Kongres yang Tak Tahu Tatakrama Pergaulan Internasional
Tuesday, August 12, 2008
Andai saja para anggota Kongres Amerika Serikat punya kesempatan menghadiri peringatan ulangtahun ASEAN ke-41 di Jakarta pada 8 Agustus lalu, boleh jadi mereka takkan bertindak dungu mengirimkan surat kepada pemerintah kita yang isinya meminta dua tokoh separatis di Papua “dibebaskan”.
Pukul 9.30 pagi, saya sampai di Sekretariat ASEAN di Jl Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Saya langsung menuju ke sebuah ruangan di pojok lantai dasar, tempat puluhan orang sedang makan minum. Mereka baru saja usai menyelenggarakan upacara pengibaran bendera – yang tak saya ikuti karena terlambat bangun.
Di sana saya melihat Sekretaris Jenderal Surin Pitsuwan sedang dikerubungi beberapa wartawan. Saya mendekat ke arah mereka, dan mengatakan kepada salah seorang wartawan yang saya kenal: “Hey, aren’t we going to have a special session with him later? Why the interview now?”
Hendrawan Setiawan dari RCTI menjawab singkat. “I know, but this is the real interview.”
Oh, oke deh kalo gitu.
Hendrawan adalah satu dari lima belas wartawan negara ASEAN yang sedang mengikuti pelatihan kewartawanan yang diselenggarakan organisasi nonpemerintah Jerman InWEnt dan Sekretariat ASEAN. Selama dua minggu, dari 28 Juli hingga 8 Agustus, mereka menginap di Hotel Ambhara untuk mendengarkan kuliah dari dua pengajar – Martin Loffelhölz dan Andrea Thalemann.
Di minggu pertama, Martin memberi landasan pemahaman tentang apa itu ASEAN – sejarah, kelembagaan, dan kebijakannya. Sedangkan Andrea meneruskan dengan memandu teknik penulisan tentang ASEAN ini di minggu kedua.
Saya sendiri menjadi asisten lokal, membantu Eka Neumann dari globalContact yang menjadi pelaksana.
Sekitar setengah jam kemudian kami semua pun beranjak ke lantai atas untuk audiensi khusus dengan “Mister Es-Ji”. Disanalah, Surin mengatakan sesuatu yang jika saja anggota Kongres AS sempat mendengar, akan mencegah mereka dari berbuat dungu.
Lima belas wartawan ini datang dari semua negara Asia Tenggara kecuali Singapura. Mereka sudah dipersenjatai dengan “amunisi” daftar pertanyaan yang akan ditembakkan ke Mister Es-Ji.
Semuanya berkaitan dengan isu-isu seputar ASEAN, seperti Piagam ASEAN yang sedang ramai dibahas (terutama terkait tiga negara besar yang belum juga meratifikasinya – Indonesia, Filipina, dan Thailand). Ada juga yang hendak bertanya mengenai ASEAN Single Window, yakni proses pengurusan terpadu keluar-masuknya barang ke suatu negara. Atau soal keberadaan ASEAN yang tidak terasa di kalangan masyarakat bawah.
Tentu tak lupa, soal konflik antara Thailand dan Kamboja soal perbatasan negara juga ditanyakan.
ASEAN memang belakangan ini sering kena kecam karena dinilai tak mampu turun tangan dalam menangani konflik yang terjadi antara anggotanya. Ini sesuai prinsip tidak-mau-ikut-campur yang dianut ASEAN.
Tapi bagi dunia Barat (yang antara lain bisa kita lihat dari laporan medianya) prinsip ini lumayan bikin gregetan, terutama kalau persoalannya menyangkut demokrasi dan hak asasi manusia.
Bagaimana mungkin kudeta Thailand dibiarkan terjadi begitu saja (meskipun tanpa pertumpahan darah setetes pun)?
Mengapa kok junta militer Myanmar tidak ditekan supaya membebaskan pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi? Atau setidaknya membuka pintu bagi donor dan sukarelawan asing yang hendak membantu korban Topan Nargis?
Dan sekarang, di tengah konflik sengit antara Thailand dan Kamboja, kok ASEAN diam saja sih?
Surin Pitsuwan dengan kalem meladeni satu persatu pertanyaan lima belas prajurit.
