Eksportir Kutu Loncat
Monday, November 01, 2004
Institut Teknologi Bandung sejak dulu dikenal tidak hanya sebagai spesialis pencetak teknokrat, tetapi juga birokrat. Banyak sudah nama-nama alumni ITB yang berseliweran di jagad pemerintahan. Yang terbaru, nama Kusmayanto Kadiman muncul bersama lima alumni ITB lainnya. Ini menegaskan kembali keahlian institut tertua ini dalam hal cetak-mencetak pejabat.
Tanpa bermaksud menggugat pertimbangan pribadi Kusmayanto, kita harus katakan bahwa keputusannya menerima tawaran jabatan menteri adalah kurang bijak bagi ITB.
ITB digariskan untuk belajar mandiri sejak empat tahun lalu, sesuai PP 155/2000. Kini, bisa jadi ia mandeg bertransformasi. Bukan karena hengkangnya sang rektor, tetapi lebih karena mental Kusmayanto yang lebih senang meraih jabatan, yang -- menurut dia -- lebih menjanjikan.
Inilah satu kebiasaan menggunakan kekuasaan yang seringkali terlupakan: mental kutu loncat. Kalau korupsi adalah memakai jabatan demi mencuri; kolusi demi berkasak-kusuk; nepotisme demi mendahulukan orang-orang dekat; maka mental kutu loncat adalah: menggadaikan jabatan demi mencapai posisi yang lebih tinggi.
Maka jangan heran jika orang-orang bermental kutu loncat jarang setia menghabiskan masa jabatannya. Ia lebih bersemangat memburu jabatan yang lebih tinggi, dengan modal jabatannya sekarang. Toh, jika jabatan yang diincar tak didapat pun, tak rugi. Dalam memburu jabatan, mereka semacam merasakan adrenalin yang sama dengan was-wasnya berselingkuh. Kalau dapat, bagus; tak dapat masih ada istri...
Bagaimana jadinya proses transformasi ITB, jika dipimpin oleh orang tipe kutu loncat? Di saat seharusnya dia bekerja untuk ITB, dia bisa saja justru memikirkan langkah-demi-langkah ke depan. Akibatnya, pekerjaan wajibnya tak terlaksana dengan bagus. Lama kelamaan, jika dibiarkan, bisa membuat mandeg.
Bukan lantas berarti keberlangsungan transformasi bergantung kepada figur rektor, tidak. Perbuatan Kusmayanto hanya akan menjadi preseden buruk; itu saja. Rektor kan ujung tombak, eksekutor, pelaksana? Kalau rektornya kutu loncat, bagaimana dengan para bawahannya?
Apa pula jadinya, jika nantinya calon-calon rektor mendatang, semuanya bermental sama: oportunis? Mereka hanya berminat menjadikan jabatan rektor sebagai batu loncatan untuk kemudian pada 2009 mendekati tim sukses, sebagaimana dicontohkan pendahulunya? Jangan berharap muluk ITB bisa maju.
Akan lebih elegan jika mereka-mereka yang doyan meningkatkan karir, agar melepaskan dulu jabatan yang disandang. Jangan tunggu setelah dilantik. Anda akan sempat berjudi dan mempertaruhkan sesuatu -- itu tidak pantas dalam sebuah institusi akademis, yang katanya mengusung nilai luhur.
Kusmayanto masih tercatatat sebagai rektor ITB ketika dirinya dipanggil ke Cikeas. Dengan kecerdasan intelektual tinggi -- dia bergelar doktor -- dia mestinya sadar hal itu. Bahkan ketika dia mengenakan jas, menyematkan peci dan pin, memakai sepatu, dan kemudian dilantik, dia sadar bahwa dengan jabatan rektor-lah dia bisa mendekati tim sukses.
Jika dia ternyata memang kutu loncat, kita sebaiknya merelakan ia pergi -- dengan begitu hilang satu beban.
Dalam dua bulan ke depan, Majelis Wali Amanat akan mengadakan pemilihan untuk mengangkat rektor baru. Kita berharap banyak akan keberanian rektor terpilih dalam menyelesaikan apa yang dimulainya. Jangan hanya setengah-setengah, seperti banci. Kalau perlu, rektor baru harus bersumpah akan menghabiskan masa jabatan -- sebagai syarat pelantikan dan bukti keseriusan. Jangan biarkan ITB menjadi eksportir kutu loncat lebih lama lagi!!!
