Teknologi Informasi Kampus: Jurus Jitu Taklukkan Microsoft
Tuesday, February 27, 2007
Oleh Ikram Putra dan Zulfi Rahardian
Salah satu butir yang dipersoalkan banyak orang dari nota kesepahaman antara Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dan Presiden Microsoft Asia Tenggara Chris Atkinson 14 November tahun silam ialah nilai transaksinya yang hampir mencapai Rp 378 miliar.
Uang ratusan milyar ini, menurut rencana, akan dibelanjakan untuk membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 177.480 unit Microsoft Office bagi komputer di lingkungan pemerintahan, yang selama ini terlanjur memakai Windows dan Office tanpa lisensi alias bajakan. Sejumlah kalangan menilai, nilai nominal yang harus dibayar ke Microsoft itu sangat mahal.
Baiklah, nasi sudah jadi bubur. Nota kesepahaman sudah diteken, tidak elok jika salah satu pihak mundur. Tapi ceritanya mungkin akan berbeda kalau saja Sofyan Djalil sempat belajar soal negosiasi kepada Basuki Suhardiman, kepala Unit Sumber Daya Informasi Institut Teknologi Bandung.
Pada 2003, Basuki berunding dengan Microsoft Indonesia untuk membikin Campus Agreement soal pembelian lisensi Microsoft bagi komputer di lingkungan ITB yang juga terlanjur tanpa lisensi alias bajakan. "Supaya kita legal," katanya. Sebagai institusi pendidikan, tentu tidak lucu jika ITB masih memakai peranti lunak bajakan.
Anggota tim Teknologi Informasi pada Komisi Pemilihan Umum 2004 ini menjelaskan, ada perbedaan keunggulan antara sistem operasi open source dan proprietary (tertutup, dalam hal ini Microsoft). Jika open source terkenal prima untuk jaringan dan server, proprietary jagoan untuk desktop -- setidaknya sampai sekarang.
"ITB itu pada dasarnya tidak menutup diri pada hanya satu sistem operasi saja," kata Basuki. "Memangnya jaringan ITB, sebesar ini, pakai sistem operasi apa? Ya, pakai open source. Tapi di sisi lain. Sudah coba Office 2007? Kita dikirimi tuh. Edan. Semua orang juga sepakat kalau itu edan. Memang unggulnya Microsoft di situ. Kalau di server, mereka kalah sama open source," katanya lagi.
Affan Basalamah, rekan Basuki, membenarkan. Dia bilang, hanya untuk membaca manual Microsoft Exchange Server saja dirinya memerlukan waktu berjam-jam. "Jauh lebih mudah kalau saya pakai open source."
"Jadi ini soal pilihan," kata Basuki menyambung. "Bagaimana kita menyiasati keadaan, supaya semua pihak untung. Dengan agreement begini, mahasiswa bisa belajar seperti apa sistem kerja Microsoft. Semuanya mereka kasih. Office 2007. Nanti kalau Vista sudah stabil, kita juga dikirimi."
Dalam pandangan Basuki, yang penting bukanlah siapa pakai sistem operasi apa, tapi bagaimana supaya antarpengguna sistem yang berbeda-beda bisa saling berkolaborasi.
Untuk semua itu, berapa duit mesti dibayar ITB setiap tahun? Basuki menyebut bilangan di bawah US$ 50 ribu. Tapi dia melarang kami menuliskan jumlah persisnya. Jangan bilang-bilang. "Ini kesepakatan dengan mereka. Kita dilarang memberi tahu nilai transaksinya."
Ini masih jauh lebih murah daripada kesepakatan Sofyan Djalil. Tapi tak urung membuat kami bertanya-tanya, apakah setiap perjanjian dengan Microsoft selalu ada kesepakatan tutup mulut?
------
Suplemen Media Indonesia, "Rostrum".
Selasa, 27 Februari 2007
Salah satu butir yang dipersoalkan banyak orang dari nota kesepahaman antara Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dan Presiden Microsoft Asia Tenggara Chris Atkinson 14 November tahun silam ialah nilai transaksinya yang hampir mencapai Rp 378 miliar.
Uang ratusan milyar ini, menurut rencana, akan dibelanjakan untuk membeli lisensi 35.496 unit Microsoft Windows dan 177.480 unit Microsoft Office bagi komputer di lingkungan pemerintahan, yang selama ini terlanjur memakai Windows dan Office tanpa lisensi alias bajakan. Sejumlah kalangan menilai, nilai nominal yang harus dibayar ke Microsoft itu sangat mahal.
Baiklah, nasi sudah jadi bubur. Nota kesepahaman sudah diteken, tidak elok jika salah satu pihak mundur. Tapi ceritanya mungkin akan berbeda kalau saja Sofyan Djalil sempat belajar soal negosiasi kepada Basuki Suhardiman, kepala Unit Sumber Daya Informasi Institut Teknologi Bandung.
Pada 2003, Basuki berunding dengan Microsoft Indonesia untuk membikin Campus Agreement soal pembelian lisensi Microsoft bagi komputer di lingkungan ITB yang juga terlanjur tanpa lisensi alias bajakan. "Supaya kita legal," katanya. Sebagai institusi pendidikan, tentu tidak lucu jika ITB masih memakai peranti lunak bajakan.
Anggota tim Teknologi Informasi pada Komisi Pemilihan Umum 2004 ini menjelaskan, ada perbedaan keunggulan antara sistem operasi open source dan proprietary (tertutup, dalam hal ini Microsoft). Jika open source terkenal prima untuk jaringan dan server, proprietary jagoan untuk desktop -- setidaknya sampai sekarang.
"ITB itu pada dasarnya tidak menutup diri pada hanya satu sistem operasi saja," kata Basuki. "Memangnya jaringan ITB, sebesar ini, pakai sistem operasi apa? Ya, pakai open source. Tapi di sisi lain. Sudah coba Office 2007? Kita dikirimi tuh. Edan. Semua orang juga sepakat kalau itu edan. Memang unggulnya Microsoft di situ. Kalau di server, mereka kalah sama open source," katanya lagi.
Affan Basalamah, rekan Basuki, membenarkan. Dia bilang, hanya untuk membaca manual Microsoft Exchange Server saja dirinya memerlukan waktu berjam-jam. "Jauh lebih mudah kalau saya pakai open source."
"Jadi ini soal pilihan," kata Basuki menyambung. "Bagaimana kita menyiasati keadaan, supaya semua pihak untung. Dengan agreement begini, mahasiswa bisa belajar seperti apa sistem kerja Microsoft. Semuanya mereka kasih. Office 2007. Nanti kalau Vista sudah stabil, kita juga dikirimi."
Dalam pandangan Basuki, yang penting bukanlah siapa pakai sistem operasi apa, tapi bagaimana supaya antarpengguna sistem yang berbeda-beda bisa saling berkolaborasi.
Untuk semua itu, berapa duit mesti dibayar ITB setiap tahun? Basuki menyebut bilangan di bawah US$ 50 ribu. Tapi dia melarang kami menuliskan jumlah persisnya. Jangan bilang-bilang. "Ini kesepakatan dengan mereka. Kita dilarang memberi tahu nilai transaksinya."
Ini masih jauh lebih murah daripada kesepakatan Sofyan Djalil. Tapi tak urung membuat kami bertanya-tanya, apakah setiap perjanjian dengan Microsoft selalu ada kesepakatan tutup mulut?
------
Suplemen Media Indonesia, "Rostrum".
Selasa, 27 Februari 2007