Rindu Kongres yang Bertenaga
Tuesday, March 28, 2006
Teruntuk Trian dan Beni
Boni Hargens adalah seorang pengajar pada Departemen Ilmu Politik UI. Di Kompas edisi 23 Maret 2006, Boni menulis opini yang berjudul "Wakil Rakyat, Manusia Setengah Dewa?". Dia menyoroti banyaknya aksi unjuk rasa belakangan ini. Ada empat masalah dalam sistem perwakilan politik kita sehingga masyarakat tidak lagi menyalurkan aspirasinya melalui sistem dan lebih memilih aksi jalanan, unjuk rasa.
Yang pertama adalah, adanya tendensi bahwa menjadi wakil rakyat adalah sesuatu yang istimewa. Keren. Hebat. Dahsyat. Makanya mesti ada batas dan jarak antara rakyat dan wakilnya (terutama jarak penghasilan, hehe).
Kedua, kebingungan para wakil rakyat akan apa sebenarnya tugas dan peran yang harus dijalankan. Banyak yang nggak tahu mesti berbuat apa. Dari itu kita, kata Boni, memerlukan wakil terdidik yang mampu bernalar dan berempati.
Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara rakyat dan wakilnya. Ini wajar saja, mengingat antara rakyat dan wakilnya belum tentu saling kenal. Kita belum tentu kenal siapa yang kita pilih; begitupun mereka juga belum tentu kenal siapa yang pilih mereka. Terimakasih kepada yang namanya politik uang, panggung dangdut, kaos sablonan, dan Indomie.
Keempat, masih terlalu kakunya hubungan wakil rakyat dengan partai politiknya. Partai menganggap si wakil sebagai miliknya, sementara si wakil mesti membalas budi sebab namanya sudah dipasang di nomor urut kecil. Suka tidak suka, dia mesti menyenangkan organisasi. Fraksi partai, yang semula dimaksudkan untuk koordinasi anggota partai di parlemen, malah menjadi kekuatan pengontrol supaya kepentingan partai terlaksana.
Pada gilirannya, wakil rakyat menjadi mandul. Dan rakyat yang tidak tahan memikul beban, akhirnya turun ke jalan dan membentuk parlemen jalanan. Menjadi wakil bagi dirinya sendiri, meski dengan resiko tidak sedikit.
***
Entah ya, saya kira masalah pada sistem perwakilan politik terjadi juga di kampus ini.
Di sini sering mahasiswa menyalurkan aspirasinya dengan cara-cara di luar sistem, untuk masalah-masalah krusial pula. Forum-forum lapangan basket, forum silaturahmi, dan entah apa lagi. Padahal kami sudah punya Kongres sebagai perwujudan keterwakilan politik yang formal. Memang Kongres belum bisa dibilang representatif seutuhnya (belum ada perwakilan unit mahasiswa di sana) tapi ini juga kesalahan kami -- mengapa tak upayakan supaya jadi representatif seutuhnya?
Ini malah ribut-ribut amandemen AD/ART supaya anak TPB bisa nyoblos.
Belum lagi ditambah adanya himpunan-himpunan yang tak mengirim senator ke Kongres. Alasannya macam-macam. Padahal nanti kalau terjadi polemik terhadap suatu masalah, dapat dipastikan himpunan macam inilah yang pertama kali bikin repot. Mesti ada forum khusus buat mendengar aspirasi mereka. Kami mesti kumpul akbar. Rapat akbar. Dan celakanya pada setiap forum, hampir setengah waktunya habis cuma buat merumuskan tata cara forum serta menentukan legalitas forum itu sendiri. Hah.
Dan himpunan yang mengirim senator pun, bukan lantas bebas penyakit. Terkadang bila bicara soal Kongres, mereka suka lupa diri menganggap Kongres sebagai "orang lain". Padahal mereka punya wakil, yang adalah anggotanya sendiri, di situ. Mengapa tak panggil sang senator, titipkan agenda, dan biarkan senator itu membahasnya bersama senator lain?
Memangnya saat seorang anggota himpunan menjadi senator, dia menjadi berjarak dan berbatas terhadap himpunannya sendiri?
