Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Masuk Juru Kabar

Saturday, June 30, 2007

Siang ini saya baru tahu kalau ada yang namanya blog http://jurukabar.blogspot.com/, yang merangkum blog-blog wartawan ataupun bekas wartawan namun masih senang menulis.

Ternyata nama saya terdapat juga di dalamnya... Terimakasih ya pengelola! Jadi merasa wartawan betulan deh :)

Kalau boleh saran, mungkin akan lebih enak bagi pembaca jika format blog ini dibuat seperti http://planet.terasi.net/. Jadi setiap kali ada tulisan baru, langsung termuat juga di Juru Kabar. Entah semua entah sebagian, terserah. Yang jelas tidak hanya judulnya saja seperti sekarang ini.

Sekali lagi terimakasih. Juru Kabar - Aggregator blog wartawan Indonesia. Keren ya?

Andai Saya Redaktur Kompas

Thursday, June 28, 2007

Andai saya redaktur Kompas, akan saya tolak mentah-mentah opini Eko Wijayanto, dosen Filsafat Universitas Indonesia, yang berjudul "Terorisme, Demokrasi, dan Kosmopolitanisme" ini. Takkan saya biarkan dimuat!

Sebab opini Pak Dosen itu sudah bermasalah sejak kalimat pertama.
Hari-hari ini kita diramaikan berita tertangkapnya teroris Abu Dujana.
Kalaupun terlanjur diputuskan akan dimuat, akan saya sunting terlebih dahulu kalimat itu supaya tidak seenak jidat mencap seseorang sebagai teroris. Tentu akan saya kabari juga kepada Eko, supaya dia lebih berhati-hati menulis di kemudian hari.

Bagaimanapun juga dia seorang dosen. Bisa gawat kalau dia menularkan pola pikir seperti ini kepada para mahasiswa Filsafat.

Sayang sekali saya bukan redaktur tapi cuma pembaca biasa. Tapi saya berjanji jika suatu hari nanti saya redaktur, takkan kesalahan semacam ini terjadi lagi. Doakan ya!

And In This Crazy Life

Jusuf Kalla Tak Mampir Lama

Monday, June 25, 2007

Sabtu itu mestinya bakal jadi sama saja dengan Sabtu-sabtu sebelumnya di Jalan Ganesha. Para penjual makanan akan ramai mengelompok di sekitar jalan menuju Masjid Salman. Para juru parkir akan mengatur mobil-mobil yang berjejer mengisi tepian jalan. Angkutan kota akan hilir-mudik dan beberapa akan berhenti ngetem menunggu penumpang. Tapi pada Sabtu 7 April, ceritanya lain.

Tak ada satupun penjual makanan. Kehadiran mereka digantikan oleh ratusan aparat kepolisian yang berjaga-jaga, membentuk pagar betis di mulut jalan menuju Salman. Juru parkir juga tidak tampak. Kalaupun ada, apa yang hendak dibantu parkir? Truk polisi dan tentara tentu tidak butuh juru parkir berseragam oranye. Hari itu, yang secara terus-menerus hilir-mudik bukanlah angkot melainkan prajurit TNI berseragam tempur, yang berlari berkelompok.

(Satu-satunya yang berjalan seperti biasa mungkin hanyalah burung kowak yang bertengger di pepohonan).

Penyebabnya satu: kuliah umum bertajuk “Penyelesaian Konflik Secara Damai di Indonesia” yang menghadirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pembicara. Jusuf Kalla dinilai berhasil meredam tiga konflik di Indonesia (Ambon, Poso, dan Aceh) sehingga Program Studi Pembangunan Alur Pertahanan mengundangnya untuk berbagi cerita di Aula Barat pada hari itu.

Maka, sesuai prosedur pengamanan standar Presiden/Wakil Presiden, kawasan sekitar Aula Barat pun dibuat steril. Tidak sembarang orang boleh berada di situ. Hanya mereka yang mengantongi kartu undangan saja. Menurut rencana awal, kawasan ini akan ditutup mulai pukul 11.00 WIB. Pemberitahuan kepada warga kampus disebarkan lewat email dan selebaran di area parkir.