Keberadaan ASEAN memang kurang terasa di masyarakat, katanya, tetapi ada banyak kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi kehidupan mereka, yang sebenarnya diputuskan bersama-sama di tingkat ASEAN. Seperti kebijakan bebas visa antar negara. Atau yang sedang dikerjakan: ASEAN Single Window dan jaringan pembangkit listrik.
Pun sebagai negara besar, Surin bilang, sangatlah wajar jika Indonesia, Thailand dan Filipina perlu waktu lebih panjang dalam meratifikasi Piagam ASEAN. “Penduduk mereka paling banyak dan mereka harus benar-benar memikirkan dampak Piagam itu. Tapi secara umum, mereka sedang mencapai ke arah situ (meratifikasi).”
Soal konflik Thailand dan Kamboja, Surin cukup yakin kedua negara akan dengan sendirinya menemukan titik temu penyelesaian tanpa perlu pertolongan dari luar.
“Saya kira diplomat dua negara itu bisa mencari penyelesaian yang tidak membuat salah satu negara kehilangan muka.
“Anda tahu, empat puluh satu tahun ASEAN berdiri, tak pernah sekalipun ada perang senjata antara anggotanya. Saya kira ini sesuatu yang membanggakan dan akan bertahan.”
Bagaimana dengan ASEAN yang seperti tak punya taji gara-gara prinsip-tidak-mau-ikut-campur?
“Well, non-interference policy is something that is stated in the UN Charter. You respect other’s soverignty. It’s one of the basic rules of international relations.
“But lately there is a new concept called R2P – right to protect – that allows interfering when considered necessary for certain interests.”
Saya hampir saja melonjak girang dari tempat duduk saya, mendengar penjelasan Surin barusan.
Soalnya sekarang jadi jelas bagi saya, negara mana yang ternyata tidak mengenal tatakrama pergaulan antarbangsa. Mentang-mentang sebuah negara dipimpin diktator, bolehnya ribuan pasukan dikirim untuk menyerang negara itu dan menggantung si diktator (atas nama demokrasi, tentu).
Dan saya jadi tahu siapa orang yang tidak punya malu terbang jauh-jauh ke negeri penyelenggara olimpiade, hanya untuk bikin onar di sana dengan mendikte tentang “hak asasi manusia”.
Dan beberapa hari setelah audiensi itu, ketika mendengar kabar ada anggota kongres berbuat dungu mengirim surat kepada pemerintah kita, jadi makin jelas sekarang: anggota kongres negara mana yang sepertinya perlu pelatihan singkat Hubungan Internasional, supaya mereka berhenti mengurusi urusan dapur negara lain!
Hmpf, lain padang lain belalang memang. Anggota kongres Amerika Serikat sudah mengurusi dapur negara orang lain, anggota DPR kita masih sibuk dengan urusan diri sendiri.
Sepertinya bagus juga kalau InWEnt mengadakan pelatihan bersama bagi anggota parlemen sana dan sini, supaya mereka bisa lebih fokus pada urusan dalam negeri sendiri.
Kalau pelatihan itu terlaksana, saya bersedia deh jadi asisten lokalnya.
Pukul 9.30 pagi, saya sampai di Sekretariat ASEAN di Jl Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Saya langsung menuju ke sebuah ruangan di pojok lantai dasar, tempat puluhan orang sedang makan minum. Mereka baru saja usai menyelenggarakan upacara pengibaran bendera – yang tak saya ikuti karena terlambat bangun.
Di sana saya melihat Sekretaris Jenderal Surin Pitsuwan sedang dikerubungi beberapa wartawan. Saya mendekat ke arah mereka, dan mengatakan kepada salah seorang wartawan yang saya kenal: “Hey, aren’t we going to have a special session with him later? Why the interview now?”
Hendrawan Setiawan dari RCTI menjawab singkat. “I know, but this is the real interview.”
Oh, oke deh kalo gitu.
Hendrawan adalah satu dari lima belas wartawan negara ASEAN yang sedang mengikuti pelatihan kewartawanan yang diselenggarakan organisasi nonpemerintah Jerman InWEnt dan Sekretariat ASEAN. Selama dua minggu, dari 28 Juli hingga 8 Agustus, mereka menginap di Hotel Ambhara untuk mendengarkan kuliah dari dua pengajar – Martin Loffelhölz dan Andrea Thalemann.
