Megawati Soekarnoputri sebaiknya mulai berpikir untuk berhenti menggempur Susilo Bambang Yudhoyono dengan istilah-istilah yang hanya enak buat didengar telinga. Kecuali kalau memang Mega ingin SBY menang lagi pada pemilihan presiden tahun 2009.
Saya tidak sedang membela pemerintahan SBY, tidak. Dan saya tidak pula sedang berani-berani membatasi kebebasan berekspresi seseorang — terlebih seorang mantan presiden. Saya murni menyarankan ini demi kebaikan dirinya sendiri. Apa dia mau kalah dua kali dari orang yang sama?
Persoalannya yang pertama adalah, selama ini kritik Mega atas kinerja pemerintahan SBY — betapapun itu benar — tidak pernah bersambut seperti yang diharapkan. Jadi jika Mega tetap melontarkan kritik, saya khawatir itu cuma akan memberi contoh nyata bagi peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Ketika setahun yang lalu Megawati menuding Yudhoyono sibuk “tebar pesona”, apakah Yudhoyono menyambut tudingan itu dengan berhenti “tepe-tepe” (istilah anak muda untuk tebar pesona)?
Tidak. Sebab kalau bukan pesona, apalagi yang bisa ditebar. Mau menebar Mercedez dan kapal pesiar, SBY bukan Tianshi. Mau menebar televisi, SBY bukan TransTV. Mau menebar cinta, SBY bukan Ariel Peterpan :P
Dan ketika Megawati sekitar setengah tahun yang lalu menggugat Yudhoyono hanya bisa “berjanji setinggi langit, tapi kenyataan di atas bukit”, apakah Yudhoyono berubah jadi menepati janji-janjinya yang dijual saat kampanye dulu?
Tidak. Sebab hanya politisi dari jenis yang bodoh yang menepati janji. SBY tidak bodoh, SBY tidak menepati janji.
Kemudian ketika baru-baru ini Megawati kembali mencibir pemerintahan Yudhoyono bagaikan “tarian poco-poco” — maju selangkah tapi mundur dua langkah — apakah Yudhoyono langsung berhenti menari dan mendaftar gerak jalan sehat biar maju terus?
Tidak. Sebab gerak jalan sehat tidak membutuhkan perhitungan. Orang hanya perlu jalan saja terus. Sedangkan pada tarian poco-poco, ada kesempatan bagi SBY untuk berpikir hendak maju atau mundur. Atau geser ke samping. Dan SBY, kita tahu, sangat menyukai “berpikir penuh perhitungan” — kata sopan untuk “ragu-ragu”.
Sisi terangnya, Megawati berhasil menunjukkan kepada publik seperti apa mutu kepemimpinan seorang SBY. Dan ini bagus bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Persoalannya yang kedua adalah, Mega sendiri melakukan apa yang dituduhkannya kepada SBY. Jadi jika Mega tetap melontarkan kritik, saya khawatir itu cuma akan memberi contoh nyata bagi peribahasa “mendulang air terpercik muka sendiri”.
Tebar pesona Mega pernah. Meminta rakyat memilih kandidat presiden yang paling cantik? Menjual tahilalat? Jangan lupa juga bahwa Mega tidak hanya menjual pesona dirinya sendiri tapi juga pesona ayahnya.
Memberi janji-janji juga Mega pernah. Saya masih belum lupa bagaimana dia berjanji tidak akan membiarkan darah tertumpah lagi di Aceh dalam sebuah pidato politiknya tahun 2002. Dan saya juga masih belum lupa bagaimana Mega tidak segera mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.
Menari poco-poco mungkin Mega belum pernah karena dia rupanya lebih suka berdansa. Tapi bukankah esensi semua tarian sama saja?
Jadi segala kritik Mega bagaikan anak panah yang melesat maju tapi kemudian berbalik arah mengenai dirinya sendiri. Ini jelas buruk bagi citra dirinya sebagai kandidat presiden 2009. Dia akan tergambar sebagai orang yang berkinerja buruk, tapi menyalahkan orang lain yang juga berkinerja sama.