Tapi belakangan datang kabar bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Bandung Raya akan melakukan demonstrasi terhadap kedatangan Jusuf Kalla. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (pemandangan demonstrasi tentu bukan sesuatu yang elok dipandang), rencana penutupan pun diubah menjadi sejak pagi hingga sepulangnya Wapres.

Karena mendadak, perubahan rencana ini tak sempat dikomunikasikan dengan baik kepada warga kampus. “Hari Sabtu jarang yang buka email,” kata Bambang Setyadji dari Kantor Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Informasi.

Akibatnya jelas. Kehebohan tak terhindarkan.

Tabloid Boulevard ITB memberitakan, sebanyak 77 mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati terpaksa melaksanakan ujian di pelataran Masjid Salman. Kepada Pikiran Rakyat, dosen Biologi Umum Rina Ratnasih mengaku “mengambil soal pun dikawal”.

Cerita kegusaran tak berhenti sampai di situ. Sebut saja, mahasiswa Biologi yang semestinya memberi makan hewan percobaan mereka. Atau mahasiswa Kimia yang sedang melakukan praktikum. Kedua keperluan ini jelas batal terlaksana gara-gara ditutupnya kampus.

Acara “Trend Desktop 2007” yang sedianya diselenggarakan di Comlabs juga mesti berpindah tempat ke Gedung Annex di Tamansari.

Mahasiswa meradang. Terlebih lagi, mereka tak mendapatkan jawaban yang jelas atas segala kehebohan ini. Djadji Satira dari Kantor Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan mengatakan, karena sudah menyangkut keamanan Wapres, kendali tidak di tangan mereka. Mashudi dari Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung juga mengaku pihaknya hanya bertugas mengisolasi area. Semua jawaban bernada sama: “sudah prosedur”.

Terhadap begitu banyaknya aparat keamanan yang dikerahkan, seorang mahasiswa bernama Anggun Oktari mengatakan di blognya. “Bapak teh mau ke kampus atau kandang teroris?”

***

Seisi Aula Barat bangkit dari duduknya ketika Jusuf Kalla dan rombongan – salah satunya mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin – memasuki ruangan. Sebelum acara dimulai, mereka mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu Rektor ITB Djoko Santoso menuju mimbar, memberikan sambutan.

Sayup-sayup, orasi BEM se-Bandung Raya terdengar sampai ke dalam.

Kalau Djoko seakan tak hirau (ia tetap lancar membacakan sambutannya tanpa terpengaruh), tidak demikian dengan Jusuf. Begitu sampai di mimbar, ia langsung memerintahkan Kapolda supaya “Itu mahasiswa suruh diam. Ajari mereka demokrasi – kalau kita bicara, mereka diam.” Hadirin tertawa mendengar perintah yang tidak terlaksana ini. Sampai ujung acara, suara orasi mahasiswa masih saja terdengar.

Jusuf mengawali kuliahnya dengan bercerita soal keterlibatannya dalam usaha-usaha penyelesaian konflik di Indonesia. Ia mengaku dirinya terlibat secara tidak sengaja. Sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat waktu itu, ia bertanggungjawab mengurusi sekitar 250 ribu pengungsi di Poso. Sesampainya di Poso, ia menemui kenyataan bahwa saat itu ada kesalahpahaman luar biasa di antara kedua kelompok yang bertikai.

“Yang Islam bilang, kalau kau bunuh Kristen kau akan masuk surga. Yang Kristen juga bilang, kalau kau bunuh Islam kau masuk surga. Jadi mereka jual murah surga”

Padahal menurutnya, akar konflik sebenarnya adalah masalah politik. Gara-gara kekalahan dalam pemilihan kepala daerah, yang dikait-kaitkan dengan persoalan agama. Mengetahui akar konflik akan sangat berguna dalam menyelesaikannya. Untuk memberantas kesalahpahaman itu, Jusuf menantang kedua pihak untuk menunjukkan ayat kitab suci, yang menyebutkan janji mendapat surga dari membunuh itu.

Apa saja kiat-kiat penyelesaian konflik? Antara lain, pentingnya menjaga kepercayaan kedua belah pihak yang bertikai. Ini berarti tidak boleh ada perbedaan perlakuan. “Kalau saya pergi ke masjid satu hari, maka saya juga harus pergi gereja satu hari. Mesti adil.”

