Di dalam angkutan kota yang tengah terjebak macet itu hanya ada tiga penumpang: seorang pemuda berkacamata yang duduk terkantuk-kantuk di belakang supir, serta dua pelajar SMA yang duduk dekat pintu dan mengobrol sepanjang perjalanan.
Entah karena merasa bosan, mulutnya asam, atau obrolan kurang nikmat tanpa rokok, mereka pun memanggil seorang pedagang asongan yang melintas. “Bang!”
“Rokok Bang! Super sebatang,” kata pelajar A. “Lu apa?” tanyanya kemudian pada pelajar B.
“Filter.”
(“Super” maksudnya Djarum Super, dan “filter” Gudang Garam International)
Pemuda berkacamata, di tengah usahanya untuk tidak tertidur, menyaksikan dua batang rokok berpindah tangan — ditukar dengan dua lembar ribuan.
Dua pelajar SMA kembali melanjutkan obrolan mereka: Soal pertandingan sepakbola antarkelas, siapa yang akan berhasil memasukkan gol paling banyak, hingga ke arena bermain PS3 yang baru buka dan lain-lain.
Mereka mengepit rokok di antara jari tengah dan telunjuk. Ditempelkan ke ujung bibir dan “ces!” dinyalakan.
Pelajar A menarik asap dalam-dalam, seolah memastikan rongga paru-parunya mendapat suntikan nikotin seketika. Tapi dua detik kemudian, dia bergumam sambil memperhatikan rokoknya. “Wah, bego nih abang. Gua minta Super malah dikasih Filter.”
Pelajar B menyahut cepat. “Iya, nih, rokok gua juga salah. Bukannya Filter malah Super.”
Pemuda berkacamata, masih di tengah usahanya untuk tak tertidur, menyaksikan dua wajah pelajar SMA setengah kesal karena rokok yang mereka hisap tak sesuai pesanan.
Sambil berusaha menahan senyum, si pemuda berkacamata berpikir apakah sebaiknya dia memberitahu dua pelajar SMA itu bahwa si abang asongan tidak salah apa-apa (dia sudah benar, memberi sebatang Filter dan Super).
Yang dodol itu justru mereka — membakar rokok tanpa lihat-lihat dulu.
Dalam hati, pemuda berkacamata mulai khawatir kalau-kalau terlalu banyak nikotin dapat menurunkan kadar kecerdasan otak. Tapi pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh.