Pers Mahasiswa, Seandainya Soeharto Tetap Berkuasa
Monday, April 11, 2005
Ikram Putra
Mahasiswa Oseanografi ITB, mantan Pemimpin Redaksi Boulevard ITB
Pers mahasiswa sungguh sesuatu yang unik. Ia pernah bergandengan tangan dengan gerakan mahasiswa; menjadi media komunikasi politik mereka, saat kontrol dan represi rezim Orde Baru terhadap media umum dirasa sangat kuat. Ini yang disinggung M Fadjroel Rahman di buku Pers Dalam 'Revolusi' Mei, tahun 2000.
Sementara pers umum takut atas ancaman diberangus, pers mahasiswa tampil menjadi corong perjuangan. Ia menyajikan berita-berita alternatif. Kritis dan berani, tanpa takut ditutup -- karena ia memang tak butuh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini menjadi semacam kelebihan yang dimilikinya. Jika hari ini sebuah media mahasiswa tutup (atau dipaksa tutup), maka besok hari ia sudah bisa terbit lagi, dengan hanya berganti nama.
Pemberitaannya pun khas anak muda. Ia mengusung isu-isu yang sangat sulit diangkat media mainstream zaman itu. Sesuatu yang bagi pembaca tak bisa didapat di luaran. Bahasanya lugas dan pedas. Lugas, tanpa mesti repot menyembunyikan kenyataan dengan eufemisme bahasa. Pedas, tanpa mesti takut menyinggung perasaan pemerintah.
Namun, sejak Mei 1998, masa-masa kejayaan itu telah lewat. Hari-hari yang diceritakan Rum Aly, pemimpin redaksi (mendiang) Mahasiswa Indonesia itu, dalam sebuah acara di kampus saya, kini tinggal sejarah. Dengan begini, saya sulit menilai kejatuhan Soeharto sebagai berkah ataukah bencana bagi pers mahasiswa.
Soeharto, sang penguasa Orde Baru yang nikmat bertahta selama 32 tahun itu, resmi terjungkal pada 21 Mei 1998. Itu memang kemenangan gerakan mahasiswa, yang meski ditekan dengan NKK/BKK, tetap bisa bertahan dan menuntut Soeharto turun. Ribuan, mereka menduduki gedung MPR/DPR.
Kemenangan ini berarti pula keberhasilan pers mahasiswa, karena mereka berdua selama ini kawan karib. Pers mahasiswa, sedikit banyak, ikut berjasa dalam menularkan pandangan politik dan menyuarakan bukti kebusukan rezim.
Namun, di sisi lain, sejak kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa menjalani hari-hari suramnya. Ia semacam kehilangan gigi karena media umum sekarang sudah punya 'gigi'. Pers mahasiswa kehilangan sesuatu yang menjadi nilai-lebihnya selama ini. Tak ada yang istimewa lagi darinya.
Soalnya, sekarang tak perlu ada lagi media mahasiswa untuk kita bisa membaca kritik pedas terhadap pemerintah. Kini, media mainstream sudah boleh menulis besar-besar judul yang pedas. Apa yang tadinya hanya bisa dinikmati di media mahasiswa, kini bisa dibaca di media umum.
Soal mutu liputan pun, media mahasiswa cenderung kalah dengan media umum. Media umum punya sumber daya yang wajar dan meliput dengan metode lebih lengkap, sehingga akurasi fakta yang ditampilkan jauh lebih baik. Mereka juga punya modal, tidak seperti pers mahasiswa yang kondisi keuangannya pas-pasan.
Melihat kenyataan menyedihkan ini, saya jadi ingin Soeharto tetap berkuasa. Dengan begitu, pers mahasiswa tetap dilirik orang.
Tapi, Soeharto kan tak mungkin berkuasa lagi. Lantas bagaimana?
Saya berpendapat pers mahasiswa sebaiknya merasa dirinya sebagai 'pers betulan', bukannya 'pers yang mahasiswa'. Sebagai ciri khas dan nilai lebih, pers mahasiswa mesti menjelma menjadi koran komunitas. Ia melayani warga di komunitasnya sendiri, dengan menyajikan informasi yang mereka butuhkan. Ia, meminjam kata-kata Andreas Harsono (wartawan Pantau), down to earth terhadap masalah kampus.
Media tempat saya bergabung, Boulevard ITB, pun melakukan hal itu -meski saya tak tahu sejak kapan. Kami tetap menaati elemen 'jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan' -- sebagaimana dirangkum Bill Kovach dalam The Elements of Journalism, 2001 -- namun dalam lingkup yang lebih kecil; penyelenggaraan pemerintahan di kampus. Kami berupaya menjadi anjing penjaga terhadap kebijakan yang dihasilkan baik rektorat maupun mahasiswa.
