Cut Memey dan Bakso Tikus
Sunday, January 22, 2006
Saya angkat piring makan saya dan berjalan menuju ruang tamu, berharap menemukan sesuatu buat dibaca sambil makan. Tak ada orang di rumah siang itu. Daripada kesepian kan mendingan saya berlama-lama makan sambil baca. Katanya bagus buat pencernaan, sebab dengan demikian makanan jadi dikunyah sampai halus.
Saya tarik satu edisi tabloid mingguan Nova dari tumpukan koran. Entah edisi berapa. Topik utamanya soal artis Cut Memey yang dituduh merebut suami orang menggunakan ilmu pengasih. Aduh, makan siang yang sempurna betul. Nasi putih ikan goreng sambal terasi plus... satu eksemplar tabloid bacaan ibu-ibu rumah tangga.
Biasalah Nova, isinya head-to-head. Dibuka dengan pembelaan diri Memey, disambung dengan pengakuan Jackson juga wawancara dengan istri Jackson. Memey bilang, dia tak mungkin "morotin" (membangkrutkan) Jackson. Kalaupun benar, jumlahnya terlalu kecil buat dia -- Rp 1.5 Miliar dalam empat tahun. Sementara itu, Jackson meminta Memey mengakui telah menggunakan ilmu pengasih. Ini, katanya, akan memulihkan keberadaan Jackson di lingkungan terdekatnya. (Mungkin buat semacam pembelaan diri. "Tuh kan, gimana gua nggak kepincut coba? Orang gua dipelet!")
Apapun, buat saya isunya nggak menarik. Rebut-rebutan suami orang mah sudah sering dengar. Rebutan anak juga. Rebutan yang lain kenapa?
Soal sengketa dan perseteruan yang membawa-bawa pengacara juga cuma memilukan hati saya. Kalau saja bisa meramalkan kondisi sekarang, dimana artis banyak bersimbiosis dengan pengacara, tentu saya sudah beli formulir IPS dan pilih Hukum UI.
Sebelum saya hendak melipat kembali tabloid ini dan menukarnya dengan Kompas, saya menemukan sesuatu yang menarik: sebuah surat pembaca yang dikirim lewat pesan pendek.
Jika seorang tukang bakso memutuskan hendak mencampurkan daging apapun ke dalam adonannya, maka biarkanlah. Saya kira itu hak prerogatifnya sebagai koki: menentukan bahan baku. Terserah apakah itu daging tikus, kucing, atau babi. Pernah pada suatu malam di Bogor kami berkeliling mencari makan malam. Di kanan jalan, saya melihat sebuah warung seperti warung sate -- ada pembakaran di sebelahnya. Tapi di sana sepi sekali. Penasaran, kami mendekati warung itu, hendak membaca spanduknya.
Spanduknya warna hijau muda. Tulisannya dua kata saja: SATE BABI.
Saya langsung menyumpah-nyumpah. Mengapa dari sekian banyak kesempatan, saya mesti bertemu tukang jualan sate babi ketika saya sudah membayangkan nikmatnya sepiring sate kambing? Tapi nggak lama kemudian ya sudah. Bagaimanapun, penjual yang jujur seperti itu mesti dihargai. Dia menulis apa adanya tentang barang jualannya. Yang berminat silakan datang, yang nggak mau silakan hengkang.
Jadi, alangkah baiknya jika mulai sekarang pedagang bakso tikus itu terang-terangan saja kepada konsumen bahwa mereka menggunakan "resep rahasia". Siapa tahu dampaknya malah bagus. Orang akan jadi punya pilihan baru bila hendak menyantap bakso. Ada bakso sapi, bakso ikan, bakso tahu, bakso urat, bakso bola tenis, bakso dengan gajih, dan pendatang baru... bakso tikus.
Bukankah sudah terkenal bahwa di Indonesia ini apapun dimakan?
Nanti jika restoran bakso tikus itu sudah ramai didatangi orang (dan buka cabang di mana-mana, dengan sistem waralaba pula) tim redaksi Trans TV bisa meliput sekali lagi ke sana. Tapi kali ini mereka bisa bebas merekam dan menayangkan apa adanya, tak butuh model buat reka-ulang.