Oh hampir lupa, ada persoalan lain. Kongres dianggap "senada" dengan Kabinet. Hubungan antara keduanya sama seperti hubungan MPK - OSIS pas zaman kita SMA dulu: akur-akur sajalah. Maaf saja, ini kemudian bikin kami tak lagi percaya bahwa Kongres akan mengawasi Kabinet dengan benar. Sekali lagi, mohon maaf kepada senator yang sudah bekerja sungguh-sungguh.
Sewaktu Presiden Muhammad Syaiful Anam dan Menteri Sosial Politik Wiyono pergi ikut demonstrasi PKS untuk Hari Buruh mengenakan jaket almamater: apa kata Kongres?
Sewaktu Presiden yang sama ikut rapat bersama tim sukses Dwi Arianto Nugroho (yang notulensinya ditemukan Hendra Jaya kemudian menyebarluas): apa kata Kongres?
Sewaktu seorang mahasiswa ITB bernama Oki ditangkap saat demonstrasi menentang kenaikan TDL, pertengahan Februari lalu: apa kata Kongres?
Kami belum mendengar penjelasan resmi dari Kongres tentang itu semua. Kalau ternyata memang ada tapi sosialisasinya kurang, maka malah jelas sekarang siapa yang lebih butuh Infokus dan Soul of Campus: Kongres. Bukan Kabinet. Mari kita bikin "jurnalisme khas ITB" (kalau memang ada, hahah) sebagai jurnalisme dalam bentuknya yang paling awal, yakni mengabarkan hasil rapat Kongres -- seperti zaman Romawi dulu.
Kata orang, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Kekuasaan yang mutlak cenderung menyeleweng secara mutlak pula. Maka itulah ada mekanisme check and balance. Kalau saja Kongres menjelma menjadi pengawas Kabinet, maka kita tak akan bermasalah dengan siapa Presiden KM. Apakah dia dari depan, belakang, samping, hantu_blau, tak soal buat kita. Sebab ada pengawasan.
Ah, silang-sengkarut alias benang kusut ini semestinyalah segera diurai. Kalau terlalu lama dibiarkan, apa tak lebih baik digunting saja?
Boni Hargens adalah seorang pengajar pada Departemen Ilmu Politik UI. Di Kompas edisi 23 Maret 2006, Boni menulis opini yang berjudul "Wakil Rakyat, Manusia Setengah Dewa?". Dia menyoroti banyaknya aksi unjuk rasa belakangan ini. Ada empat masalah dalam sistem perwakilan politik kita sehingga masyarakat tidak lagi menyalurkan aspirasinya melalui sistem dan lebih memilih aksi jalanan, unjuk rasa.
Yang pertama adalah, adanya tendensi bahwa menjadi wakil rakyat adalah sesuatu yang istimewa. Keren. Hebat. Dahsyat. Makanya mesti ada batas dan jarak antara rakyat dan wakilnya (terutama jarak penghasilan, hehe).
Kedua, kebingungan para wakil rakyat akan apa sebenarnya tugas dan peran yang harus dijalankan. Banyak yang nggak tahu mesti berbuat apa. Dari itu kita, kata Boni, memerlukan wakil terdidik yang mampu bernalar dan berempati.
Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara rakyat dan wakilnya. Ini wajar saja, mengingat antara rakyat dan wakilnya belum tentu saling kenal. Kita belum tentu kenal siapa yang kita pilih; begitupun mereka juga belum tentu kenal siapa yang pilih mereka. Terimakasih kepada yang namanya politik uang, panggung dangdut, kaos sablonan, dan Indomie.
Keempat, masih terlalu kakunya hubungan wakil rakyat dengan partai politiknya. Partai menganggap si wakil sebagai miliknya, sementara si wakil mesti membalas budi sebab namanya sudah dipasang di nomor urut kecil. Suka tidak suka, dia mesti menyenangkan organisasi. Fraksi partai, yang semula dimaksudkan untuk koordinasi anggota partai di parlemen, malah menjadi kekuatan pengontrol supaya kepentingan partai terlaksana.
