Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Proyek pribadi Esther Samboh

Sunday, December 20, 2009

Esther Samboh, pemenang PPIA-VOA Broadcasting Fellowship 2009, punya proyek pribadi menulis bebas setiap hari. Tak peduli betapa sibuknya dia, tak peduli sedang ada ilham atau tidak, Esther akan meluangkan waktu menulis satu halaman Microsoft Word, dengan font Times New Roman 12pt dan spasi tunggal.

Total ada 105 tulisan yang harus Esther buat. Tujuannya? Menentukan apakah menulis akan jadi masa depannya atau tidak.

Saya tidak punya account Multiply jadi tak bisa berkomentar langsung di blog Esther. Tapi sebagai seorang yang sedang dilanda kebuntuan menulis kronis, saya kira ini proyek sinting — dalam konotasi positif tentu saja :)

Jadi ingat, Zen Rachmat Sugito dulu juga pernah punya proyek pribadi serupa, menghasilkan satu tulisan setiap hari. Dan sewaktu mendengarnya, komentar saya juga sama: sinting!

Saya berharap, sebagaimana Zen, Esther pun berhasil menyelesaikan tantangan ini.

Silakan simak:
http://esutoru.multiply.com/tag/dosayseethinkproject
http://esutoru.wordpress.com

Dilema mahasiswa

Wednesday, December 02, 2009

Pak Dosen yang sudah sepuh itu sedang serius menulis di papan tulis ketika saya mengetok pintu dan minta izin masuk kelas. Melalui ekor matanya dia memperhatikan saya, si mahasiswa yang selalu kebetulan datang terlambat, berjalan masuk dan duduk di bangku barisan terdepan.

“Udah telat, duduknya di depan lagi.” Dia berkomentar pendek sambil membalikkan badan.

Saya nyengir saja. Memangnya mau duduk di mana lagi? Tanpa repot-repot, saya langsung tahu kok bangku barisan belakang pasti sudah penuh oleh mahasiswa yang datang lebih dahulu. Itu kan hukum alam.

Matanya menatap tajam ke muka saya. Lalu turun perlahan-lahan. Dan…

“Pakai sendal jepit?!”

Alamak. Bodoh betul saya bisa-bisanya lupa kalau peraturan institut ini mengharuskan mahasiswa mengenakan sepatu ketika ikut kuliah (dengan satu pengecualian: tidak ketahuan).

Supaya tidak ketahuan itulah hukum alam “isi-barisan-belakang-lebih-dulu” tercipta.

Seakan ada gunanya, saya menarik kaki perlahan supaya tersembunyi di bawah bangku. Menggantang asap.

“Ah, tapi saya sih udah capek menyuruh mahasiswa pakai sepatu.”

“Kenapa Pak? Hehe.”

Sebab kacamata yang tertengger di hidungnya itu tak berguna buat melihat jauh, ia pun menunduk dan kembali menatap saya. “Dari dulu mahasiswa selalu cari-cari celah.”

Puluhan tahun silam, katanya, ketika peraturan “harus memakai sepatu” disosialisasikan, mahasiswa bereaksi. “Sepatu itu apa? Definisi harus jelas,” katanya menirukan.
Sepatu adalah alas kaki yang menutup jari-jari kaki sehingga tak terlihat.
“Eh ada satu anak malah pake sendal jepit pake kaos kaki,” dia mengenang. Sekilas saya melihat dia seperti berusaha menahan senyum.

Akhirnya definisi pun diamandemen.
Sepatu adalah alas kaki yang menutup jari-jari kaki sehingga tak terlihat serta menahan tumit. Sehingga kalau menendang, alas kaki tak terbang.
“Eh tu anak malah dateng pake sendal jepit, pake kaos kaki, trus ada karet gelang di bagian tumit. Katanya biar nggak lepas.”

Sampai sini giliran saya yang tak kuasa menahan senyum. Ini cerita sungguhan, atau dia sedang guyon? Seisi kelas mulai gelisah menanti kelanjutan cerita.

Akibatnya, dia melanjutkan kisah, dosen-dosen memutar otak. Kali ini, peraturan yang diamandemen.
Mahasiswa dilarang memakai sandal jepit di kelas.
“Kita pikir dia mati langkah deh tuh,” kata Pak Dosen mengernyit. “Ternyata nggak. Itu anak dateng, copot sendal di pintu trus masuk kelas telanjang kaki.”

“Hahahaha. Terus Pak?”

“Pas kita tanya, jawabannya gini: ‘Yang dilarang itu kan memakai sendal jepit. Saya kan nggak pakai [sandal jepit], jadi saya nggak melanggar peraturan’”.

Maling selalu lebih pintar dari polisi? :P

Gapura penyeberangan

Tuesday, December 01, 2009



Keunikan kota Balikpapan. Sewaktu pergi ke sana pertengahan tahun ini untuk menghadiri pernikahan seorang kawan, saya melihat banyak pengumuman seperti ini terpancang di tengah jalan — semacam gapura penyeberangan gitu.

“Anda menyeberang disini dilindungi UULLAJ No 14 Th 1992 Pasal 26 Ayat (1)”

Sekilas dilihat langsung mudah dimengerti. Ini imbauan supaya masyarakat tidak menyeberang di sembarang tempat melainkan lewat zebra cross. Imbalannya? “Dilindungi Undang-undang”.

Namun ternyata, Pasal 26 Ayat (1) yang dimaksud berbunyi seperti ini:
Pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
Jadi di mana letak perlindungannya? Hehehe. Lagipula kalau buat saya nih, mau menyeberang di manapun, kalau kena tabrak ya sakitnya sama-sama saja.

Nothing Lasts Forever

Though we have not hit the ground
It doesn’t mean we’re not still falling

—Maroon 5

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by