Eh ngomong-ngomong, saya sudah selesai makan dari tadi. Sekarang tinggal cuci piring dan tidur siang, biar gemuk :)
Saya tarik satu edisi tabloid mingguan Nova dari tumpukan koran. Entah edisi berapa. Topik utamanya soal artis Cut Memey yang dituduh merebut suami orang menggunakan ilmu pengasih. Aduh, makan siang yang sempurna betul. Nasi putih ikan goreng sambal terasi plus... satu eksemplar tabloid bacaan ibu-ibu rumah tangga.
Biasalah Nova, isinya head-to-head. Dibuka dengan pembelaan diri Memey, disambung dengan pengakuan Jackson juga wawancara dengan istri Jackson. Memey bilang, dia tak mungkin "morotin" (membangkrutkan) Jackson. Kalaupun benar, jumlahnya terlalu kecil buat dia -- Rp 1.5 Miliar dalam empat tahun. Sementara itu, Jackson meminta Memey mengakui telah menggunakan ilmu pengasih. Ini, katanya, akan memulihkan keberadaan Jackson di lingkungan terdekatnya. (Mungkin buat semacam pembelaan diri. "Tuh kan, gimana gua nggak kepincut coba? Orang gua dipelet!")
Apapun, buat saya isunya nggak menarik. Rebut-rebutan suami orang mah sudah sering dengar. Rebutan anak juga. Rebutan yang lain kenapa?
Soal sengketa dan perseteruan yang membawa-bawa pengacara juga cuma memilukan hati saya. Kalau saja bisa meramalkan kondisi sekarang, dimana artis banyak bersimbiosis dengan pengacara, tentu saya sudah beli formulir IPS dan pilih Hukum UI.
Sebelum saya hendak melipat kembali tabloid ini dan menukarnya dengan Kompas, saya menemukan sesuatu yang menarik: sebuah surat pembaca yang dikirim lewat pesan pendek.
NOV. Tolong sampaikan ke Trans TV. Jangan terus-terusan menayangkan bakso tikus. Kasian tuh tukang bakso yang enggak pakai daging tikus jadi kena getahnya alias tidak laku.***
-Wiwin (0812209xxxx), Bandung
Jika seorang tukang bakso memutuskan hendak mencampurkan daging apapun ke dalam adonannya, maka biarkanlah. Saya kira itu hak prerogatifnya sebagai koki: menentukan bahan baku. Terserah apakah itu daging tikus, kucing, atau babi. Pernah pada suatu malam di Bogor kami berkeliling mencari makan malam. Di kanan jalan, saya melihat sebuah warung seperti warung sate -- ada pembakaran di sebelahnya. Tapi di sana sepi sekali. Penasaran, kami mendekati warung itu, hendak membaca spanduknya.
Spanduknya warna hijau muda. Tulisannya dua kata saja: SATE BABI.
Saya langsung menyumpah-nyumpah. Mengapa dari sekian banyak kesempatan, saya mesti bertemu tukang jualan sate babi ketika saya sudah membayangkan nikmatnya sepiring sate kambing? Tapi nggak lama kemudian ya sudah. Bagaimanapun, penjual yang jujur seperti itu mesti dihargai. Dia menulis apa adanya tentang barang jualannya. Yang berminat silakan datang, yang nggak mau silakan hengkang.
Jadi, alangkah baiknya jika mulai sekarang pedagang bakso tikus itu terang-terangan saja kepada konsumen bahwa mereka menggunakan "resep rahasia". Siapa tahu dampaknya malah bagus. Orang akan jadi punya pilihan baru bila hendak menyantap bakso. Ada bakso sapi, bakso ikan, bakso tahu, bakso urat, bakso bola tenis, bakso dengan gajih, dan pendatang baru... bakso tikus.
Bukankah sudah terkenal bahwa di Indonesia ini apapun dimakan?
Nanti jika restoran bakso tikus itu sudah ramai didatangi orang (dan buka cabang di mana-mana, dengan sistem waralaba pula) tim redaksi Trans TV bisa meliput sekali lagi ke sana. Tapi kali ini mereka bisa bebas merekam dan menayangkan apa adanya, tak butuh model buat reka-ulang.
Eh ngomong-ngomong, saya sudah selesai makan dari tadi. Sekarang tinggal cuci piring dan tidur siang, biar gemuk :)