Pada gilirannya, wakil rakyat menjadi mandul. Dan rakyat yang tidak tahan memikul beban, akhirnya turun ke jalan dan membentuk parlemen jalanan. Menjadi wakil bagi dirinya sendiri, meski dengan resiko tidak sedikit.
***
Entah ya, saya kira masalah pada sistem perwakilan politik terjadi juga di kampus ini.
Di sini sering mahasiswa menyalurkan aspirasinya dengan cara-cara di luar sistem, untuk masalah-masalah krusial pula. Forum-forum lapangan basket, forum silaturahmi, dan entah apa lagi. Padahal kami sudah punya Kongres sebagai perwujudan keterwakilan politik yang formal. Memang Kongres belum bisa dibilang representatif seutuhnya (belum ada perwakilan unit mahasiswa di sana) tapi ini juga kesalahan kami -- mengapa tak upayakan supaya jadi representatif seutuhnya?
Ini malah ribut-ribut amandemen AD/ART supaya anak TPB bisa nyoblos.
Belum lagi ditambah adanya himpunan-himpunan yang tak mengirim senator ke Kongres. Alasannya macam-macam. Padahal nanti kalau terjadi polemik terhadap suatu masalah, dapat dipastikan himpunan macam inilah yang pertama kali bikin repot. Mesti ada forum khusus buat mendengar aspirasi mereka. Kami mesti kumpul akbar. Rapat akbar. Dan celakanya pada setiap forum, hampir setengah waktunya habis cuma buat merumuskan tata cara forum serta menentukan legalitas forum itu sendiri. Hah.
Dan himpunan yang mengirim senator pun, bukan lantas bebas penyakit. Terkadang bila bicara soal Kongres, mereka suka lupa diri menganggap Kongres sebagai "orang lain". Padahal mereka punya wakil, yang adalah anggotanya sendiri, di situ. Mengapa tak panggil sang senator, titipkan agenda, dan biarkan senator itu membahasnya bersama senator lain?
Memangnya saat seorang anggota himpunan menjadi senator, dia menjadi berjarak dan berbatas terhadap himpunannya sendiri?
Oh hampir lupa, ada persoalan lain. Kongres dianggap "senada" dengan Kabinet. Hubungan antara keduanya sama seperti hubungan MPK - OSIS pas zaman kita SMA dulu: akur-akur sajalah. Maaf saja, ini kemudian bikin kami tak lagi percaya bahwa Kongres akan mengawasi Kabinet dengan benar. Sekali lagi, mohon maaf kepada senator yang sudah bekerja sungguh-sungguh.
Sewaktu Presiden Muhammad Syaiful Anam dan Menteri Sosial Politik Wiyono pergi ikut demonstrasi PKS untuk Hari Buruh mengenakan jaket almamater: apa kata Kongres?
Sewaktu Presiden yang sama ikut rapat bersama tim sukses Dwi Arianto Nugroho (yang notulensinya ditemukan Hendra Jaya kemudian menyebarluas): apa kata Kongres?
Sewaktu seorang mahasiswa ITB bernama Oki ditangkap saat demonstrasi menentang kenaikan TDL, pertengahan Februari lalu: apa kata Kongres?
Kami belum mendengar penjelasan resmi dari Kongres tentang itu semua. Kalau ternyata memang ada tapi sosialisasinya kurang, maka malah jelas sekarang siapa yang lebih butuh Infokus dan Soul of Campus: Kongres. Bukan Kabinet. Mari kita bikin "jurnalisme khas ITB" (kalau memang ada, hahah) sebagai jurnalisme dalam bentuknya yang paling awal, yakni mengabarkan hasil rapat Kongres -- seperti zaman Romawi dulu.
Kata orang, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Kekuasaan yang mutlak cenderung menyeleweng secara mutlak pula. Maka itulah ada mekanisme check and balance. Kalau saja Kongres menjelma menjadi pengawas Kabinet, maka kita tak akan bermasalah dengan siapa Presiden KM. Apakah dia dari depan, belakang, samping, hantu_blau, tak soal buat kita. Sebab ada pengawasan.
Ah, silang-sengkarut alias benang kusut ini semestinyalah segera diurai. Kalau terlalu lama dibiarkan, apa tak lebih baik digunting saja?