Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Soeharto Diinjak-injak

Monday, January 28, 2008

Akhirnya, setelah hampir mendapat serangan ayan akibat terlalu sering menonton adegan yang diulang-ulang terus menerus, saya menemukan sesuatu yang menarik dari tayangan televisi seputar kematian mantan Presiden Soeharto.

Yaitu pada saat penimbunan liang lahat Soeharto. Segera setelah Presiden Yudhoyono dan Sigit Soeharto masing-masing menumpahkan satu sekop pasir, liang lahat pun ditimbun oleh berkarung-karung pasir oleh para petugas berseragam pakaian adat Jawa.

Dan tiga orang dari mereka dengan santai meloncat ke bawah, lalu menginjak-injak pasir itu supaya padat. Padahal, Soeharto yang terbungkus dalam peti mati sedang berada tepat di bawah kaki mereka. Ooh, itu benar-benar adegan fenomenal saya kira.

Bayangkan. Ini kan tayangan langsung tentang kematian seorang raja (atau setidaknya dikesankan demikian). Lalu apa dong yang lebih fenomenal daripada tayangan mayat raja diinjak-injak? Hehe.

Ini mungkin akibat tata cara penguburan yang tidak jelas mengikuti ajaran mana. Jawa? Islam? Militer? Kenegaraan?

Saya pernah pula menginjak-injak tanah kuburan eyang kakung saya supaya padat. Tapi buat saya itu tidak soal sebab eyang kakung saya tidak tepat berada di bawah. Ia tersimpan aman di sebuah "laci" di sisi liang lahat, di sisi kanannya. Tidak seperti pada Soeharto.

Ah, pokoknya itu benar-benar adegan fenomenal.

Buat adik saya, sejauh ini adegan fenomenal menurut dia adalah ketika Sukmawati Soekarnoputri dalam sebuah wawancara mengatakan "tiada maaf bagi Soeharto". Dia, yang lagi sakit panas, merasa seolah-olah badannya menuju sembuh ketika mendengar pernyataan itu. Hehehe.

Kalau buat kamu, mana adegan yang fenomenal?

Soeharto Dapat Merespon Obat?

Sunday, January 20, 2008

Harian Kompas edisi Senin 14 Januari 2008 memuat berita utama berjudul "Soeharto Dapat Merespon Obat".

Ini sebuah judul yang lumayan menyesatkan. Karena kita tahu, sebagaimana ditulis di alinea pertama berita itu, Soeharto tak dapat merespon obat melainkan panggilan minum obat.
Jakarta, Kompas - Mantan Presiden Soeharto, Minggu (13/1) malam dilaporkan dapat merespon saat dibangunkan untuk meminum obat. Tetapi, kondisinya masih tetap kritis, meski lebih baik dibandingkan kondisinya pada Minggu siang.
Ah ya sudahlah. Cepat sembuh ya Eyang. Kapan kita main golf lagi?

Dirampok Indosat

From: 808

Layanan Nada Sapa i-Ring Anda akan diperpanjang otomatis pd 20/01/2008 dgn biaya Rp. 5500 + PPN10%. Info lagu: Ketik Top kirim ke 808 atau hub CS 300.

Mau jadi model Video Klip Kangen Band? Aktifkan nada sapa i-Ring 808 Cinta Yang Sempurna. Ketik: SET YS1 kirim ke 808.

------
Indosat mungkin saja kalah dalam perang tarif antar operator telefon seluler (yang makin lama makin nggak puguh), tapi dia jelas berhasil dalam merampok salah satu pelanggannya.

Nggak ada angin nggak ada hujan, duit saya diambil begitu saja tanpa saya tahu bagaimana cara mencegahnya. Bravo Indosat.

Guru Bahasa Inggris Saya yang Pertama

Thursday, January 03, 2008

Sore ini saya teringat perjumpaan awal saya dengan guru bahasa Inggris saya yang pertama, bertahun-tahun lalu. Waktu itu saya sedang bermain dengan teman tetangga yang sebaya, di jalanan depan rumah, ketika dia lewat bersama anjingnya yang berwarna coklat. Dia sedang jogging sore-sore.

Kami pun berhenti bermain supaya dia bisa lewat. Bukan karena dia seorang bule dan kami takjub melihatnya, bukan, tapi lebih karena kami takut digigit si anjing. Ketika dia lewat, kami hanya saling menyikut dan bergumam pelan, “Woi, bule woi,” dengan noraknya.

Eh tiba-tiba dia, dengan kalem, menyapa “Apa kabar?” kepada anak-anak ingusan ini. Kami kaget sekali.

