rasial, bahkan black pun mulai diubah jadi African atau African-American. nigger memang asalnya dari negro yang artinya ``hitam". frogs jelas gak boleh dipake untuk mengacu pada orang Perancis, karena dibentuk untuk menghina orang Perancis yang suka makan kodok, hehehehe...

Aussie untuk menyingkat Australia malah enggak apa-apa dan itu malah memberikan kesan informal.

Masalah kedua adalah persoalan vernakular. Orang-orang Afrika malah gak masalah kalau menyebut dirinya nigger (yang sekarang bahasa gaulnya adalah nigga), liat aja musip rap, R&B, atau hiphop. Jadi kalau lu orang Indonesia dan menyebut diri sendiri ``Indon" kepada sesama orang Indonesia, mungkin gak masalah.

Coba aja loe ke Malaysia lalu mulai menyebut diri ``Indon" kepada sesama orang Indonesia, bilang aja biar cepet nyebutnya, hehehehehe...

Blogger qbl »
27 August, 2007 21:06  

temen saya yg kuliah di malaysia bilang, penyebutan "indon" tuh bermakna peyoratif. mungkin ga akan sama sense nya antara kita dan mereka (orang2 Indonesia yang ada di Malaysia) dalam menyikapi kata "indon" ini.

analogi yg mau saya ajukan kira2 begini: seperti penyebutan "bapak" dan "bokap" lah. kan ga mungkin mas ikram bilang ke ibunya, "kunci mobil dipegang bokap". ya, jadi menurut saya sih ini bukan soal disingkat atau enggaknya, tapi lebih ke makna peyoratif dibalik kata "indon" tersebut. cobalah sesekali main ke malaysia... hehehe.

Blogger GarfX »
07 October, 2008 17:52  

sori telat bgt saya komen akan tulisan ini. Buat saya tulisan ini harus direvisi. this is my 50cents:

1. Kenapa Kita nolak Dibilang Indon: dengan cara yang aneh, ini ngebuktiin bahwa media Malaysia terutama Editor2nya emang dibawah Indonesia, lihat aja koran Indonesia pernah gak nyebut singkatan, ya seorang pemain asal aussie atau amrik? seumur2 gw tinggal di jakarta belom ada tuh lo pernah? :D mungkin pernah denger kan kata kedaulatan negara?penyebutan nama negara itu penting loh, apalagi dalam hal surat menyurat dengan antara negara. but hey, i dunt have told u that, u should know it by urself since ur the "reporter". Biasakanlah selalu memakai kata/kalimat yang benar dalam menyebut sesuatu.

2. Pertama, kata “Indon” tidak berarti apa-apa. Sepanjang kata itu tidak ring a bell di kepala saya, saya sih santai saja. Ini sama seperti kita dipanggil “xeslgh@%#sd;ai”. Tak ada arti, mana bisa ada konotasi-------> padahal dalam tulisan sendiri udah dibahas mengenai asal-usul kata indon, tapi kok masih gak ngerti yah dan just a simple question buat anda, anda sudah/pernah/sedang tinggal di Malaysia?daerah mana?sabah & serawak?atau klang valley? believe me, klo lo tinggal diMalaysia, lo bakalan ngerasain arti kata indon itu sebenarnya.

3.Pihak KBRI di Malaysia, lagi berusaha untuk merubah stigma pemakaian kalimat itu yang merendahkan harkat dan martabat warga negara Indonesia di Malaysia yang ujung2nya kalo anda pergi maen ke malaysia juga pasti ngerasain dan anda gak bisa nahan tersenyum? orang negro di amerika lo sapa niger pasti dia diem liatin lo dari ujung kaki ampe ujung kepala. Mereka gak mau dibilang niger karena itu berkonotasi jelek, tapi kalo antar sesama orang negro, kalimat itu yah buat becandaan doank. sama halnya dengan penggunaan kata "indon", sesama orang indonesia maklum aja deh, tapi klo orang lain yang manggil kita hei orang indon, dan anda say hei balik, mana harga diri anda sebagai warga negara indonesia?

if u need more help to understand this post feel free to email me

Blogger ikram »
08 October, 2008 19:37  

Reza, terimakasih untuk komentarnya. Saya tanggapi di tulisan baru ya ...

Leave a reply Back to home

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by