Di minggu pertama, Martin memberi landasan pemahaman tentang apa itu ASEAN – sejarah, kelembagaan, dan kebijakannya. Sedangkan Andrea meneruskan dengan memandu teknik penulisan tentang ASEAN ini di minggu kedua.
Saya sendiri menjadi asisten lokal, membantu Eka Neumann dari globalContact yang menjadi pelaksana.
Sekitar setengah jam kemudian kami semua pun beranjak ke lantai atas untuk audiensi khusus dengan “Mister Es-Ji”. Disanalah, Surin mengatakan sesuatu yang jika saja anggota Kongres AS sempat mendengar, akan mencegah mereka dari berbuat dungu.
Lima belas wartawan ini datang dari semua negara Asia Tenggara kecuali Singapura. Mereka sudah dipersenjatai dengan “amunisi” daftar pertanyaan yang akan ditembakkan ke Mister Es-Ji.
Semuanya berkaitan dengan isu-isu seputar ASEAN, seperti Piagam ASEAN yang sedang ramai dibahas (terutama terkait tiga negara besar yang belum juga meratifikasinya – Indonesia, Filipina, dan Thailand). Ada juga yang hendak bertanya mengenai ASEAN Single Window, yakni proses pengurusan terpadu keluar-masuknya barang ke suatu negara. Atau soal keberadaan ASEAN yang tidak terasa di kalangan masyarakat bawah.
Tentu tak lupa, soal konflik antara Thailand dan Kamboja soal perbatasan negara juga ditanyakan.
ASEAN memang belakangan ini sering kena kecam karena dinilai tak mampu turun tangan dalam menangani konflik yang terjadi antara anggotanya. Ini sesuai prinsip tidak-mau-ikut-campur yang dianut ASEAN.
Tapi bagi dunia Barat (yang antara lain bisa kita lihat dari laporan medianya) prinsip ini lumayan bikin gregetan, terutama kalau persoalannya menyangkut demokrasi dan hak asasi manusia.
Bagaimana mungkin kudeta Thailand dibiarkan terjadi begitu saja (meskipun tanpa pertumpahan darah setetes pun)?
Mengapa kok junta militer Myanmar tidak ditekan supaya membebaskan pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi? Atau setidaknya membuka pintu bagi donor dan sukarelawan asing yang hendak membantu korban Topan Nargis?
Dan sekarang, di tengah konflik sengit antara Thailand dan Kamboja, kok ASEAN diam saja sih?
Surin Pitsuwan dengan kalem meladeni satu persatu pertanyaan lima belas prajurit.
Keberadaan ASEAN memang kurang terasa di masyarakat, katanya, tetapi ada banyak kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi kehidupan mereka, yang sebenarnya diputuskan bersama-sama di tingkat ASEAN. Seperti kebijakan bebas visa antar negara. Atau yang sedang dikerjakan: ASEAN Single Window dan jaringan pembangkit listrik.
Pun sebagai negara besar, Surin bilang, sangatlah wajar jika Indonesia, Thailand dan Filipina perlu waktu lebih panjang dalam meratifikasi Piagam ASEAN. “Penduduk mereka paling banyak dan mereka harus benar-benar memikirkan dampak Piagam itu. Tapi secara umum, mereka sedang mencapai ke arah situ (meratifikasi).”
Soal konflik Thailand dan Kamboja, Surin cukup yakin kedua negara akan dengan sendirinya menemukan titik temu penyelesaian tanpa perlu pertolongan dari luar.
“Saya kira diplomat dua negara itu bisa mencari penyelesaian yang tidak membuat salah satu negara kehilangan muka.
“Anda tahu, empat puluh satu tahun ASEAN berdiri, tak pernah sekalipun ada perang senjata antara anggotanya. Saya kira ini sesuatu yang membanggakan dan akan bertahan.”
Bagaimana dengan ASEAN yang seperti tak punya taji gara-gara prinsip-tidak-mau-ikut-campur?
“Well, non-interference policy is something that is stated in the UN Charter. You respect other’s soverignty. It’s one of the basic rules of international relations.
“But lately there is a new concept called R2P – right to protect – that allows interfering when considered necessary for certain interests.”
Saya hampir saja melonjak girang dari tempat duduk saya, mendengar penjelasan Surin barusan.