Ia juga menekankan pentingnya menunjukkan keberanian. Pihak penengah tidak boleh terlihat takut. Kemudian, selalu usahakan bertemu dengan orang yang paling “keras”. Kalau panglima sudah ditundukkan, maka yang lain akan menurut. Inilah sebabnya Jusuf Kalla tidak memakai jasa pengawalan selama berada di daerah konflik. Ia juga pergi sholat subuh ke masjid tanpa dikawal, supaya orang mendapat pesannya: tak ada ketakutan.

Kuliah umum ini seperti acara “behind the scene” – menceritakan apa yang belum terungkap.

“Kita mesti memahami mereka. Baca buku tentang daerah mereka, sejarah mereka, dengarkan musik, ingat tanggal-tanggal,” kata Wakil Presiden, “tapi kalau lupa sebut saja sembarang tanggal. Mereka juga sama nggak ingat kok itu. Hahahaha.”

“Dalam setiap perundingan, saya selalu kasih selang waktu tiga hari saja. Supaya mereka tidak bisa berpikir lama-lama atau berubah pikiran.”

“Saya katakan kepada pihak yang berkonflik. Ada tiga pilihan: pertama, tambah jumlah peluru dan senjata supaya kalian bisa saling membunuh lagi. Supaya masuk surga semuanya. Mau? Tidak. Kedua, saya tambah jumlah tentara. Tidak mau juga? Ah yang ketiga, hentikan konflik ini. Akhirnya mereka memilih opsi yang ketiga ini.”

Acara kuliah umum Jusuf Kalla ini, sebagaimana yang diharapkan Djoko Santoso, berhasil memberikan pandangan lain tentang penyelesaian konflik – khususnya di Indonesia. Sebab, selama ini literatur soal penyelesaian konflik yang ada kurang membahas Indonesia.

***

Hingar-bingar yang terjadi seputar kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla meninggalkan pelajaran rumah bagi ITB untuk memperbaiki lagi perihal komunikasi publik. Secara resmi, memang tidak ada kegiatan akademis pada hari Sabtu – tapi bukan berarti tidak perlu ada pemberitahuan bahwa kampus akan ditutup bagi warga kampus selain undangan, bukan?

Tetap saja, perlu dicari tahu bagaimana caranya supaya ITB bisa menjadi penyelenggara acara yang baik, yang tidak menyusahkan siapapun.

------
Berkala ITB edisi Mei 2007

Tidak Kalian Baca Rupanya?

Thursday, June 21, 2007

Saya tidak terlalu mengerti mengapa Kompas (21/6) hari ini mengatakan puisi di bawah ini sebagai isyarat kerinduan SBY akan harmoni. Puisi ini dibuat dan dibacakannya secara spontan dalam sebuah acara pada tanggal 14 yang lalu.

Terbanglah wahai kebebasan
bersama angin dan burung-burung camar di langit biru
yang melambai dan terus mengepak
melantunkan dendang dan salam rindu


Pertamanya memang terkesan indah dan mendayu-dayu sih. Ada angin, burung camar, melambai, mengepak... Ada pula dendang dan salam rindu. Amboi... Siapapun yang mendengar pasti terbuai.

Tapi tidak kalian baca rupanya baris pertama puisi itu? Dia jelas-jelas ingin kebebasan di negeri ini terbang jauh bersama angin dan burung-burung camar segala macam, yang melambai mengepak berdendang... di langit yang biru hantu blau!

Satu Kata Dua Arti: Sejak Kapan Percuma Jadi Gratis?

Monday, June 18, 2007

DI INGGRIS, BILL BERARTI jumlah uang yang harus dibayarkan alias tagihan. Tapi di Amerika Serikat bill berarti uang kertas. Kemudian di Inggris, rubber adalah sesuatu yang digunakan untuk menghapus tulisan (pensil). Tapi di Amerika rubber adalah sesuatu yang digunakan untuk mencegah kehamilan dan/atau penyakit menular lewat seks. Jadi bukan, ini bukan tentang sinonim. Ini tentang satu kata dua arti.

Meski sama-sama penutur bahasa Inggris, tidak semua kata (dan istilah) lantas dimaknai sama di Inggris dan Amerika. Dan perkara serupa juga terjadi di dekat kita, di satu sudut Asia Tenggara ini. Di Indonesia butuh adalah perlu. Tapi di Malaysia butuh adalah sesuatu yang bisa dipakaikan rubber tadi.