Tapi, bukan lantas pers mahasiswa meliput soal kampus melulu. Masalah kampus memang dijadikan fokus utama (seperti transparansi keuangan rektorat, tarif SPP yang naik lagi-naik lagi, kecurangan pemilu raya, kebersihan toilet, dan sebagainya), tapi di samping itu pers mahasiswa bisa saja mengangkat isu nasional -- dengan angle lokal.
Antara lain, misalnya seperti ini; rencana kampanye politik masuk kampus disikapi dengan mewawancara mahasiswa: apakah mereka setuju? Longsornya gunung sampah di Leuwigajah ditulis memperhatikan kenyataan sehari-hari: bagaimana dampaknya terhadap sampah di kampus kita? Bencana tsunami di Aceh: bagaimana nasib keluarga teman-teman kita yang berasal dari Aceh?
Saya yakin, media mahasiswa yang memperhatikan komunitasnya akan mampu bersaing dengan media umum. Sebab, faktor kedekatan emosional terbukti punya peranan penting. Ia dapat membuat pembaca merasa erat tak berjarak dengan medianya, yang berujung pada loyalitas.
Pers mahasiswa, jika cepat melakukan reposisi dan meningkatkan profesionalitas, masih dapat mendapatkan kembali masa gemilangnya. Saya pun lantas tak lagi ingin Soeharto tetap berkuasa. []
------
Suplemen Khusus Media Indonesia "Media Kampus" Edisi Jawa Barat
Senin, 11 April 2005
Mahasiswa Oseanografi ITB, mantan Pemimpin Redaksi Boulevard ITB
Pers mahasiswa sungguh sesuatu yang unik. Ia pernah bergandengan tangan dengan gerakan mahasiswa; menjadi media komunikasi politik mereka, saat kontrol dan represi rezim Orde Baru terhadap media umum dirasa sangat kuat. Ini yang disinggung M Fadjroel Rahman di buku Pers Dalam 'Revolusi' Mei, tahun 2000.
Sementara pers umum takut atas ancaman diberangus, pers mahasiswa tampil menjadi corong perjuangan. Ia menyajikan berita-berita alternatif. Kritis dan berani, tanpa takut ditutup -- karena ia memang tak butuh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini menjadi semacam kelebihan yang dimilikinya. Jika hari ini sebuah media mahasiswa tutup (atau dipaksa tutup), maka besok hari ia sudah bisa terbit lagi, dengan hanya berganti nama.
Pemberitaannya pun khas anak muda. Ia mengusung isu-isu yang sangat sulit diangkat media mainstream zaman itu. Sesuatu yang bagi pembaca tak bisa didapat di luaran. Bahasanya lugas dan pedas. Lugas, tanpa mesti repot menyembunyikan kenyataan dengan eufemisme bahasa. Pedas, tanpa mesti takut menyinggung perasaan pemerintah.
Namun, sejak Mei 1998, masa-masa kejayaan itu telah lewat. Hari-hari yang diceritakan Rum Aly, pemimpin redaksi (mendiang) Mahasiswa Indonesia itu, dalam sebuah acara di kampus saya, kini tinggal sejarah. Dengan begini, saya sulit menilai kejatuhan Soeharto sebagai berkah ataukah bencana bagi pers mahasiswa.
Soeharto, sang penguasa Orde Baru yang nikmat bertahta selama 32 tahun itu, resmi terjungkal pada 21 Mei 1998. Itu memang kemenangan gerakan mahasiswa, yang meski ditekan dengan NKK/BKK, tetap bisa bertahan dan menuntut Soeharto turun. Ribuan, mereka menduduki gedung MPR/DPR.
Kemenangan ini berarti pula keberhasilan pers mahasiswa, karena mereka berdua selama ini kawan karib. Pers mahasiswa, sedikit banyak, ikut berjasa dalam menularkan pandangan politik dan menyuarakan bukti kebusukan rezim.
Namun, di sisi lain, sejak kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa menjalani hari-hari suramnya. Ia semacam kehilangan gigi karena media umum sekarang sudah punya 'gigi'. Pers mahasiswa kehilangan sesuatu yang menjadi nilai-lebihnya selama ini. Tak ada yang istimewa lagi darinya.
Soalnya, sekarang tak perlu ada lagi media mahasiswa untuk kita bisa membaca kritik pedas terhadap pemerintah. Kini, media mainstream sudah boleh menulis besar-besar judul yang pedas. Apa yang tadinya hanya bisa dinikmati di media mahasiswa, kini bisa dibaca di media umum.
Soal mutu liputan pun, media mahasiswa cenderung kalah dengan media umum. Media umum punya sumber daya yang wajar dan meliput dengan metode lebih lengkap, sehingga akurasi fakta yang ditampilkan jauh lebih baik. Mereka juga punya modal, tidak seperti pers mahasiswa yang kondisi keuangannya pas-pasan.
