Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Ada yang Pamer

Friday, September 21, 2007



Perkenalkan, ini Nandra.
Anaknya Ira dan Agus.

Umur belum ada dua tahun.
Tapi sudah punya tas sekolah.
Yang harganya sulit ditebak.

Sebagai permintaan maaf,
Ini saya pajang foto Nandra.
Lagi pamer tas sekolahnya.

------
Ternyata benar kata orang: memotret anak kecil itu susah-susah gampang.
Kadang kita ketemu anak kecil yang susah, kadang malah gampang banget – seperti model kita yang satu ini.

Keheranan Terjawab

Wednesday, September 19, 2007

“They paved paradise and put up a parking lot”
- Joni Mitchell

Pada November 2006, saya pernah menulis soal mobil yang parkir di trotoar. Pikir saya waktu itu, betapa zalimnya si pengendara dan tukang parkir – sudah bagus trotoar dibikin lebar-lebar kok malah dipakai parkir. Menyebalkan.

Sempat heran juga mengapa tempat parkir di pinggir jalan malah ditutupi semacam pembatas jalan (dengan iklan). Maksudnya apa ya?

Kini keheranan itu terjawab sudah. Area parkir pinggir jalan itu, menurut polisi, ternyata bukan dibikin oleh pihak yang berwewenang melainkan oleh sebuah studio foto yang ada di situ. Dan di pinggir jalan rupanya ada rambu P coret yang tertutupi pohon.

Supaya lebih jelas mari kita baca laporan langsung reporter kita dari lapangan. Silakan rekan Sari!

Curhat ke Ibu

Tuesday, September 18, 2007

Barusan ini Ibu menelfon. Dia bilang dia baru selesai membikin soal untuk kuis besok. Kami lalu ngobrol-ngobrol. Saya menceritakan semua hal yang menimpa saya belakangan ini -- mulai soal kena usir di kelas (dan langsung divonis tidak lulus) sampai rencana ke depannya bagaimana. Saya senang bisa memberi dia gambaran gamblang tentang semuanya.

Soalnya sebelum ini, saya sedikit "bersembunyi" dari Ibu karena khawatir akan kondisi kesehatannya yang sempat menurun. Tapi syukurlah akhirnya bisa juga cerita. Ibu pendengar yang sangat baik. Saya senaaang sekali!

Di akhir pembicaraan saya meminta maaf kalau-kalau telah membuatnya kecewa. Saya juga minta didoakan supaya diterima di sebuah program magang satu suratkabar di Jakarta. Ingin sekali jadi wartawan nih. Mohon doanya juga ya kawan-kawan?

Terimakasih :)

Ke Kuburan Eyang

Thursday, September 13, 2007

Begitu sampai di Tanah Kusir, hal pertama yang saya lakukan adalah mondar-mandir di tengah kuburan mencari yang mana yang di bawahnya ada eyang saya. Lama nggak ke sini ternyata sudah banyak tetangga baru. Jadi bingung.

Satu menit pertama, masih wajarlah. Lupa itu manusiawi toh? Dua tiga menit, kok nggak ketemu-ketemu juga ya. Perasaan nggak jauh-jauh dari jalan utama. Ah, coba cari terus deh pelan-pelan. Memasuki menit ke-4, saya mulai merasa seperti cucu durhaka, yang bisa lupa kuburan eyang sendiri.

“Cari siapa Mas?” Seorang petugas penjaga kebersihan bertanya. Saya kira dia gerah juga melihat orang mondar-mandir menenteng satu plastik kembang dan sebotol air mawar. Yang menggelikan, nada suaranya tak jauh beda dengan nada suara pramuniaga kalau kita masuk toko.

“Sanyoto.” Saya menjawab pelan dan langsung window shopping lagi.

“Warnanya apa?” (Tuh kan, memangnya saya kelihatan seperti hendak belanja sepatu, sehingga ditanya-tanya warna?)

“Hitam.”

Ngawur berat, soalnya beberapa menit kemudian, saya menemukan sebuah nisan bertuliskan “Sanjoto bin Wignjo Soepartono” yang terbuat dari marmer putih. Benar-benar payah ingatan saya.

Saya pun mencopot sandal di sebelah kuburan dan menjadikan mereka alas duduk. Karena tidak terlalu mengerti tata cara ziarah, saya mulai saja dengan membaca Al-Fatihah. Habis itu Yasin. Lalu tiga serangkai Al-Ikhlas Al-Falaq An-Nas kemudian doa dan tabur kembang + siram air mawar. Saya memilih duduk membelakangi matahari supaya tidak silau.