Ketika seorang Indonesia menjemput temannya, dia akan menemui/mendatangi si teman itu. Tapi ketika orang Malaysia menjemput temannya, dia sebenarnya sedang berharap temannya itu datang kepadanya.

Nah, salah kaprah akan terjadi jikalau antar penutur bahasa tidak ada kalibrasi sebelumnya.

“Dude, got any rubber? It’s for tonight – if you know what I mean,”

“Oh sorry mate, forgot to bring my pencil case today.”

“You keep your rubber in you pencil case? DUDE, keep it in your wallet!”


Ya, mungkin tidak persis benar, tapi seperti itulah ujungnya: keheranan. Itu masih bagus. Kalau percakapan yang melibatkan butuh tanpa kalibrasi? Nggak tahu. Bisa-bisa perang saudara barangkali. Hahaha.

***

DI KOMPAS (16/6) SILAM ada sebuah tulisan dari Arya Gunawan, Koordinator Seksi Komunikasi UNESCO Kantor Jakarta, yang membahas soal perbedaan pengertian kata/istilah di tiga negara penutur bahasa Melayu. Judulnya “Awas, Periuk Api!”.

(Kita ikut senang karena kolom bahasa Kompas akhirnya kembali ke jalan yang benar – menyajikan tulisan yang memang membahas persoalan kebahasaan, bukan hal lain-lain seperti teologi atau normal/tidaknya pelaku homoseksual).

Dalam versi panjang tulisannya, Arya memberikan lagi contoh-contoh satu-kata-dua-arti. Di Malaysia, para pemain sepakbola berpayah-payah lari kesana-kemari hanya untuk “melakukan jaringan”. Aneh kan? Kalau sekedar buat jaringan kan mereka cukup masuk himpunan atau ikut seminar atau pelatihan emotional inteligence semacam Siaware. Rupanya di Malaysia, jaringan berarti bola masuk gawang!

Sekarang, mari kita lihat contoh yang menarik ini. Percuma di Malaysia merujuk kepada sesuatu yang tak perlu dibayar pakai duit. Sedangkan di Indonesia, percuma merujuk kepada sesuatu yang tak ada guna, sia-sia. Hey, sejak kapan?

Bukankah kita di Indonesia pernah menggunakan percuma dengan pengertian yang sama dengan orang Malaysia?

Naik kereta api tut.. tut.. tuuut.. Siapa hendak turut… Ke Bandung, Surabaya.. Bolehlah naik dengan percuma...

Tuh kan, paling tidak sewaktu Ibu Kasur menciptakan lagu “Naik Kereta Api” dulu, baik orang Indonesia maupun Malaysia memaknai percuma dengan pengertian yang sama.

Kalau begitu sejak kapan percuma kita ganti dengan gratis?

------
“English usage in the UK and USA” dari Krysstal.com

Happy Idul Citos

Sunday, June 10, 2007

It was a day after Idul Fitri. In the morning we the kids woke up and somehow didn't know what to do. It is indeed a fun thing, to gather up with the big family, but somehow it leaves us kids nothing to do. The parents can chat as long as they can but what about us? Playstation is never enough, you know.

And so my sister came up with this idea.



We quickly drove to Cilandak Town Square. Don't ask me how eight people could make it into a small Starlet, because all I knew was we got there safely. We went to a photo studio (which I remembered wasn't open yet) and took pictures of ourselves there. A new way to start the day after Idul Fitri had come.

It was so spontaneous that one person in the picture hadn't even taken a bath. Can you guess which one? :)

Indon(esia!)

Thursday, June 07, 2007

Pandangan mata saya tak sengaja tertumbuk pada berita singkat itu; yang berkejaran dengan berita lain di sisi bawah layar Metro TV. Isinya kurang lebih begini: masyarakat Indonesia di Malaysia memprotes media Malaysia yang sering menulis “Indon” untuk “Indonesia”.

Dari Detikcom dan ANTARA saya kemudian membaca berita yang lebih lengkap. Rupanya, pada Sabtu (12/5) silam, berlangsung seminar di Kuala Lumpur yang bertajuk “Indonesia dalam Pandangan Pers Malaysia”. Pada seminar inilah protes tadi dilancarkan.

