Mitigasi Nabi Yusuf
Saturday, March 31, 2007
Di dalam penjara itu pemuda Yusuf ditanyai apa arti mimpi aneh Sang Raja. Tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi lain yang kurus. Juga nampak tujuh bulir gandum hijau dan tujuh bulir gandum kering. Apa jawab Yusuf?
"Akan datang masa subur selama tujuh tahun. Tapi setelah itu datang pula masa paceklik selama tujuh tahun."
Yusuf pun menyarankan Raja untuk bersiap-siap. Hasil panen raya saat masa subur, hendaknya disimpan untuk persediaan di masa paceklik. Kita tahu, saran ini terbukti manjur. Meski dilanda kekeringan, rakyat Mesir toh bebas dari kelaparan. Kebutuhan pangan tercukupi, malah mereka masih bisa menjualnya ke negara tetangga.
***
Ilmu manajemen bencana modern menguraikan tiga hal yang menjadi komponen kerugian akibat bencana. Kalau hendak menghitung-hitung seberapa besar kerugian yang akan timbul oleh suatu bencana, kita perlu terlebih dahulu mengenali tiga komponen ini.
Yang pertama adalah peluang sebuah kejadian mengundang bencana. Atau dalam bahasa Inggris, hazard.
Namanya juga peluang, tentu tidak/belum terlihat. Ambil contoh, Anda mengendarai motor tanpa pakai helm. Pada dasarnya itu sih tidak masalah. Bukan bencana. Tapi dalam sekejap akan berubah, ketika misalnya Anda terserempet mobil yang melaju kencang hingga Anda tersungkur di jalan. Itu baru bencana.
Anda boleh saja berdalih "saya berhati-hati kok kalau bawa motor". Tapi siapa yang bisa menjamin Anda nggak akan kepergok polisi yang sedang kejar setoran? Diperas polisi. Aduh, itu lebih bencana lagi bukan?
Kita memang bukan Nabi Yusuf yang bisa melihat hazard tujuh tahun mendatang. Tapi kita bisa kok mengenali berbagai potensi bencana yang mengancam.
Tidak pakai helm sewaktu naik motor. Tak pasang sabuk pengaman sewaktu di mobil. Merokok di pom bensin. Menebangi hutan-hutan (dengan membakarinya pula). Itu semua kegiatan yang mengundang bencana. Hazard.
Yang kedua adalah kerentanan (vulnerability). Seberapa rentan kita jika terkena bencana?
Hujan superderas selama tiga hari bisa langsung merendam Jakarta dan mengubahnya jadi Venesia. Tapi jumlah air yang sama juga turun di Bogor atau Depok -- dan dua kota ini tidak kena banjir separah Jakarta. Dengan kata lain, Jakarta lebih rentan banjir ketimbang Bogor dan Depok. Jakarta lebih berpotensi dan lebih tidak siap kena banjir.
Karena, bukan gempa bumi yang membuat korban berjatuhan. Bukan pula gunung meletus. Melainkan tertimpa rumah sendiri atau terkena lahar lah yang bikin orang meregang nyawa.
Membangun rumah tembok tanpa tulang besi. Kalau dihubungkan dengan gerakan berhemat barang material, ini bagus. Tapi kalau dihubungkan dengan kesiapan menghadapi gempa, ini sumpah jelek. Gempa sedikit, ya hancur semua. Atau berusaha memecahkan rekor MURI dengan membangun gunung sampah tertinggi di Indonesia. Itu sama juga menaikkan kerentanan sendiri. Sewaktu-waktu gunung sampah itu bisa longsor.
Yang terakhir, kemampuan/kesiapan menghadapi bencana (capacity). Ini kebalikan dari kerentanan tadi. Semakin tinggi capacity, semakin rendah vulnerability.
Anda yang bawa duit cukup untuk berdamai dengan polisi jahanam pasti akan lebih siap menghadapi bencana ketimbang mereka yang pas banget lagi bokek. Anda yang punya tabungan seketip-dua akan lebih siap menghadapi tagihan rumah sakit ketimbang mereka yang tidak. (Asuransi, terlepas halal-haramnya, bisa digolongkan ke dalam usaha meningkatkan capacity ini).
Gubernur yang lebih menitikberatkan pembangunan kanal banjir ketimbang kanal bus, akan membuat wilayahnya lebih mampu menghadapi banjir!
Menyimpan persediaan bahan pangan untuk masa paceklik, seperti yang disarankan Nabi Yusuf, sesungguhnya adalah ini. Meningkatkan capacity dan mengurangi vulnerability.
