#Untuk mereka yang masih merasa perlu marah dipanggil “Indon”Saya ingin mengucapkan terimakasih atas tanggapan teman-teman di
tulisan sebelum ini. Tidak hanya membikin saya jadi ada bahan menulis, teman-teman telah pula menyumbangkan sebuah debat yang hangat, bersemangat, dan bergeliat kepada blog ini – yang bagian paling kerennya memang terletak di kolom komentar.
Maaf sekali jika saya tidak menanggapi satu-per-satu komentar. Bukan saya lari dari tanggungjawab dan bukan pula saya jenis manusia “Yes Man”. Tapi saya ini tidak punya kemewahan berlama-lama di depan komputer yang terhubung ke Internet. Saya menulis dan memanfaatkan Internet ya di sela-sela pekerjaan kantor. Karenanya, urusan kantor harus didahulukan dong!
(Bohong deng. Sebetulnya sih gara-gara bos saya beberapa hari belakangan sering banget mondar-mandir lewat meja saya hohohoho)
Alasan lain saya tak bisa segera menjawab adalah, karena kebanyakan komentar teman-teman semuanya sama keras. Semuanya seolah berteriak minta perhatian sehingga saya jadi bingung yang mana yang harus dijawab terlebih dahulu. Bingung, tentu saja, sama sekali berbeda dengan lari atau tak mau jawab – bodoh betul sih itu yang nggak bisa membedakan hihihi.
Tapi ah, sekarang setelah berpegangan, bingung saya pun hilang.
Media sama buruknyaDebat ini bermula dari tanggapan Reza di tulisan “Indon(esia!)” yang saya tanggapi. Reza sudah mampir dan menjawab tanggapan saya itu, tapi kalau boleh jujur, jawaban Reza itu rasa-rasanya belum terlalu menjawab.
Coba kita lihat. Reza memulai debat dengan menyatakan editor di Malaysia bermutu lebih rendah daripada Jakarta. Buktinya, kata Reza, tidak ada koran di Jakarta yang menyebut “Aussie” dan “Amrik”. Seumur-umur dia di Jakarta, katanya, dia belum pernah mendengar.
Setelah saya ajukan dua contoh berita di
Kompas yang mengandung
dua kata itu, yang sekaligus mematahkan argumennya, Reza malah hanya meminta maaf telah lupa menyebutkan bahwa dia sudah pergi lama dari Indonesia untuk bekerja di Malaysia. Hahaha, ini kan jaka sembung naik ojek?
Reza seolah tak mengerti bahwa ke belahan bumi manapun dia pergi, dua berita Kompas itu akan tetap ada. Dua berita yang menjadi bukti bahwa, baik media Malaysia maupun Indonesia sama-sama doyan memenggal, menyingkat, memotong nama negara lain. Dua berita yang menjadi pengingat kita semua bahwa, media kita pun berlaku sama buruknya dengan media Malaysia yang menyingkat “Indonesia” menjadi “Indon”.
Dua berita yang menjadi contoh nyata buat kita sekalian bahwa, dunia tak lantas jadi kiamat ketika nama sebuah negara disingkat.
Saya tak tahu bagaimana dengan Reza, tapi saya sih akan malu hati menuntut media Malaysia menulis nama negara saya dengan utuh – sementara media saya juga melakukan hal yang sama terhadap negara lain. Sama seperti ketika Reza meminta saya membiasakan “menggunakan kata yang benar untuk menyebut sesuatu”, padahal di saat yang sama dia menulis dengan tata bahasa yang bahkan kacau balau. Kalau saya sih malu!
Tapi saya tak tahu bagaimana dengan dia :P
Pengertian dan penggunaan “Indon”Dalam tanggapannya itu, saya juga menyayangkan Reza tak sempat membikin jelas kedudukannya mengenai asal-usul kata “Indon”. Dia memang bilang dia sepakat dengan saya, bahwa media Malaysia malas menulis utuh “Indonesia” – padahal hanya beda satu huruf dari “Malaysia”. Tapi apakah itu berarti dia sepakat bahwa “Indon” dipenggal dari “Indonesia” dan artinya ya Indonesia? Belum jelas benar.
(Kalau pakai logika sederhana sih, jika dia sepakat media Malaysia pemalas, berarti dia setuju dong “Indon” dipenggal dari “Indonesia”. Dan masalah kami langsung selesai sampai di situ. Tak ada persoalan dengan “Indon” sebab artinya ya “Indonesia”. Tapi Reza mungkin punya logika yang lebih rumit)
Soalnya, dia kemudian masih saja bersikukuh pada pendirian bahwa “Indon” tidak sama dengan “Indonesia”. Dia tetap yakin artinya merendahkan – sebagaimana yang juga dikatakan Pahlawan Devisa dan Rockm4m4. Di Malaysia sana, “Indon” artinya sangat mengerikan!
Dan mereka semua ini – ditambah Anonymous yang belakangan bernama Liv – memakai argumen superdahsyat: Saya tidak menetap di Malaysia sih, sehingga tidak bisa merasakan penghinaan mengerikan itu. Saya dicap sebagai orang sok tahu, membual tentang hal-hal yang saya tidak ketahui benar, dan sok pamer betapa saya punya pikiran terbuka dan jago menulis. Hahahaha.
Please. Jangan memfitnah begitu dong. Saya memang kadang-kadang sok tahu. Tapi pikiran saya jauh dari terbuka dan tulisan saya masih jaaauuh dari bagus. Kalau memang saya menulis bagus, mereka semua kan bisa langsung memahami poin tulisan saya. Tapi kenyataannya tidak tuh :P
Saya memang tidak menetap di Malaysia. Tapi jujur, walaupun saya berada di sana (misalnya ketika Al Jazeera buka lowongan, hehehe) saya tidak akan tersinggung, terhina, terendahkan harga dirinya, jika dipanggil “Indon”.
