Detective School Q
Tuesday, October 11, 2005
Saya habis membaca Detective School Q karya Seimaru Amagi dan Fumiya Sato. Ceritanya tentang lima murid sebuah sekolah detektif. Mereka bukanlah sembarang murid, melainkan murid kelas khusus -- kelas Q. Artinya, Qualified. Selain belajar, mereka juga dilibatkan dalam beberapa kasus kejahatan sungguhan.
Pendiri sekolah ini adalah Morihiko Dan, seseorang yang dikisahkan sebagai detektif terhebat sepanjang masa di Jepang. Setelah tak mampu lagi berdiri (dia lumpuh terduduk di kursi roda), Dan ingin mencetak penerusnya. Itulah mengapa dia mendirikan sekolah detektif ini.
Saya tertarik dengan karakter si tokoh utama, Kyu. Dia ini mirip Kindaichi. Maklum, pembuatnya sama. Baik Kyu maupun Kindaichi, menurut saya, bersifat kekanak-kanakan, cuek, sedikit lugu, tapi bisa sontak serius dan matang ketika menghadapi kasus pelik.
Mereka diciptakan tak hanya sebagai protagonis, tokoh kemana perhatian pembaca tertuju, tapi bisa juga sebagai ongol-ongol yang kerjanya melawak dan merusak flow.
Ini jelas berbeda dengan tokoh utama dalam cerita lain yang sangatlah kakunya. Dalam Batman, misalnya, kan jelas sekali jurang sifat antara masing-masing tokoh. Bruce Wayne yang berdagu belah, kokoh, serius, hebat perkasa, dsb. tak pernah mungkin melakukan blooper (atau lawakan garing yang bisa bikin si Alfred tua jatuh menggubrak).
Superman alias Clark Kent takkan mungkin terbang oleng atau setidaknya terpeleset di saat-saat genting, yang bisa bikin orang-orang di sekitarnya sanggup berkeringat sebesar gaban di kepala.
Sekiranya pun terjadi kemalangan yang menimpa mereka waktu berkelahi, itu tentunya demi membuat pembaca makin berdebar. Biasa, jagoan kan pasti kalah dulu -- baru kemudian menang.
Nah, tokoh utama di komik Jepang jarang ada yang terjangkit sindrom superhero seperti itu. Mereka tampil lepas apa adanya. Mereka tidak tahu segala-galanya. Sisi-sisi lemah mereka diungkap. Mereka ditertawakan, tapi juga diandalkan.
Dan kalau dipikir-pikir, sepertinya tidak cuma Kyu dan Kindaichi yang punya sifat seperti itu. Saya ingat ada Ryo si City Hunter (wah, ini biang nggak jelas) yang kelakuannya sama. Luarnya serampangan, suka main wanita, tapi kalau sudah berkelahi waduh hebat betul. Ada juga Chinmi si Kungfu Boy dan Songoku dari Dragon Ball.
O ya. JK Rowling juga melakukannya pada Harry Potter. Bukankah Sirius sampai mati (edisi Order of Phoenix) gara-gara si Harry ceroboh, terlalu percaya pada "penglihatan"? Padahal, itu hanya siasat Voldemort?
Saya nggak tahu mesti menilai karakterisasi seperti ini sebagai "kompleks" atau "paradoks".
Mengapa kompleks, karena sifat manusia kan memang tidak hitam-putih. Pasti banyak sifat dan beberapa bisa saja kontradiktif.
Paradoks, karena membingungkan. Saat Ryo mengejar-ngejar wanita demi "mokkori" dia bukanlah pahlawan yang bisa dibanggakan. Tapi ketika dia berhadapan dengan musuh ... wih.
Yang jelas, jalan cerita jadi lebih hidup dan realistis dengan begitu. Tidak monoton dan tertebak. Jagoan juga bisa salah -- toh mereka juga manusia.
Kalau menurut kamu, gimana?
Pendiri sekolah ini adalah Morihiko Dan, seseorang yang dikisahkan sebagai detektif terhebat sepanjang masa di Jepang. Setelah tak mampu lagi berdiri (dia lumpuh terduduk di kursi roda), Dan ingin mencetak penerusnya. Itulah mengapa dia mendirikan sekolah detektif ini.
Saya tertarik dengan karakter si tokoh utama, Kyu. Dia ini mirip Kindaichi. Maklum, pembuatnya sama. Baik Kyu maupun Kindaichi, menurut saya, bersifat kekanak-kanakan, cuek, sedikit lugu, tapi bisa sontak serius dan matang ketika menghadapi kasus pelik.
Mereka diciptakan tak hanya sebagai protagonis, tokoh kemana perhatian pembaca tertuju, tapi bisa juga sebagai ongol-ongol yang kerjanya melawak dan merusak flow.
Ini jelas berbeda dengan tokoh utama dalam cerita lain yang sangatlah kakunya. Dalam Batman, misalnya, kan jelas sekali jurang sifat antara masing-masing tokoh. Bruce Wayne yang berdagu belah, kokoh, serius, hebat perkasa, dsb. tak pernah mungkin melakukan blooper (atau lawakan garing yang bisa bikin si Alfred tua jatuh menggubrak).
Superman alias Clark Kent takkan mungkin terbang oleng atau setidaknya terpeleset di saat-saat genting, yang bisa bikin orang-orang di sekitarnya sanggup berkeringat sebesar gaban di kepala.
Sekiranya pun terjadi kemalangan yang menimpa mereka waktu berkelahi, itu tentunya demi membuat pembaca makin berdebar. Biasa, jagoan kan pasti kalah dulu -- baru kemudian menang.
Nah, tokoh utama di komik Jepang jarang ada yang terjangkit sindrom superhero seperti itu. Mereka tampil lepas apa adanya. Mereka tidak tahu segala-galanya. Sisi-sisi lemah mereka diungkap. Mereka ditertawakan, tapi juga diandalkan.
Dan kalau dipikir-pikir, sepertinya tidak cuma Kyu dan Kindaichi yang punya sifat seperti itu. Saya ingat ada Ryo si City Hunter (wah, ini biang nggak jelas) yang kelakuannya sama. Luarnya serampangan, suka main wanita, tapi kalau sudah berkelahi waduh hebat betul. Ada juga Chinmi si Kungfu Boy dan Songoku dari Dragon Ball.
O ya. JK Rowling juga melakukannya pada Harry Potter. Bukankah Sirius sampai mati (edisi Order of Phoenix) gara-gara si Harry ceroboh, terlalu percaya pada "penglihatan"? Padahal, itu hanya siasat Voldemort?
Saya nggak tahu mesti menilai karakterisasi seperti ini sebagai "kompleks" atau "paradoks".
Mengapa kompleks, karena sifat manusia kan memang tidak hitam-putih. Pasti banyak sifat dan beberapa bisa saja kontradiktif.
Paradoks, karena membingungkan. Saat Ryo mengejar-ngejar wanita demi "mokkori" dia bukanlah pahlawan yang bisa dibanggakan. Tapi ketika dia berhadapan dengan musuh ... wih.
Yang jelas, jalan cerita jadi lebih hidup dan realistis dengan begitu. Tidak monoton dan tertebak. Jagoan juga bisa salah -- toh mereka juga manusia.
Kalau menurut kamu, gimana?