Ikram Putra
Mahasiswa Oseanografi ITB, mantan Pemimpin Redaksi Boulevard ITBPers mahasiswa sungguh sesuatu yang unik. Ia pernah bergandengan tangan dengan gerakan mahasiswa; menjadi media komunikasi politik mereka, saat kontrol dan represi rezim Orde Baru terhadap media umum dirasa sangat kuat. Ini yang disinggung M Fadjroel Rahman di buku
Pers Dalam 'Revolusi' Mei, tahun 2000.
Sementara pers umum takut atas ancaman diberangus, pers mahasiswa tampil menjadi corong perjuangan. Ia menyajikan berita-berita alternatif. Kritis dan berani, tanpa takut ditutup -- karena ia memang tak butuh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini menjadi semacam kelebihan yang dimilikinya. Jika hari ini sebuah media mahasiswa tutup (atau dipaksa tutup), maka besok hari ia sudah bisa terbit lagi, dengan hanya berganti nama.
Pemberitaannya pun khas anak muda. Ia mengusung isu-isu yang sangat sulit diangkat media
mainstream zaman itu. Sesuatu yang bagi pembaca tak bisa didapat di luaran. Bahasanya lugas dan pedas. Lugas, tanpa mesti repot menyembunyikan kenyataan dengan eufemisme bahasa. Pedas, tanpa mesti takut menyinggung perasaan pemerintah.
Namun, sejak Mei 1998, masa-masa kejayaan itu telah lewat. Hari-hari yang diceritakan Rum Aly, pemimpin redaksi (mendiang)
Mahasiswa Indonesia itu, dalam sebuah acara di kampus saya, kini tinggal sejarah. Dengan begini, saya sulit menilai kejatuhan Soeharto sebagai berkah ataukah bencana bagi pers mahasiswa.
Soeharto, sang penguasa Orde Baru yang nikmat bertahta selama 32 tahun itu, resmi terjungkal pada 21 Mei 1998. Itu memang kemenangan gerakan mahasiswa, yang meski ditekan dengan NKK/BKK, tetap bisa bertahan dan menuntut Soeharto turun. Ribuan, mereka menduduki gedung MPR/DPR.
Kemenangan ini berarti pula keberhasilan pers mahasiswa, karena mereka berdua selama ini kawan karib. Pers mahasiswa, sedikit banyak, ikut berjasa dalam menularkan pandangan politik dan menyuarakan bukti kebusukan rezim.
Namun, di sisi lain, sejak kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa menjalani hari-hari suramnya. Ia semacam kehilangan gigi karena media umum sekarang sudah punya 'gigi'. Pers mahasiswa kehilangan sesuatu yang menjadi nilai-lebihnya selama ini. Tak ada yang istimewa lagi darinya.
Soalnya, sekarang tak perlu ada lagi media mahasiswa untuk kita bisa membaca kritik pedas terhadap pemerintah. Kini, media
mainstream sudah boleh menulis besar-besar judul yang pedas. Apa yang tadinya hanya bisa dinikmati di media mahasiswa, kini bisa dibaca di media umum.
Soal mutu liputan pun, media mahasiswa cenderung kalah dengan media umum. Media umum punya sumber daya yang wajar dan meliput dengan metode lebih lengkap, sehingga akurasi fakta yang ditampilkan jauh lebih baik. Mereka juga punya modal, tidak seperti pers mahasiswa yang kondisi keuangannya pas-pasan.
Melihat kenyataan menyedihkan ini, saya jadi ingin Soeharto tetap berkuasa. Dengan begitu, pers mahasiswa tetap dilirik orang.
Tapi, Soeharto kan tak mungkin berkuasa lagi. Lantas bagaimana?
Saya berpendapat pers mahasiswa sebaiknya merasa dirinya sebagai 'pers betulan', bukannya 'pers yang mahasiswa'. Sebagai ciri khas dan nilai lebih, pers mahasiswa mesti menjelma menjadi koran komunitas. Ia melayani warga di komunitasnya sendiri, dengan menyajikan informasi yang mereka butuhkan. Ia, meminjam kata-kata Andreas Harsono (wartawan
Pantau),
down to earth terhadap masalah kampus.
Media tempat saya bergabung,
Boulevard ITB, pun melakukan hal itu -meski saya tak tahu sejak kapan. Kami tetap menaati elemen 'jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan' -- sebagaimana dirangkum Bill Kovach dalam
The Elements of Journalism, 2001 -- namun dalam lingkup yang lebih kecil; penyelenggaraan pemerintahan di kampus. Kami berupaya menjadi anjing penjaga terhadap kebijakan yang dihasilkan baik rektorat maupun mahasiswa.
Tapi, bukan lantas pers mahasiswa meliput soal kampus melulu. Masalah kampus memang dijadikan fokus utama (seperti transparansi keuangan rektorat, tarif SPP yang naik lagi-naik lagi, kecurangan pemilu raya, kebersihan toilet, dan sebagainya), tapi di samping itu pers mahasiswa bisa saja mengangkat isu nasional -- dengan
angle lokal.
Antara lain, misalnya seperti ini; rencana kampanye politik masuk kampus disikapi dengan mewawancara mahasiswa: apakah mereka setuju? Longsornya gunung sampah di Leuwigajah ditulis memperhatikan kenyataan sehari-hari: bagaimana dampaknya terhadap sampah di kampus kita? Bencana tsunami di Aceh: bagaimana nasib keluarga teman-teman kita yang berasal dari Aceh?
Saya yakin, media mahasiswa yang memperhatikan komunitasnya akan mampu bersaing dengan media umum. Sebab, faktor kedekatan emosional terbukti punya peranan penting. Ia dapat membuat pembaca merasa erat tak berjarak dengan medianya, yang berujung pada loyalitas.
Pers mahasiswa, jika cepat melakukan reposisi dan meningkatkan profesionalitas, masih dapat mendapatkan kembali masa gemilangnya. Saya pun lantas tak lagi ingin Soeharto tetap berkuasa. []
------
Suplemen Khusus Media Indonesia "Media Kampus" Edisi Jawa Barat
Senin, 11 April 2005