Nah, ketika sedang membaca Yasin itulah (baru ayat 10an) tiba-tiba terdengar “crek-crek-crek” suara alat pemotong rumput. Ada seseorang memotongi rumput kuburan Eyang!

Di sela-sela ayat saya melirik. Rupanya dia si Abang yang tadi hendak membantu saya mencarikan kuburan Eyang. Hah, baru ketahuan sekarang profesi aslinya. Ternyata dia ini bergerak di bidang jasa pengguntingan rumput kuburan “jika-dan-hanya-jika-sedang-diziarahi”. Saya jadi agak sebal.

Pertama, kegiatan dia itu mengganggu orang mengaji.

Kedua, di kuburan ini tak ada rumput yang perlu dipotong, baik rumput liar maupun nonliar. Kalau saya biarkan lebih lama, yang ada malah bencana. Kuburan Eyang akan nampak seperti orang habis salah potong rambut. Tebal di sana dan tipis di sini. Cucu macam apa yang membiarkan bencana berlangsung depan mata?

Sejenak saya berhenti mengaji dan berkata kepadanya “Mas, nanti aja ya tunggu saya selesai”.

Dia menurut. Dia pergi duduk ke kuburan sebelah, kemudian merokok. Oke. Hilang sudah gangguan.

Lagi-lagi ngawur, soalnya menginjak ayat 30an, datang lagi satu angggota biro jasa lainnya. Kali ini dia berbunyi “srok-srok-srok” dan mengambil wujud tukang sapu. Tanpa menunggu lama, saya terapkan prosedur serupa. “Mas, bisa tunggu sampai saya selesai?”

***

Sabtu 30 Oktober 2004 adalah hari yang saya nanti-nantikan. Hari ini Boulevard edisi 50 selesai dicetak. Siang nanti kami akan pergi mengambilnya ke percetakan, kemudian melipat-lipatnya, supaya siap dijual pada hari Senin. Betapa menyenangkan sekaligus bikin tak sabar.

Tapi ada hal lain yang membuat Sabtu itu tak terlupakan. Pagi-pagi sekali, saya dapat telfon dari Ibu. “Kram, Eyang Kakung sakit. Kamu baca-baca doa ya.”

Sebab masih mengantuk selepas bangun sahur — waktu itu lagi bulan Ramadhan — saya mengiyakan dengan berat mata. Tak berapa lama kemudian, Ibu menelfon lagi dengan inti pesan sama. Lalu telfon lagi. Saya mulai heran mengapa pesan yang sama diulang-ulang terus.

Pada telfonnya yang terakhir, inti pesan berubah. Saya disuruh berangkat ke Depok sekarang juga.

Dari nada suara Ibu, saya menangkap kesan Eyang sedang kritis berat, menghadapi sakaratul maut, sehingga kami keluarganya diminta berkumpul secepat mungkin.

Saya buru-buru pergi ke Metro (rumah Om Agus dan Bulek Kenny) untuk pergi bareng naik kereta api. Sampai di sana saya baru tahu, ternyata bulek saya memang sudah ada di Depok, jadi yang ada di rumah hanya Om Agus saja. Kami berdua pun naik Parahyangan ke Jatinegara.

Selama di kereta saya sedikit heran sebab tidak dapat kabar lebih lanjut. Saya juga heran kenapa Om Agus mukanya datar-datar saja. Tak banyak pembicaraan di antara kami (mungkin karena sama-sama menghadapi kabar buruk dan tak ada satupun yang hendak membincangkan hal itu).

Karena tak sabar, akhirnya saya bertanya, “Jadi sekarang ini Eyang itu lagi sekarat ya om?”

“Loh kamu belum dikasih tahu?”

Dia berbicara seakan-akan saya seorang pejuang kemerdekaan yang belum dengar kabar bahwa proklamasi sudah dibacakan Soekarno.

“Nggak. Adek cuma dikasih tahu supaya pulang buruan. Kirain lagi kritis.”

“Oh, udah nggak Kram.”

Detik itulah saya baru tahu kalau Eyang sudah pergi. Dada saya sedikit nyeri mengingat saya tidak sempat mendoakannya pagi tadi.

***

Yang saya ingat segalanya berjalan lumayan cepat siang itu. Dari Jatinegara kami naik taksi dan ketika sampai, orang sudah ramai sekali. Beberapa bergumam lega karena cucu dan menantu sudah tiba. Rupanya mereka memang tinggal menunggu kami saja sebelum berangkat menguburkan Eyang.

Saya duduk di sebelah jenazah lalu berdoa. Sebentar saja, karena saya tahu panjang-pendeknya doa tidak terlalu berpengaruh, toh proklamasi sudah dibacakan.