Soalnya sekarang jadi jelas bagi saya, negara mana yang ternyata tidak mengenal tatakrama pergaulan antarbangsa. Mentang-mentang sebuah negara dipimpin diktator, bolehnya ribuan pasukan dikirim untuk menyerang negara itu dan menggantung si diktator (atas nama demokrasi, tentu).
Dan saya jadi tahu siapa orang yang tidak punya malu terbang jauh-jauh ke negeri penyelenggara olimpiade, hanya untuk bikin onar di sana dengan mendikte tentang “hak asasi manusia”.
Dan beberapa hari setelah audiensi itu, ketika mendengar kabar ada anggota kongres berbuat dungu mengirim surat kepada pemerintah kita, jadi makin jelas sekarang: anggota kongres negara mana yang sepertinya perlu pelatihan singkat Hubungan Internasional, supaya mereka berhenti mengurusi urusan dapur negara lain!
Hmpf, lain padang lain belalang memang. Anggota kongres Amerika Serikat sudah mengurusi dapur negara orang lain, anggota DPR kita masih sibuk dengan urusan diri sendiri.
Sepertinya bagus juga kalau InWEnt mengadakan pelatihan bersama bagi anggota parlemen sana dan sini, supaya mereka bisa lebih fokus pada urusan dalam negeri sendiri.
Kalau pelatihan itu terlaksana, saya bersedia deh jadi asisten lokalnya.
9 Komentar:
Man, you know what... apa sih yang di dunia ini sekarang yang ga ada campur-tangan dari Amerika Serikat? I was once also a "puppet" of the American. Pertukaran pelajar AFS tahun 1992 taught me well. Dan waktu itu Belanda juga ikut mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, makanya pak Harto waktu itu membubarkan IGGI dan diganti dengan CGI. The Dutch was also a "puppet" of the European Union which is in turn, an ally of the USA.
Man, to get along with the civilized is to be able to be civilized as well. But I can see clearly now the light at the end of the tunnel. Indonesia will be a major force on Earth. And Uncle Sam will be hoping that that won't happen.
Salam.
Ya, ya, (manggut-manggut pura-pura mengerti)
Maklum, presiden AS dkk. tidak punya kerjaan, kan urusan rakyat sudah diserahkan ke gubernur masing-masing negara bagian. Akhirnya jadi usil maen-maen ke tetangga deh
lain padang lain belalang,
lain lubang lain ikannya.
lain palembang..[lho?]
:P
Well, saya membayangkan bagaimana keadaan aktivis Burma. Bagaimana mereka berharap atas dukungan orang di negara lain seperti dulu republiken Indonesia berharap dukungan juga dari luar. Seperti juga Nelson Mandela dkk dalam perjuangan penghapusan politik apartheid.
ASEAN buat saya memang hanya sebuah guyon.
lebih enak ngurusin borok orang lain daripada borok sendiri..
haha. ya iyaaalah mau jadi asisten nya. nginep di hotel berbintang.
andaikan saja seorang Ikram Putra ikutan tes Deplu sabtu kmrn..tentu dia akan sangat lancar menjawab pertanyaan2 ttg ASEAN..ASEAN charter..dan kedunguan gw salah membedakan ASEAN Single Window menjadi satu kebijakan APEC..hahahaha
Postingmu yg sekarang panjang juga, Kram.
@to Floresiana Yasmin: bkn cm nginep di hotel berbintang, tapi juga Euro... Itu bkn turnamen bal-balan lho, tp ya Euro :P
zen
[url=http://www.adulthostedblogs.com/?u=videoseamyas0]Coding Workshop Pocket DVD Wizard 5.0.0[/url] [url=http://community.freeskier.com/profiles/profile.php?user_id=27520]KnowU[/url]
Magic DVD Creator 8.0.8.25 Xilisoft DVD Ripper Platinum 5.0.32.0418
http://www.answerbag.com/profile/1236598 My Video Converter 1.2.9
[url=http://lecturer.elektrounesa.org/?u=videosealfreda4]AVACON for Skype[/url] [url=http://www.drawingboard.org/blogs/?u=videosearic4]DVD Audio Extractor 3.3.2[/url]
KingConvert DVD To T-Mobile Dash 3G Honestech Video Patrol 4.5
http://www.pinskerdream.com/bloghoster/?u=videoseanneka3 Alive YouTube Video Converter 1.6.2.2
Koobo iPod MP4 Video Converter
my icq:858499940385