Selain menjadi orang paling ganteng sedunia, Nabi Yusuf rupanya berabad-abad lalu sudah menjadi pelopor "mitigasi bencana".
"Akan datang masa subur selama tujuh tahun. Tapi setelah itu datang pula masa paceklik selama tujuh tahun."
Yusuf pun menyarankan Raja untuk bersiap-siap. Hasil panen raya saat masa subur, hendaknya disimpan untuk persediaan di masa paceklik. Kita tahu, saran ini terbukti manjur. Meski dilanda kekeringan, rakyat Mesir toh bebas dari kelaparan. Kebutuhan pangan tercukupi, malah mereka masih bisa menjualnya ke negara tetangga.
***
Ilmu manajemen bencana modern menguraikan tiga hal yang menjadi komponen kerugian akibat bencana. Kalau hendak menghitung-hitung seberapa besar kerugian yang akan timbul oleh suatu bencana, kita perlu terlebih dahulu mengenali tiga komponen ini.
Yang pertama adalah peluang sebuah kejadian mengundang bencana. Atau dalam bahasa Inggris, hazard.
Namanya juga peluang, tentu tidak/belum terlihat. Ambil contoh, Anda mengendarai motor tanpa pakai helm. Pada dasarnya itu sih tidak masalah. Bukan bencana. Tapi dalam sekejap akan berubah, ketika misalnya Anda terserempet mobil yang melaju kencang hingga Anda tersungkur di jalan. Itu baru bencana.
Anda boleh saja berdalih "saya berhati-hati kok kalau bawa motor". Tapi siapa yang bisa menjamin Anda nggak akan kepergok polisi yang sedang kejar setoran? Diperas polisi. Aduh, itu lebih bencana lagi bukan?
Kita memang bukan Nabi Yusuf yang bisa melihat hazard tujuh tahun mendatang. Tapi kita bisa kok mengenali berbagai potensi bencana yang mengancam.
Tidak pakai helm sewaktu naik motor. Tak pasang sabuk pengaman sewaktu di mobil. Merokok di pom bensin. Menebangi hutan-hutan (dengan membakarinya pula). Itu semua kegiatan yang mengundang bencana. Hazard.
Yang kedua adalah kerentanan (vulnerability). Seberapa rentan kita jika terkena bencana?
Hujan superderas selama tiga hari bisa langsung merendam Jakarta dan mengubahnya jadi Venesia. Tapi jumlah air yang sama juga turun di Bogor atau Depok -- dan dua kota ini tidak kena banjir separah Jakarta. Dengan kata lain, Jakarta lebih rentan banjir ketimbang Bogor dan Depok. Jakarta lebih berpotensi dan lebih tidak siap kena banjir.
Karena, bukan gempa bumi yang membuat korban berjatuhan. Bukan pula gunung meletus. Melainkan tertimpa rumah sendiri atau terkena lahar lah yang bikin orang meregang nyawa.
Membangun rumah tembok tanpa tulang besi. Kalau dihubungkan dengan gerakan berhemat barang material, ini bagus. Tapi kalau dihubungkan dengan kesiapan menghadapi gempa, ini sumpah jelek. Gempa sedikit, ya hancur semua. Atau berusaha memecahkan rekor MURI dengan membangun gunung sampah tertinggi di Indonesia. Itu sama juga menaikkan kerentanan sendiri. Sewaktu-waktu gunung sampah itu bisa longsor.
Yang terakhir, kemampuan/kesiapan menghadapi bencana (capacity). Ini kebalikan dari kerentanan tadi. Semakin tinggi capacity, semakin rendah vulnerability.
Anda yang bawa duit cukup untuk berdamai dengan polisi jahanam pasti akan lebih siap menghadapi bencana ketimbang mereka yang pas banget lagi bokek. Anda yang punya tabungan seketip-dua akan lebih siap menghadapi tagihan rumah sakit ketimbang mereka yang tidak. (Asuransi, terlepas halal-haramnya, bisa digolongkan ke dalam usaha meningkatkan capacity ini).
Gubernur yang lebih menitikberatkan pembangunan kanal banjir ketimbang kanal bus, akan membuat wilayahnya lebih mampu menghadapi banjir!
Menyimpan persediaan bahan pangan untuk masa paceklik, seperti yang disarankan Nabi Yusuf, sesungguhnya adalah ini. Meningkatkan capacity dan mengurangi vulnerability.
Selain menjadi orang paling ganteng sedunia, Nabi Yusuf rupanya berabad-abad lalu sudah menjadi pelopor "mitigasi bencana".