Kutu loncat yang berubah pikiran
Sunday, August 30, 2009
Menteri Adhyaksa Dault mendadak berubah pikiran. Dia tidak lagi ingin menjadi anggota DPR periode 2009-2014 — meskipun sudah terpilih dan tinggal dilantik pada 1 Oktober nanti. Alasannya, sebagaimana dikutip detikcom, ingin “mengakhiri jabatan menteri dengan husnul khotimah”. Dia pun disebut-sebut ingin menjadi akademisi, guru besar.
Tapi ada tiga alasan mengapa langkah Adhyaksa tidak bisa dibenarkan.
Pertama, Adhyaksa seorang pintar yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR dalam Pemilu April. Ketika memutuskan untuk jadi kutu loncat, dia tentu sudah berhitung soal tanggal pelantikan yang jatuh lebih dulu dari selesainya masa jabatan menteri. Dari itu, semestinya persoalan jadwal tidak layak dijadikan dalih.
Kita toh tidak pernah mendengar Adhyaksa mencalonkan diri dalam keadaan terhipnotis, hilang ingatan, atau di bawah todongan senjata — jadi dia pastinya mencalonkan diri dengan kesadaran penuh.
Kedua, Adhyaksa telah mengkhianati ribuan orang yang mencentang namanya — atau fotonya atau mungkin kumisnya — di bilik suara April lalu. Dia seharusnya sadar sesadar-sadarnya bahwa orang datang ke bilik suara bukan karena kebanyakan tenaga dan waktu luang, melainkan karena belum letih berharap. Bukan tanpa alasan mereka pergi mencentang.
Pada dua tarikan garis itulah kepercayaan mereka terhadap Adhyaksa ditorehkan.
Dengan mengundurkan diri seperti ini, dia sama saja mengkhianati dan melecehkan konstituennya sendiri. Atau lebih parah lagi, dianggapnya proses pilih-memilih seperti main-main saja.
(Dikhianati itu rasanya tidak enak... Pada 2004 saya mempercayakan suara saya kepada Hatta Rajasa sebagai wakil saya di DPR. Tetapi dia membuang kepercayaan saya ke tong sampah dan malah jadi Menteri Perhubungan, sebelum kemudian Menteri Sekretaris Negara)
Jika Adhyaksa tetap melenggang ke DPR, dia hanya sekedar mengkhianati kepercayaan si Bos. Tapi dengan berubah pikiran, dia mengkhianati ribuan rakyat.
Ketiga, tidak tertutup kemungkinan Adhyaksa akan kembali dipilih menjadi menteri untuk periode kedua. Jangan-jangan untuk memelihara dan memperlebar kemungkinan itulah, Adhyaksa sengaja bertahan di Kabinet seraya memperlihatkan kesetiaan sekaligus kesiapsediaannya kepada si Bos.
Barangkali pula sejak semula Adhyaksa mencalonkan diri jadi anggota DPR untuk mengantisipasi pergantian Bos? Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Yang bikin prihatin, harian Kompas menulis, Adhyaksa tidak sendirian dalam hal ini. Selain dia, ada lima menteri lain yang bertingkah serupa.
Maka saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersilakan anda mengganti kata “Adhyaksa” dengan “Jero”, “Taufiq”, “Lukman”, “Suryadharma”, atau “Freddy”.
Mereka enam kutu loncat yang berubah pikiran.
Tapi ada tiga alasan mengapa langkah Adhyaksa tidak bisa dibenarkan.
Pertama, Adhyaksa seorang pintar yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR dalam Pemilu April. Ketika memutuskan untuk jadi kutu loncat, dia tentu sudah berhitung soal tanggal pelantikan yang jatuh lebih dulu dari selesainya masa jabatan menteri. Dari itu, semestinya persoalan jadwal tidak layak dijadikan dalih.
Kita toh tidak pernah mendengar Adhyaksa mencalonkan diri dalam keadaan terhipnotis, hilang ingatan, atau di bawah todongan senjata — jadi dia pastinya mencalonkan diri dengan kesadaran penuh.
Kedua, Adhyaksa telah mengkhianati ribuan orang yang mencentang namanya — atau fotonya atau mungkin kumisnya — di bilik suara April lalu. Dia seharusnya sadar sesadar-sadarnya bahwa orang datang ke bilik suara bukan karena kebanyakan tenaga dan waktu luang, melainkan karena belum letih berharap. Bukan tanpa alasan mereka pergi mencentang.
Pada dua tarikan garis itulah kepercayaan mereka terhadap Adhyaksa ditorehkan.
Dengan mengundurkan diri seperti ini, dia sama saja mengkhianati dan melecehkan konstituennya sendiri. Atau lebih parah lagi, dianggapnya proses pilih-memilih seperti main-main saja.
(Dikhianati itu rasanya tidak enak... Pada 2004 saya mempercayakan suara saya kepada Hatta Rajasa sebagai wakil saya di DPR. Tetapi dia membuang kepercayaan saya ke tong sampah dan malah jadi Menteri Perhubungan, sebelum kemudian Menteri Sekretaris Negara)
Jika Adhyaksa tetap melenggang ke DPR, dia hanya sekedar mengkhianati kepercayaan si Bos. Tapi dengan berubah pikiran, dia mengkhianati ribuan rakyat.
Ketiga, tidak tertutup kemungkinan Adhyaksa akan kembali dipilih menjadi menteri untuk periode kedua. Jangan-jangan untuk memelihara dan memperlebar kemungkinan itulah, Adhyaksa sengaja bertahan di Kabinet seraya memperlihatkan kesetiaan sekaligus kesiapsediaannya kepada si Bos.
Barangkali pula sejak semula Adhyaksa mencalonkan diri jadi anggota DPR untuk mengantisipasi pergantian Bos? Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Yang bikin prihatin, harian Kompas menulis, Adhyaksa tidak sendirian dalam hal ini. Selain dia, ada lima menteri lain yang bertingkah serupa.
Maka saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersilakan anda mengganti kata “Adhyaksa” dengan “Jero”, “Taufiq”, “Lukman”, “Suryadharma”, atau “Freddy”.
Mereka enam kutu loncat yang berubah pikiran.