[Batari]Akhirnya saya nonton juga film Nagabonar Jadi 2. Setelah banyak teman menyarankan untuk menonton film ini. Kata mereka, ceritanya lucu. Kata mereka, akting Deddy Mizwar oke. Ada juga yang bilang, Darius di film ini tampak super ganteng.
Berbekal masukan-masukan, hari itu saya berangkat ke Blitzmegaplex. Berencana nonton Nagabonar yang jam 19-an bersama Ikram. Saya beli tiket, beli popcorn dan terlebih dahulu harus meyakinkan Ikram bahwa duduk di bangku F tidak mendongak.
Hari itu bukan jadwalnya nonton hemat, jadi kami berdua harus mengeluarkan 50 ribu.
Tak apalah, pikir saya,
toh film-nya bagus.Sudah 20 menit menonton, saya mulai mempertanyakan pendapat teman-teman tentang bagusnya film ini. Banyak yang tidak masuk akal.
Kok tiba-tiba anak si Nagabonar ini sudah punya perusahaan saja?
Enak betul pulang dari luar negeri langsung bisa kaya, punya rumah amat besar sekali. Semakin lama menonton, saya jadi geram. Mana lucunya??
Buat saya, terlalu banyak yang mau diceritakan dalam satu film ini. Ada masalah gusur-menggusur kuburan. Ada cerita cinta Tora-Wulan. Ada hubungan bapak-anak Nagabonar-Bonaga. Ada supir bajaj yang baik hati. Nonton Nagabonar Jadi 2 ini rasanya seperti menonton film dimana sutradaranya ada LIMA! Tidak jelas mana inti ceritanya.
Darius memang ganteng. Tapi kenapa teman-teman Bonaga ini harus berpenampilan dan berkelakuan seperti F4?
It's soo laaaast yeaar, pak sutradara..
Pada akhirnya, saya tidak merasa film ini layak ditonton dengan harga 25 ribu. Beberapa adegan memang ada yang berhasil memancing senyum. Tapi itu tidak banyak. Beneran deh, banyak adegan yang terlalu 'dipaksakan'. Betapa gemarnya Nagabonar main bola, betapa tidak bisanya si Bonaga merayu Wulan Guritno. Oh, satu lagi : kenapa ceritanya mesti diakhiri dengan kedatangan tukang karpet?
Saya tidak tersentuh sama sekali dengan nilai nasionalisme yang disuguhkan di film ini. Mungkin saja saya tidak penuh menghayati, karena 2 hari sebelumnya saya baru saja menonton
Mr. Bean's Holiday dan
Meet The Robinsons berturut-turut. Jadi, waktu nonton Nagabonar Jadi 2, saya sudah mati rasa.
Entahlah.
***
[Ikram]Sakit, mata ini, demi melihat seorang kakek berbicara sendirian di depan tiga kuburan. Apalagi lagaknya seperti sedang berbicara kepada orang hidup saja. Pakai titip-titip. Memang sih, yang terbujur kaku di dalam tanah itu adalah ibu, istri, dan adik dari si kakek itu. Tapi tetap saja aneh. Kayaknya baru sekali ini deh saya lihat ada orang Medan
curhat kepada kuburan.
Bertambah aneh lagi ketika melihat seorang pengusaha muda, di dalam mobil, malah mendengarkan musik dari si mungil iPod. Padahal, sistem audio di mobil mewah itu pasti akan sanggup menghadirkan musik dengan kualitas suara jaaauuuhh lebih jernih. Speakernya pasti
surround. Jadi mengapa orang itu malah mendengarkan musik lewat earphone yang dicantelkan ke kuping – dan lama-lama bikin pegal itu? Pasti supaya terlihat, bahwa sekarang zaman modern. Penandanya? Ya iPod itu.
Kepala ini juga jadi sedikit pusing (oke, hiperbola) ketika menyaksikan mereka berdua (si kakek dan pengusaha muda itu) berhenti sebentar di tengah jalan untuk tendang-tendang bola dulu barang sebentar. Haduh-haduh. Saya memang nggak mengerti film sih, jadi nggak mengerti apa sebenarnya makna di balik adegan itu.
Dari kepala, penyakit turun ke perut. Agak mulas rasanya ketika kamera memasukkan gambar empat ondel-ondel anak buah si pengusaha muda. Anak buah dengan
job description tidak jelas. Seketika saya ingat geng F4 dari Taiwan – hanya dalam skala kebelaguan yang lebih rendah.
Untunglah ada adegan di mana si kakek tua mencopet dompet salah satu F4. Saya mulai melihat adanya kemungkinan saya bisa terhibur, menonton film Nagabonar Jadi 2 ini.
Dan memang benar, saya bisa terhibur. Pemeran si kakek bernama Nagabonar itu, tak perlu diragukan lagi memang piawai berakting. Meski tidak pada semua adegan dia prima. Saya paling suka bagian dia mempertanyakan dasar pelarangan bajaj masuk jalan protokol. Juga adegan ketika dia bilang, tidak semua orang layak dihormati. Tapi adegan dia memanjat patung Sudirman guna menurunkan hormat si patung? Oh, sori dori mori.
Not impressed.
Saya, jujur, terhibur dengan gaya penyampaian film ini yang berbeda dari film-film Indonesia lain. Film ini mencoba menawarkan pemahaman soal nasionalisme dengan cara yang berbeda. Yang simbolis. Mulai dari patung Sudirman sampai ke upacara bendera. Semuanya terasa simbolis dan, sebab tak paham bahasa simbolis, saya kesusahan menangkap maknanya. Termasuk soal mengapa mesti bajaj, dan ada apa dengan permainan sepak bola bersama anak-anak kampung itu.
Bicara soal kesusahan, saya juga merasa kesusahan mencerna bagaimana bisa kok pengusaha muda itu bisa kaya raya, punya rumah besar, namun tidak mau mengakali pembayaran pajak? Film ini settingnya masih Indonesia, bukan? Saya juga tak melihat adanya hubungan sebab-akibat antara dibesarkan tanpa ibu dan kesulitan mengucapkan “aku sayang kamu”.
Jadi, secara logika, ada banyak hal-hal yang tak saya pahami dari film ini. Tapi saya menikmati betul dialog-dialog spontan yang ada (meskipun logatnya luarbiasa dipaksakan). Saya menikmati pandangan sederhana si kakek tentang kehidupan setelah mati, meski pada saat bersamaan tak habis pikir mengapa dia harus selalu menambahkan “dimakan cacing” berulang kali saat sedang menyebut nama adiknya. Saya terkesan dengan supir bajaj sekaligus heran dengan si penjual karpet masjid.
Dan saya cukup terhibur dengan pemeran “pacar” si pengusaha muda, yang kali ini bisa mengatur duduknya supaya tak nampak celana dalamnya. Oh maaf, pujian ini lebih patut dialamatkan kepada para kameramen yang pandai menahan diri, serta operator yang mampu menyunting gambar dengan benar.
Kecurigaan saya: film ini terkendala urusan komersial alias bisnis. Itu mungkin mengapa banyak pemeran pembantunya berasal dari artis sinetron, artis acara komedi, model iklan, dan pembawa acara gosip. Kalau mereka pakai pemeran dengan kualitas prima namun kurang terkenal? Belum tentu bisa laku kan.
Tapi eh, menurut Anda bagaimana?