------
Boulevard ITB Edisi 50, November 2004
Tanpa bermaksud menggugat pertimbangan pribadi Kusmayanto, kita harus katakan bahwa keputusannya menerima tawaran jabatan menteri adalah kurang bijak bagi ITB.
ITB digariskan untuk belajar mandiri sejak empat tahun lalu, sesuai PP 155/2000. Kini, bisa jadi ia mandeg bertransformasi. Bukan karena hengkangnya sang rektor, tetapi lebih karena mental Kusmayanto yang lebih senang meraih jabatan, yang -- menurut dia -- lebih menjanjikan.
Inilah satu kebiasaan menggunakan kekuasaan yang seringkali terlupakan: mental kutu loncat. Kalau korupsi adalah memakai jabatan demi mencuri; kolusi demi berkasak-kusuk; nepotisme demi mendahulukan orang-orang dekat; maka mental kutu loncat adalah: menggadaikan jabatan demi mencapai posisi yang lebih tinggi.
Maka jangan heran jika orang-orang bermental kutu loncat jarang setia menghabiskan masa jabatannya. Ia lebih bersemangat memburu jabatan yang lebih tinggi, dengan modal jabatannya sekarang. Toh, jika jabatan yang diincar tak didapat pun, tak rugi. Dalam memburu jabatan, mereka semacam merasakan adrenalin yang sama dengan was-wasnya berselingkuh. Kalau dapat, bagus; tak dapat masih ada istri...
Bagaimana jadinya proses transformasi ITB, jika dipimpin oleh orang tipe kutu loncat? Di saat seharusnya dia bekerja untuk ITB, dia bisa saja justru memikirkan langkah-demi-langkah ke depan. Akibatnya, pekerjaan wajibnya tak terlaksana dengan bagus. Lama kelamaan, jika dibiarkan, bisa membuat mandeg.
Bukan lantas berarti keberlangsungan transformasi bergantung kepada figur rektor, tidak. Perbuatan Kusmayanto hanya akan menjadi preseden buruk; itu saja. Rektor kan ujung tombak, eksekutor, pelaksana? Kalau rektornya kutu loncat, bagaimana dengan para bawahannya?
Apa pula jadinya, jika nantinya calon-calon rektor mendatang, semuanya bermental sama: oportunis? Mereka hanya berminat menjadikan jabatan rektor sebagai batu loncatan untuk kemudian pada 2009 mendekati tim sukses, sebagaimana dicontohkan pendahulunya? Jangan berharap muluk ITB bisa maju.
Akan lebih elegan jika mereka-mereka yang doyan meningkatkan karir, agar melepaskan dulu jabatan yang disandang. Jangan tunggu setelah dilantik. Anda akan sempat berjudi dan mempertaruhkan sesuatu -- itu tidak pantas dalam sebuah institusi akademis, yang katanya mengusung nilai luhur.
Kusmayanto masih tercatatat sebagai rektor ITB ketika dirinya dipanggil ke Cikeas. Dengan kecerdasan intelektual tinggi -- dia bergelar doktor -- dia mestinya sadar hal itu. Bahkan ketika dia mengenakan jas, menyematkan peci dan pin, memakai sepatu, dan kemudian dilantik, dia sadar bahwa dengan jabatan rektor-lah dia bisa mendekati tim sukses.
Jika dia ternyata memang kutu loncat, kita sebaiknya merelakan ia pergi -- dengan begitu hilang satu beban.
Dalam dua bulan ke depan, Majelis Wali Amanat akan mengadakan pemilihan untuk mengangkat rektor baru. Kita berharap banyak akan keberanian rektor terpilih dalam menyelesaikan apa yang dimulainya. Jangan hanya setengah-setengah, seperti banci. Kalau perlu, rektor baru harus bersumpah akan menghabiskan masa jabatan -- sebagai syarat pelantikan dan bukti keseriusan. Jangan biarkan ITB menjadi eksportir kutu loncat lebih lama lagi!!!
------
Boulevard ITB Edisi 50, November 2004