Melihat kenyataan menyedihkan ini, saya jadi ingin Soeharto tetap berkuasa. Dengan begitu, pers mahasiswa tetap dilirik orang.
Tapi, Soeharto kan tak mungkin berkuasa lagi. Lantas bagaimana?
Saya berpendapat pers mahasiswa sebaiknya merasa dirinya sebagai 'pers betulan', bukannya 'pers yang mahasiswa'. Sebagai ciri khas dan nilai lebih, pers mahasiswa mesti menjelma menjadi koran komunitas. Ia melayani warga di komunitasnya sendiri, dengan menyajikan informasi yang mereka butuhkan. Ia, meminjam kata-kata Andreas Harsono (wartawan Pantau), down to earth terhadap masalah kampus.
Media tempat saya bergabung, Boulevard ITB, pun melakukan hal itu -meski saya tak tahu sejak kapan. Kami tetap menaati elemen 'jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan' -- sebagaimana dirangkum Bill Kovach dalam The Elements of Journalism, 2001 -- namun dalam lingkup yang lebih kecil; penyelenggaraan pemerintahan di kampus. Kami berupaya menjadi anjing penjaga terhadap kebijakan yang dihasilkan baik rektorat maupun mahasiswa.
Tapi, bukan lantas pers mahasiswa meliput soal kampus melulu. Masalah kampus memang dijadikan fokus utama (seperti transparansi keuangan rektorat, tarif SPP yang naik lagi-naik lagi, kecurangan pemilu raya, kebersihan toilet, dan sebagainya), tapi di samping itu pers mahasiswa bisa saja mengangkat isu nasional -- dengan angle lokal.
Antara lain, misalnya seperti ini; rencana kampanye politik masuk kampus disikapi dengan mewawancara mahasiswa: apakah mereka setuju? Longsornya gunung sampah di Leuwigajah ditulis memperhatikan kenyataan sehari-hari: bagaimana dampaknya terhadap sampah di kampus kita? Bencana tsunami di Aceh: bagaimana nasib keluarga teman-teman kita yang berasal dari Aceh?
Saya yakin, media mahasiswa yang memperhatikan komunitasnya akan mampu bersaing dengan media umum. Sebab, faktor kedekatan emosional terbukti punya peranan penting. Ia dapat membuat pembaca merasa erat tak berjarak dengan medianya, yang berujung pada loyalitas.
Pers mahasiswa, jika cepat melakukan reposisi dan meningkatkan profesionalitas, masih dapat mendapatkan kembali masa gemilangnya. Saya pun lantas tak lagi ingin Soeharto tetap berkuasa. []
------
Suplemen Khusus Media Indonesia "Media Kampus" Edisi Jawa Barat
Senin, 11 April 2005
10 Komentar:
Setelah beberapa lama bekerja di lingkungan pers umum (baca: pers komersil) gua bisa bilang pers mahasiswa sebenarnya masih punya kelebihan lain. Pers mahasiswa belum terganggu dengan masalah akomodasi terhadap pemasang iklan.
Pers umum bisa saja galak dengan pemerintah, tapi coba tanya sikap mereka terhadap pemasang iklan :) Pasti mikir dua kali :)
Kalo kata gua, pengiklan tetap adalah dewa--baik bagi pers umum maupun pers mahasiswa. Tanpa ada duit iklan gimana bisa terbit.
Tapi kalo soal sikap ... Nah ini dia nih. Pemberitaan tentang Punclut aja bisa hilang digantikan iklan (di PR).
Itu sih baliknya ke mental orang. Biasanya kan begitu, saat kita mahasiswa kita masih puritan dan idealis. Tapi coba kalo udah lulus dan berkeluarga. Saatnya jadi bajingaaan! Hahahahaha.
ntar gua kaya gitu nggak ya?
ups kata siapa mbang itu cuman buas pers umum.. kesulitan mendapat uang bagi para persma membuat beberapa dari mereka menempuh jalan yang sama dengan pers umum, nyari iklan.. contohnya boulevard.
ya semoga itu ga sampai menggoyahkan pemberitaan kita ya mbang! tapi aneh aja kalo misalnya ada pemberitaan menghujat campus center misalnya, tapi mereka malah ngiklan di kita. Buah simalakama memang..