“Di dunia ini tidak ada yang mengenal Indon. Yang adalah Indonesia,” kata Eka A. Soeripto, Atase Penerangan KBRI Malaysia. Ucapan Eko ditanggapi oleh Zainudin Ayib, redaktur tajuk rencana pada Berita Harian yang mengatakan “kata itu hanyalah merupakan kependekan saja. Bukan bermaksud untuk melecehkan dan merendahkan bangsa Indonesia.”

Sampai sini saya tidak bisa tidak tersenyum. Sebagai bagian dari bangsa yang tak kalah seringnya memenggal kata, buat saya protes masyarakat Indonesia itu terasa menggelikan.

Mungkin karena saya berasal dari Depok, Jawa Barat. Kalau suatu hari nanti Anda berkesempatan mengunjungi kota asal saya itu, jangan heran jika mendengar para supir angkot D.06 ramai-ramai berteriak “minal” atau “pangan!” kepada penumpang. Bukan, mereka bukan sedang mengucapkan “minal aidin wal faidzin” atau sesuatu yang berhubungan dengan “sandang pangan papan”. Yang mereka maksudkan adalah “(ter)minal” dan “(sim)pangan” – sesuai trayek mereka.

Supir-supir yang lain juga tak mau kalah. “Minggu minggu!” bagi mereka yang hendak menuju Pasar Minggu. “Bayoran” untuk Kebayoran. “Mestik” untuk Mayestik. Dan “Rambutan!” – supir yang satu ini bukan sedang beralih jadi penjual buah, tapi murni menyerukan tujuan dia: Kampung Rambutan.

Ketika pergi ke Bandung untuk berkuliah, saya menemukan hal serupa terjadi juga di sini. “Sion” kata supir angkot yang menuju Statsion. Lalu ada pula supir yang menyebut “Caheum” untuk Cicaheum, serta “Panjang!” untuk Terminal Leuwipanjang. Saya tak heran.

Bagaimana dengan kampus? Well, saya memang jarang pergi meminjam buku ke perpus. Tapi saya sering kok berjalan kaki melewati plawid. Biasa saja. Kalau sedang suntuk, maka dalam kuliah saya tidak akan konsen dan perlu entertain. Sangat wajar. Teman-teman saya banyak pula yang mengucapkan Amrik dan Aussie. Mereka yang pakai distro Ubuntu akan menginginkan DVD repo supaya tidak payah mendownload lagi.

Sepupu saya, yang mendapat nilai jelek dalam ulangan umumnya, bercerita dirinya pekan depan akan menghadapi remed. Sama sekali tanpa maksud melecehkan atau merendahkan. Dan di Friendster teman saya mengirim pesan “Krom, kemana aja? Isi testi gua yak!”

Pemerintah saya? Oh, mereka bertahun-tahun sudah melakukannya. Apalagi militer/kepolisian. Coba saja, kita tentu akrab dengan jargon, akronim, dan singkatan, yang menurut Farid Gaban (wartawan, pernah berkuliah di Planologi) bertujuan supaya “kelompok masyarakat lain tidak paham apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan”.

Saya hidup di lingkungan manusia penyingkat dan pemenggal kata. Saya akan merasa sangat malu untuk memprotes orang lain supaya berhenti melakukannya, sementara bangsa saya sendiri melakukan hal serupa. Setiap hari setiap saat.

***

Tentu saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Saya tidak boleh menutup mata bahwa dalam kehidupan, tidak semua kata halal disingkat. Pasti ada alasan yang kuat mengapa kita menyebut para orangtua sebagai “lanjut usia” (lansia) ketimbang “usia lanjut” (sialan). Dan mengapa teman-teman dari Sumatera Selatan tidak membentuk Keluarga Mahasiswa Palembang (sebab nanti bisa-bisa disingkat kampang). Konotasinya buruk!

Dan inilah yang terjadi pada “Indon”. Konotasinya konon buruk.

