Atas Nama Mahasiswa ITB
Thursday, February 24, 2005
Berapa banyak orang diperlukan untuk berbicara atau bertindak atas nama "mahasiswa ITB"?
Ribuan? Ratusan? Puluhan? Ataukah belasan?
Pertanyaan ini mulai menggenangi kepala saya saat meliput Anas Hanafiah, Presiden KM, beserta sedikit temannya berorasi dan berdemo. Dibantu jaket almamater, lembaran kertas besar bertuliskan kalimat propaganda, potongan kecil kertas yang dibagi-bagikan, serta pengeras suara jenis megaphone, Anas dan kabinetnya lantang menyuarakan tuntutan "mahasiswa ITB".
Lantang, sekaligus getol.
Saya rasa, terlalu gampang bagi kabinet KM-ITB untuk menyuarakan sesuatu atas nama mahasiswa ITB. Jumlah peserta aksi selalu terlalu sedikit, tak cukup representatif. Bahkan, tak sampai sepuluh persen dari pemilih Anas pada pemilu lalu.
"Anas, peserta aksi hanya sedikit," kata saya dalam wawancara.
"Memang. Tapi ini sudah cukup representatif, kok. Kami sudah berunding semalam, dan semua yang hadir sepakat,"
"Mengapa lagi-lagi cuma sedikit yang datang aksi?" tanya saya kali lain.
"Oh, ini karena mendadak. Tapi itulah fungsi lembaga eksekutif. Ia mengurusi segala hal yang mendadak, dan tetap representatif karena terpilih lewat pemilu,"
Sampai di sini, saya gusar. Ada dua hal yang salah.
Anas -- dan kabinetnya -- tidak bisa sembarangan bertindak dan berbicara atas nama mahasiswa, hanya karena memenangi pemilu dengan mutlak -- 3000 suara. Ia harus membuktikan pada publik bahwa dirinya benar terpilih mayoritas. Ia punya pendukung yang setia.
Para pemilih Anas pun seharusnya tidak boleh sembarangan melepaskan pengawasan terhadap tingkah-polah yang dipilih. Mereka harus belajar lagi apa artinya mendukung. Mendukung tidak berarti hanya mencoblos foto Anas ketimbang Oskar, lantas sudah. Mendukung juga berarti turut serta turun ke jalan, menyuarakan aspirasi, mendampingi sang pemimpin.
Mengapa?
Di jalanan, saat berdemonstrasi, masyarakat tak tahu-menahu berapa suara yang kamu raup. Orang tak ambil pusing apa jabatanmu, jenjang karirmu. Yang mereka lihat adalah kamu lantang berteriak. Yang mereka perhatikan adalah kesungguhan kamu dan teman-teman kamu. Dukungan diartikan jumlah. Representasi diartikan unsur yang merata.
Media massa tak sepenuhnya ambil pusing pada esensi gerakan kamu, percaya deh. Mereka cenderung mencari berita yang mengandung nuansa konflik. Kamera lebih suka penggalan orasi, lambaian poster, dan kepalan tangan.
Saya sungguh kasihan, ketika pada demonstrasi kuliah umum Amien Rais, yang mereka dapat hanyalah cibiran dari Kusmayanto Kadiman (waktu itu rektor ITB).
"Ah, itu kan hanya sebagian mahasiswa. Tidak lima belas ribu mahasiswa bilang begitu," ucap Kus pada saya, sambil tersenyum.
Sayang, Anas tidak lantas cepat merenung dan berpikir: Ya, jumlah kita memang terlalu sedikit. Akibatnya, Kus bisa dengan gampang melecehkan. Kita tak bisa begini terus. Di mana para pemilihku? Di mana mereka?
Kubu Anas malah mencetak ejekan Kusmayanto itu, memfotokopinya, dan menyebarkannya ke pelosok kampus. Sebuah tindakan kekanak-kanakan. Itu persis seperti kelakuan anak kecil yang diejek temannya. Ia lantas mengadu pada teman-temannya yang lain. Bisa sambil marah, bisa juga sambil menangis mencari dukungan.
Tapi ya sudahlah, saya toh bukan "barisan pemain". Saya hanya orang aneh yang berulangkali memperdebatkan logika jumlah dan makna representasi.