Yang mengherankan, Eyang terlihat seperti sedang tertidur saja. Hanya bedanya kali ini dia tidur dalam posisi bersedekap dan dibalut kain putih. Dan kali ini tidurnya panjang, sangat panjang. Dan keningnya terasa dingin saat saya cium.

Jenazah dimasukkan dalam keranda. Sekarang saatnya ke Tanah Kusir.

Kami berangkat berombongan dan dipandu dua motor polisi untuk membuka jalan. Saya naik ambulans di bagian belakang dengan Om Wawan (jadi bertiga dengan Eyang). Sementara Ayah di depan, di samping supir dan petugas Yayasan Kemboja.

Sepanjang perjalanan, Om Wawan dan saya tidak banyak bicara tapi untunglah saya sudah terbiasa dengan keheningan yang menyergap. Saya hanya tinggal mengalihkan pikiran saja ke tempat lain.

Hanya bila keheningan sudah demikian memekakkan telinga dan saya tak bisa tahan lagi, saya mengajak Om berbicara. Selebihnya saya melakukan hal yang sama dengan dia — menatap jalanan lewat jendela dan membiarkan pikiran kami mengunyah keheningan.

Waktu terasa berjalan lambat dalam ambulans.

Sampai di Tanah Kusir, proses penguburan langsung dimulai. Jenazah diletakkan di samping liang lahat, kemudian tiga orang diminta turun ke dalam untuk menerima jenazah dan membaringkannya. Tiga orang itu adalah Om Arya, saya, dan Om Wawan.

Kami menerima jenazah dan menurunkannya perlahan, membaringkannya sedemikian rupa (“mukanya mesti nyentuh tanah”), membuka semua ikatan kainnya, lalu menyempalkan bulatan-bulatan tanah ke bawah Eyang.

Sekarang saatnya Om Arya mengumandangkan azan dan iqomah.

“Allahu Akbar.. Allaaaaahu Akbar!”

“Asyhadualla ilaa ha illallaaaaah!”

Begitulah. Dengan suara tercekik dan paling parau yang pernah saya dengar, Om Arya memaksakan diri azan sambil menahan tangis. Semakin lama dia semakin terlarut emosi dan melakukan keduanya bersamaan, azan sambil menangis. Nadanya pilu sekali. Kasihan dia — sementara dadanya dihimpit sesuatu, dia masih harus terus bersuara.

Persis di sebelahnya, saya gemetar ... Azannya terdengar sangat jelas. Saya tak tahu apa yang membuat azan ini terasa sangat panjang dan bila diingat-ingat, masih saja bikin ngilu sampai sekarang. Sebelum saya sadari air mata saya sudah meleleh.

(Saat menuliskan ini pun mata saya jadi perih)

***

Melihat saya sudah selesai mengaji dan menaburkan bunga + menyiramkan air mawar, si petugas jasa kebersihan “jika-dan-hanya-jika” mendekat. Dia meneruskan kembali pekerjaannya yang tertunda tadi. Crek-crek-crek.

“Katanya warnanya hitam?”

“Iya, saya tadi salah ingat.”

“Maaf Mas ya tadi saya nggak ikut ngaji.”

“Oh nggak papa. Udah Mas, nggak usah diterusin. Rumputnya kan udah rapi.”

Matahari sudah kian meninggi. Baju saya basah oleh keringat (dan kalau pipi saya berair pun sepertinya itu akibat keringat juga deh). Saya berdiri, memakai sandal, dan beranjak meninggalkan Tanah Kusir.

Selang beberapa langkah, saya kembali lagi untuk mengambil gambar buat kenang-kenangan, juga panduan bilamana lupa kelak.

Satu misi selesai sudah untuk bulan Ramadhan tahun ini.

Dapat Puisi

Sunday, September 02, 2007

Yulianti Eka Sasmita menulis satu puisi buat saya. Terimakasih banyak ya Yul. Jadi bingung nih mau ngomong apa he he hee. Oh ini saja. Saya suka deh baris ketiga bait kedua: “karena bilangan belum genap tanpa huruf”. Itu maksudnya “S” belum genap tanpa “1” kan ya?

Tapi saya sedikit heran, kenapa mesti ada samudera dan sungai-sungai segala sih hahaha :D
bumi ini masih berputar, ikram...
juga samudera tempat air serupa kawan
dari sungaisungai dangkal di kaki horison

kita masih muda, ikram...
jadi jangan murung walau sebentar
karena bilangan belum genap tanpa huruf

berjuanglah karena pena masih menanti
digoreskan pada temboktembok
pembebasan!
Sekali lagi terimakasih!

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by