Tapi entahlah. Sisi terangnya, bagi warganegara yang berpikir nakal seperti saya, dia akan tergambar seperti orang yang berkinerja buruk dan tak rela orang berkinerja buruk juga. Mega seperti mengatakan “Cukup saya saja yang begitu. Jangan tambah lagi penderitaan rakyat” :P
Persoalan selanjutnya, persoalan ketiga, adalah buah dari persoalan pertama ditambah yang kedua. Kritik yang tak bersambut, ditambah tukang kritik yang pernah berkinerja sama buruknya, hanya akan berujung pada kegiatan berbalas ejekan. Megawati tentu bisa merasakan sendiri bagaimana SBY — baik secara langsung maupun lewat para pembantunya — membalas setiap kritik.
Ketika Mega melakukan safari politik dan bertemu rakyat yang setia kepadanya, Andi Mallarangeng tinggal bilang siapa sekarang yang “tebar pesona”. Ketika Mega mengatakan SBY hanya bisa janji, Andi pun tinggal membantah dengan mengungkap prestasi-prestasi yang dicapai Presiden. Dan ketika Mega menilai pemerintahan SBY seperti tarian poco-poco, Jusuf Kalla pun pasang badan dengan mengatakan lebih baik poco-poco daripada dansa berputar-putar.
Megawati semestinya sadar bahwa kritik dia hanya memicu terjadinya sirkus murahan yang tak ada gunanya bagi rakyat banyak. Saling mengejek kan tidak membikin harga kedelai murah?
Sisi terangnya, para pembantu SBY jadi punya kesempatan menunjukkan kesetiaan. Andi Mallarangeng jadi punya pekerjaan di samping menyanjung Presiden di sebuah suratkabar setiap awal pekan. Sementara saya? Saya jadi sedikit terhibur melihat kreativitas mereka semua. Enak didengar telinga sih.
Nah sekarang — paling penting untuk dicermati — adalah persoalan keempat. Dengan terus melontarkan kritik terhadap SBY, Megawati sebenarnya sedang membahayakan dirinya sendiri pada pemilihan 2009.
Menengok sekilas ke belakang, salah satu faktor kemenangan SBY pada 2004 adalah keberhasilannya mengolah empati rakyat terhadapnya yang seolah-olah dizalimi Mega. SBY terbukti piawai — selain beruntung saya kira — dalam memanfaatkan ejekan Taufik Kiemas (suami Megawati) yang berbunyi “Jenderal kok kayak anak kecil”. Dengan begitu dia semakin terbukti tertindas, dan rakyat cenderung memilih kandidat yang tertindas juga.
Saya kira kepiawaian mengolah empati ini perlu diwaspadai. Karena inilah yang menjadikan Veri dan Ihsan masing-masing pemenang Akademi Fantasi Indosiar dan Indonesian Idol. Atau Kangen Band melejit tanpa ampun. Atau bahkan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilihan 1999!
Rumus umumnya, semakin ditindas semakin mendapat dukungan. Soal kemampuan belakangan. Bodoh memang, tapi itulah kenyataan.
Akan tetapi, yang lebih bodoh lagi saya kira adalah membuka jalan bagi SBY untuk kembali mengolah empati rakyat. Jika Megawati terus-terusan mengkritisi SBY, maka sesungguhnya dia justru sedang membantu SBY mendapatkan lagi bukti bahwa dia tertindas.
Padahal, jangan lupa juga bahwa usaha mengolah empati ini sudah dimulai. Ingat kan SBY pernah mengeluh bahwa ada yang mengganggunya “cuci piring”? Atau bahwa dia selama ini “kurang tidur”? Atau bahwa media cenderung tidak memberitakan prestasi pemerintahannya? Nah kalau ditambah lagi dengan kritik Mega, tentu SBY akan bahagia sekali :P
Untuk yang ini tidak ada sisi terang. Megawati sebaiknya mulai berpikir untuk berhenti menggempur Susilo Bambang Yudhoyono dengan istilah-istilah yang hanya enak buat didengar telinga. Gempuran itu hanya akan memberi bahan bakar bagi usaha SBY mengolah empati rakyat.
Kecuali kalau memang Mega ingin SBY menang lagi pada pemilihan presiden tahun 2009. Bukankah dalam politik semua hal mungkin terjadi? :P