woohoo.. seru juga lo bisa dimuat di pr.. jadi ini ternyata yang aji bilang, kalo selain dia, lo jg nongol di pr... well, gue cuman mau ngomentarin gombang, emang ga bisa mbang ngelawan pengiklan.. tapi lihatlah kompas, dan koran tempo yang gosipnya juga mau ngurangin jumlah kolomnya.. nah, gue rasa di titik itu, pengiklan juga mau ga mau akan 'berkompromi' dengan media, dan 'diatur' secara tidak langsung : ) -d-
gucci outlet, nike air max, tory burch outlet, oakley sunglasses, prada handbags, ugg boots, louis vuitton, polo ralph lauren outlet, louis vuitton, kate spade outlet, prada outlet, cheap oakley sunglasses, louis vuitton outlet, louis vuitton outlet, oakley sunglasses, ray ban sunglasses, tiffany jewelry, replica watches, michael kors outlet, longchamp outlet, louboutin, burberry, burberry outlet online, michael kors, christian louboutin outlet, ray ban sunglasses, oakley sunglasses, replica watches, oakley sunglasses, tiffany and co, nike free, michael kors outlet, ugg boots, louboutin shoes, ugg boots, uggs on sale, longchamp outlet, nike outlet, louis vuitton, polo ralph lauren outlet, longchamp, michael kors outlet, michael kors outlet, louboutin outlet, nike air max, ugg boots, michael kors outlet
hermes, sac longchamp, new balance pas cher, kate spade handbags, north face, ray ban uk, nike blazer, burberry, nike roshe run, nike free, nike free run uk, oakley pas cher, true religion jeans, coach outlet, sac guess, air jordan pas cher, nike air max, true religion jeans, ralph lauren uk, air max, hollister pas cher, vans pas cher, ray ban pas cher, timberland, abercrombie and fitch, michael kors, tn pas cher, nike air max, converse pas cher, louboutin pas cher, michael kors, lacoste pas cher, mulberry, michael kors, air force, coach outlet, hollister, nike roshe, coach factory outlet, true religion jeans, nike air max, coach purses, lululemon, hogan, michael kors, north face, vanessa bruno, ralph lauren pas cher, true religion outlet, longchamp pas cher
herve leger, soccer jerseys, hollister, new balance, p90x workout, soccer shoes, reebok shoes, ferragamo shoes, valentino shoes, chi flat iron, beats by dre, converse, asics running shoes, jimmy choo shoes, ray ban, instyler, north face outlet, north face outlet, mac cosmetics, ralph lauren, ghd, abercrombie and fitch, nike trainers, longchamp, iphone 6 cases, timberland boots, louboutin, gucci, nike air max, bottega veneta, oakley, birkin bag, wedding dresses, converse outlet, celine handbags, lululemon, mont blanc, babyliss, insanity workout, mcm handbags, nike roshe, nfl jerseys, nike huarache, hollister, nike air max, vans, hollister, giuseppe zanotti, baseball bats, vans shoes
louis vuitton, toms shoes, moncler outlet, canada goose outlet, ugg,uggs,uggs canada, hollister, coach outlet, canada goose, moncler, doudoune canada goose, juicy couture outlet, michael kors handbags, sac louis vuitton pas cher, pandora charms, canada goose, swarovski, louis vuitton, louis vuitton, doke gabbana outlet, wedding dresses, pandora jewelry, ugg boots uk, moncler, juicy couture outlet, swarovski crystal, moncler, lancel, moncler, supra shoes, michael kors outlet, replica watches, louis vuitton, pandora jewelry, ugg,ugg australia,ugg italia, moncler, canada goose uk, thomas sabo, pandora charms, michael kors outlet online, ugg pas cher, marc jacobs, canada goose, moncler, montre pas cher, barbour, canada goose outlet, links of london, barbour jackets, karen millen, canada goose, moncler, bottes ugg
ferragamo outlet
tiffany and co
michael kors handbags
north face outlet
ugg boots
rolex watches
ralph lauren outlet
marc jacobs
coach outlet online
abercrombie and fitch
gucci,borse gucci,gucci sito ufficiale,gucci outlet
michael kors outlet
cyber monday 2015
michael kors handbags clearance
cheap jordans
swarovski crystal
uggs outlet
swarovski outlet
cheap ray ban sunglasses
ralph lauren outlet
basketball shoes,basketball sneakers,lebron james shoes,sports shoes,kobe bryant shoes,kobe sneakers,nike basketball shoes,running shoes,mens sport shoes,nike shoes
jianbin1219
cheap jordans
marc jacobs outlet
tods shoes,tods shoes sale,tods sale,tods outlet online,tods outlet store,tods factory outlet
kobe 9 elite
hollister shirts
hollister
instyler ionic styler,instyler,instyler ionic styler pro
babyliss outlet
converse sneakers
valentino shoes
salomon speedcross 3
ed hardy outlet
nike air foamposite one,foamposite,foamposites,foamposite release 2015,foamposite sneakers,foamposites for sale,foamposite gold
air jordan 4 free shipping
tommy hilfiger outlet
bottega veneta outlet online