Kami kaget sebab tak menyangka ada mister bisa bahasa Indonesia. Saya takjub. Dan kalau saya takjub, saya lepas kendali.

Saya tak bisa menahan diri saya untuk tidak balas menyapa: “So you can speak Indonesia language, huh?” Ckckck. Belagu banget kalau dipikir-pikir.

Si bule yang besar dan botak ini pun berhenti jogging. Lalu mendekati saya, menjulurkan tangannya, dan berkata dengan ramah: “Sedikit-sedikit. Nama saya Jim. Kamu?”

Ikram. This is Hendra. Where did you come from?

My mother,” katanya tersenyum. Melihat air muka saya yang bingung, dia pun menyambung, “I was just kidding.”

Dan sejak sore itulah, dia dengan rutin melewati jalanan depan rumah kami, yang telah dijadikannya rute pulang jogging tiap sore.

Jim, asal Amerika Serikat, tinggal sekitar 300 meter dari rumah kami, di sebuah kompleks bernama “Flowered Clove Hill” alias Bukit Cengkeh Berbunga. Dia punya rute jogging yang memutar. Dari rumahnya dia berangkat lewat mana entah, dan ketika pulang dia lewat depan rumah kami.

Tiap kali dia lewat kami pun berhenti bermain lalu ngobrol-ngobrol sebentar. Pernah juga kami tidak bermain tapi memang sengaja nongkrong di luar menunggu Jim lewat. Hampir setiap sore. Tentu bersama anjingnya yang meski terlihat jinak, tetap saja kami jauhi.

Biasanya kami hanya bercakap-cakap pendek. Itupun dia yang mulai duluan.

I think it’s very hot today. Do you think it’s gonna rain tonight?” katanya suatu hari. Dasar bule, basa-basinya soal cuaca mana saya mengerti. Dengan modal seadanya saya jawab blah-blah-blah.

Dia juga pernah bertanya tentang musim hujan dan musim kemarau. Saya sudah lupa bagaimana saya menerangkannya. Dengan bahasa Tarzan mungkin.

Benar-benar belagu kalau dipikir-pikir. Bayangkan, waktu itu saya cuma tahu bahasa Inggris lewat film. Atau lewat kebatinan alias membatin dalam hati alias sok tahu. Saya tak pernah tahu apa itu spelling apa itu pronounciation.

Bertahun-tahun saya pikir “body” itu artinya teman. Soalnya dalam serial Knight Rider, ketika Michael menyapa Kitt dengan ucapan “tengkyu, badi!” selalu saja teks terjemahannya “terimakasih, teman!” – jadi manalah saya tahu kalau “body” itu “badan” sementara “teman” itu “buddy”.

Saya juga pernah menawarkan makanan kepada teman sekelas yang pindahan dari Mississippi, dengan mengatakan: “I bring a bakery in my bag do you want?”

Teman saya itu melotot dan membalas, “What?? A bakery? You mean bread?”

Lalu dalam hati saya bergumam, bodoh benar teman saya ini. Buat apa saya bawa nafas dalam tas. Roti, bego. Mau apa nggak?

Tapi Jim berbeda. Selalu dengan kalem dan tersenyum, dia berusaha memahami setiap kata yang terbata-bata keluar dari mulut saya. Dia juga berbicara dengan tempo pelan tapi juga cukup cepat untuk tidak membuat kami merasa bodoh. Saya rasa dia senang dengan kami – anak-anak SD yang tidak hanya girang melihat bule tapi juga mau bergaul.

Tidak seperti tetangga-tetangga kami yang lain, yang begitu melihat ada bule lewat, malah langsung keluar membawa kamera meminta foto bareng. Najis.

Jim tidak segan-segan memuji. Dari dia saya belajar bahwa ayah saya benar: tak ada jalan lain, bahasa asing memang mesti dipelajari dengan mempraktekkannya langsung. Jangan takut salah, salah itu biasa. Justru dengan berbuat salah kita belajar.

Saya tak ingat berapa lama persisnya Jim pulang jogging lewat depan rumah kami. Yang saya ingat, pada suatu sore Jim tidak lewat lagi. Besoknya pun dia tak lewat. Dan lusa tak lewat lagi. Dia tiba-tiba seakan menghilang begitu saja.

Dasar anak kecil, waktu itu kami cuma berpikir mungkin dia sudah pulang ke negaranya. Ya sudah.

Sekarang ini, bertahun-tahun kemudian, bila melihat biaya beberapa kelas percakapan bahasa Inggris yang begitu mahalnya, saya merasa sangat beruntung bisa merasakan punya guru les gratis.

Guru bahasa Inggris saya yang pertama, si Jim dari Amerika.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by