Ya nggak?
------
Foto oleh Aji GPS
Ribuan? Ratusan? Puluhan? Ataukah belasan?
Pertanyaan ini mulai menggenangi kepala saya saat meliput Anas Hanafiah, Presiden KM, beserta sedikit temannya berorasi dan berdemo. Dibantu jaket almamater, lembaran kertas besar bertuliskan kalimat propaganda, potongan kecil kertas yang dibagi-bagikan, serta pengeras suara jenis megaphone, Anas dan kabinetnya lantang menyuarakan tuntutan "mahasiswa ITB".
Lantang, sekaligus getol.
Saya rasa, terlalu gampang bagi kabinet KM-ITB untuk menyuarakan sesuatu atas nama mahasiswa ITB. Jumlah peserta aksi selalu terlalu sedikit, tak cukup representatif. Bahkan, tak sampai sepuluh persen dari pemilih Anas pada pemilu lalu.
"Anas, peserta aksi hanya sedikit," kata saya dalam wawancara.
"Memang. Tapi ini sudah cukup representatif, kok. Kami sudah berunding semalam, dan semua yang hadir sepakat,"
"Mengapa lagi-lagi cuma sedikit yang datang aksi?" tanya saya kali lain.
"Oh, ini karena mendadak. Tapi itulah fungsi lembaga eksekutif. Ia mengurusi segala hal yang mendadak, dan tetap representatif karena terpilih lewat pemilu,"
Sampai di sini, saya gusar. Ada dua hal yang salah.
Anas -- dan kabinetnya -- tidak bisa sembarangan bertindak dan berbicara atas nama mahasiswa, hanya karena memenangi pemilu dengan mutlak -- 3000 suara. Ia harus membuktikan pada publik bahwa dirinya benar terpilih mayoritas. Ia punya pendukung yang setia.
Para pemilih Anas pun seharusnya tidak boleh sembarangan melepaskan pengawasan terhadap tingkah-polah yang dipilih. Mereka harus belajar lagi apa artinya mendukung. Mendukung tidak berarti hanya mencoblos foto Anas ketimbang Oskar, lantas sudah. Mendukung juga berarti turut serta turun ke jalan, menyuarakan aspirasi, mendampingi sang pemimpin.
Mengapa?
Di jalanan, saat berdemonstrasi, masyarakat tak tahu-menahu berapa suara yang kamu raup. Orang tak ambil pusing apa jabatanmu, jenjang karirmu. Yang mereka lihat adalah kamu lantang berteriak. Yang mereka perhatikan adalah kesungguhan kamu dan teman-teman kamu. Dukungan diartikan jumlah. Representasi diartikan unsur yang merata.
Media massa tak sepenuhnya ambil pusing pada esensi gerakan kamu, percaya deh. Mereka cenderung mencari berita yang mengandung nuansa konflik. Kamera lebih suka penggalan orasi, lambaian poster, dan kepalan tangan.
Saya sungguh kasihan, ketika pada demonstrasi kuliah umum Amien Rais, yang mereka dapat hanyalah cibiran dari Kusmayanto Kadiman (waktu itu rektor ITB).
"Ah, itu kan hanya sebagian mahasiswa. Tidak lima belas ribu mahasiswa bilang begitu," ucap Kus pada saya, sambil tersenyum.
Sayang, Anas tidak lantas cepat merenung dan berpikir: Ya, jumlah kita memang terlalu sedikit. Akibatnya, Kus bisa dengan gampang melecehkan. Kita tak bisa begini terus. Di mana para pemilihku? Di mana mereka?
Kubu Anas malah mencetak ejekan Kusmayanto itu, memfotokopinya, dan menyebarkannya ke pelosok kampus. Sebuah tindakan kekanak-kanakan. Itu persis seperti kelakuan anak kecil yang diejek temannya. Ia lantas mengadu pada teman-temannya yang lain. Bisa sambil marah, bisa juga sambil menangis mencari dukungan.
Tapi ya sudahlah, saya toh bukan "barisan pemain". Saya hanya orang aneh yang berulangkali memperdebatkan logika jumlah dan makna representasi.
Ya nggak?
------
Foto oleh Aji GPS