Kata “Indon” mulai menjadi populer di Malaysia ketika media sana menyiarkan berita mengenai perbuatan kriminal yang dilakukan orang Indonesia. Misalnya, “Mafia Indon Mengganas” atau “PRT Indon Menculik Anak”. Lambat laun, persepsi orang terhadap “Indon” tidak lagi bagus (atau setidaknya netral) melainkan jelek. Seorang teman pernah bercerita, “Indon” artinya mirip “Preman” di sini. Anak yang nakal akan dimarahi, “Mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi indon?”

Sayangnya, pemberitaan ini tidak seimbang. Dalam seminar yang sama, pengamat media dari Universiti Kebangsaan Malaysia Nasrullah Ali-Fauzi, mengatakan, pers Malaysia dalam menyiarkan berita kriminal seringkali mengutip hanya satu sumber saja, yakni kepolisian. Tidak ada usaha-usaha penelusuran lebih jauh.

“Akibatnya banyak pekerja Indonesia dirugikan,misalkan, PRT Indon dituduh mencuri anak padahal jika si terdakwa diwawancari ternyata anak itu merupakan hasil dari perselingkuhan. Anak itu juga merupakan anak PRT Indonesia padahal sudah ramai pers Malaysia memberitakan hal itu,” kata Nasrullah.

Hmm, untuk urusan check and balance sepertinya media kita juga sama malasnya. Maka baik mereka maupun kita sepertinya mesti sama-sama belajar supaya lebih ketat lagi dalam verifikasi.

Tapi tetap, menolak kata “Indon” sebab ia berkonotasi kriminal dan buruk adalah sebuah langkah aneh. Pertama, kata “Indon” tidak berarti apa-apa. Sepanjang kata itu tidak ring a bell di kepala saya, saya sih santai saja. Ini sama seperti kita dipanggil “xeslgh@%#sd;ai”. Tak ada arti, mana bisa ada konotasi.

Lagipula media Malaysia tidak secara khusus menyebut “Indon” untuk urusan kriminalitas semata. Farah Mahdzan, seorang Malaysia yang memiliki perhatian besar terhadap masalah Indonesia, di blognya menunjukkan kliping judul berita di beberapa media. Di antaranya: “Indon pop diva launches autobiography”, “SBY’s hit list: Indon president gives cops 100 days to nab top M’sian terrorists” dan “Indon politicians in bitter dispute” dan masih ada lagi.

Zainudin Ayip benar. “Indonesia” rupanya terlalu panjang sehingga sulit untuk ditulis atau diucapkan penuh. Kita bisa bilang apa? Padahal antara “Indonesia” dan “Malaysia” hanya berbeza satu huruf sahaja, ya kan Encik? Tak apalah. Kami tak kisah.

Kedua, masalah konotasi adalah masalah pencitraan dan persepsi. Baik dipenggal maupun ditulis utuh, kata “Indonesia” sudah memiliki citra sendiri. Ucapkan “Indonesia” kepada 100 orang dan kita akan mendapatkan 100 persepsi yang berbeda. Baik buruk halus kasar, itu terserah mereka. Ini urusan persepsi – tak bisa kita paksakan supaya citra kita selalu bagus. Berusaha supaya bagus iya, memaksakan tidak.

Bagaimana caranya supaya citra bagus? Mengutip kalimat diplomat terkenal mantan duta besar RI di Australia Wiryono Sastrohandoyo, If you want to change the perception, you should change the reality first.”

------
Berkala ITB edisi Mei 2007

We All Makke Misttakes

Sunday, June 03, 2007

It's hummanly impossible to be perrfect all the time, yes?



Hillary Clinton: New Jobs for Tommorrow (with double m).

------
Read the story from The Daily Telegraph here.
Picture taken from them, too.

Why Do They Not Let Us In?

Saturday, June 02, 2007



President of ITB's student body Zulkaida Akbar (holding a book) and his fellows. Students were anxious because they were forbidden to enter the campus without any prior notice.

Due to a general lecture given by Vice President Jusuf Kalla on conflict resolution in Indonesia, the campus was "sterilized" and strictly closed to non-invitee, including these students who just wanted to go inside.

April 7th, 2007.

Just Arrived

Friday, June 01, 2007



Vice President Jusuf Kalla, on April 7th 2007. Looked so cheerful to me. What did he know about the forced-to-be-closed campus and "sterilized" area, anyway?

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by