Argumen “Kalau Ikram tinggal di Malaysia dia pasti juga merasa terhina” adalah argumen yang lemah – sekaligus sok tahu. Sebab, terimakasih kepada Internet, dari sini saya toh bisa membaca dan mengakses arsip berita-berita media Malaysia yang juga memakai “Indon” untuk berita positif. Dan karena saya yakin, “Indon” artinya ya “Indonesia”.
Sepertinya ada baiknya mereka mempertegas dahulu kedudukan mereka. Sepakatkah mereka bahwa “Indon” dipenggal dari – dan berarti – “Indonesia”? Jika sepakat, maka masalah kita selesai sampai disini.
Sebab, mengapa pula orang Indonesia harus marah jika dipanggil Indonesia?
Menghina dan terhinaSekarang kita masuk ke persoalan penghinaan – bukan lagi soal pengertian dan asal-usul kata. Ada banyak contoh penghinaan menggunakan kata “Indon” yang diajukan teman-teman lewat kolom komentar di tulisan sebelumnya. Misalnya seperti ini:
“Indon boleh cakap orang putih ke?? Tak mungkin ler! mana ada Indon boleh cakap orang putih?! you ni Filipino kan ?!”
Dalam pandangan saya, masalah utamanya tidaklah terletak pada “Indon” melainkan pada penghinaan itu sendiri. Coba kita ganti semua “Indon” menjadi “Indonesia”, hasilnya akan begini:
“Indonesia boleh cakap orang putih ke?? Tak mungkin ler! mana ada Indonesia boleh cakap orang putih?! you ni Filipino kan ?!”
Teman-teman bisa lihat kan? Tetap saja bernada penghinaan. Padahal semua “Indon” sudah diganti “Indonesia”.
Itulah mengapa saya katakan, jika memang berniat menghina, orang Malaysia pasti akan menemukan kata apapun untuk menghina. Tidak sekedar “Indon”. Dengan “Indonesia” pun mereka sudah bisa menghina. Jadi tak terlalu berguna jika kita menuntut “Indonesia” ditulis penuh, bukan?
Yang kita perlu lawan adalah penghinaan itu – misalnya dengan balas menjawab “Duh anda kasihan banget sih, kemana aja kok baru tahu ada orang Indonesia bisa bahasa Inggris?”.
Sama halnya dengan ilustrasi orang Indonesia yang ingin menumpang bus tapi tak dilayani oleh supir karena dia tidak punya kembalian. Ketika dia hendak turun, orang Indonesia ini bukannya menekan bel dan malah berteriak “Kiri, Bang!” – si supir dan penumpang lain pun melecehkan dan bergumam “Indon yang bodoh.”
Sebenarnya akan lebih lucu jika orang Indonesia balas menjawab, “Eh bis lo aja yang kuno masih pakai bel. Di negara gua mah semua bisnya udah pake voice command!”
What’s the point of having them saying our country’s name completely? So that they would start saying “Stupid Indonesian”?
Reza, Rockm4m4, Pahlawan Devisa, dan Anonymous yang bernama Liv: Saya tak bisa melihat bagaimana menyebutkan “Indonesia” ketimbang “Indon” akan menyetop mereka dari melecehkan kita. Jadi saya memohon kesabaran kalian untuk memberi argumen tambahan – bukan sekedar “Ikram nggak tinggal di sini sih.”
Kira-kira bagaimana sih strateginya: Apakah jika mereka menyebut “Indonesia” lantas mereka otomatis akan berhenti menghina beberapa kita yang kebetulan tak sehebat mereka?
Saya kira ini juga poin penting dalam debat ini. Awalnya adalah penolakan kata “Indon” oleh masyarakat Indonesia di Malaysia. Saya mencoba memberi PERSPEKTIF bahwa kata itu – “Indon” – sebenarnya tidak bermasalah. Sekarang terbukti kan, bahwa yang bermasalah bukan “Indon”-nya tapi penggunaannya? “The reason behind it.”
Jadi sekali lagi mohon, bantulah saya mendapat PERSPEKTIF serupa dari kalian semua soal mengapa kita harus marah dipanggil “Indon”. Bukan dengan menyerang pribadi, memprovokasi, bertindak sok tahu apa yang akan dipikirkan Eka Soeripto, dll.
Do me a favour. Give us some perspectives here. Please.
Sebab kalau memang mereka ingin menghina, mereka bisa pakai kata apapun untuk melakukan itu – termasuk “Indonesia”. Dan kalau kita memang kebetulan dari jenis yang terhina, kata apapun yang mereka pakai akan selalu bernada penghinaan – termasuk “Indonesia”.
Saya sebetulnya agak sedih melihat perkembangan kasus ini sejak tahun lalu sampai sekarang. Dosen komunikasi FISIP UI Effendi Ghazali, misalnya, sempat menyuruh siswa SMA Madania untuk memanggil “Malon” kepada orang Malaysia – sebagai pembalasan atas panggilan “Indon” kepada kita. Ini kan seumur-umur tidak akan menyelesaikan masalah?
Janganlah kita kasih izin mereka menghina kita dengan memanggil “Indon”, sebab “Indon” toh berasal dari nama negara kita sendiri, Indonesia. Kenapa juga kita harus terhina ketika dipanggil Indonesia? :)
Terimakasih banyak dan senang bisa berdiskusi dengan teman-teman semua.
Salam,
Ikram