Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Where Does "Reboisasi" Come From?

Thursday, November 30, 2006

This one goes for Andre

Just type reboisasi in Google (or Yahoo!, whichever you prefer) and get ready for thousands of results coming up. I myself found 75,000 from Google.co.id and 74,900 from Google.com, and all of them are Indonesian sites. Said earlier you wondered where the word comes from, right?

Simply by looking at the form it has, it's normal to guess this one is from English. Let's see, the suffix –isasi must be derived from –tion (altering a noun from a process), right? And the prefix re– must mean repetition, okay? So why not type reboisation now. How many will we get?

Only 62? Whoa, it can't be that then. Maybe we mistyped it. What about reboitation? Looks more English, yes?

Err... only 24? Can't be that too, then.

Geez. How come the stupid American and English people never heard of anything about “the process of restoring and recreating areas of woodlands or forest that once existed but were deforested”?

(The stupid was me. They call it reforestation there!)

Well, it's crystal clear that both reboisation and reboitation are only fictitious words made up by Indonesian. I bet you agree we Indonesian are real good at it, hahahah. And you know what... I silently typed reboisasion and found 22 pages indeed. All of them are from ITB Bandung. What a shame.

Anyway, back to our mission.

If not English, so where does reboisasi really come from? I am beginning to get scared now. I have heard about that word ever since I was in elementary school. I was trained to say it quickly with no-thinking whenever my teacher asked us about what we should do about our forests (you did the same, I believe). I must get it. I don't want to die before knowing where the hell we imported the word from :)

So I crossed my finger and checked for reforestation on Wikipedia. I was hoping I would see something helpful. As helpful as it can get, I came across this bottom-left box titled “in other language”. Oh yeah.

You know what happened when I ran the cursor over “Dutch”? I get to know that they call it aufforstung in Netherlands. And you know what happened when I ran the cursor over “French”?

I get to know that they call it... Eureka. Look what we've got here.

Well then, regarding the similarity and me being a dumb-ass, I'd say it's French. Reboisasi is derived from reboisement (don't bother to ask me how to pronounce it). Bois means wood. Apparently investment is not the only word we imported and treated bad. Reboisement too, from –ment become –isasi. But nah, I'm sure you're not surprised.

PS. I am now a bit suspicious we import that investasi word from them, too.

------
  1. Result for reboisasi on Google.co.id
  2. Result for reboisasi on Google.com
  3. Result for reboisation on Google.co.id
  4. Result for reboitation on Google.co.id
  5. Result for reboisasion on Google.co.id
  6. Affixation on Wikipedia
  7. List of English suffixes on Wikipedia
  8. Reforestation on Wikipedia
  9. Reboisement on Wikipedia
  10. Investissement on Wikipedia
  11. Bois on Wikipedia

Pipanisasi vs. Pemipaan di "Kompas"

Tuesday, November 28, 2006

Harian Kompas edisi Kamis 9 November 2006 silam memuat berita berjudul “Pipanisasi Gas Terancam Batal”, yang bercerita soal ketidakpastian pelaksanaan pembangunan jalur pipa dari Kalimantan Timur ke Jawa Tengah.

Sekilas memang seperti tak ada yang salah. Pipanisasi dengan cepat saya pahami sebagai pemasangan pipa guna keperluan penyaluran gas alam ke tempat tujuan. Tapi kemudian ada yang aneh. Bahasa apa ya pipanisasi itu – Indonesia atau Inggris? Kalau Indonesia, mengapa bukan pemipaan? Kalau Inggris, sepertinya bukan. Orang Inggris kan menuliskannya piping, bukan pipanization.

Maka sadarlah saya bahwa ini bahasa Indonesia. Bertambah lagi deh satu contoh betapa pintarnya orang Indonesia dalam menciptakan kata baru (yang salah).

Seperti yang kita ketahui, bahasa Indonesia tidak mengenal pembentukan kata menggunakan akhiran -isasi. Kalau ada kata-kata seperti itu, maka itu kita datangkan dari bahasa Inggris yang berujung -ization atau -isation. Itulah mengapa ada “standar” dan ada “standardisasi”. Dua-duanya kita serap langsung. Standardisasi datangnya dari standardization, bukan standar + isasi.

(Tatacara penyerapan ini sebenarnya juga sedikit bikin bingung. Kalau memang -ization jadi -isasi kenapa “d” di situ tak sekalian dihilangkan saja? Serupa juga dengan aktif dan aktivitas. Kalau memang dalam menyerap kita boleh mengutak-atik, kenapa nggak sekalian “v” diganti “f”)

Soal mengapa harian sekelas Kompas bisa teledor berbahasa; jangan tanya saya. Soalnya, keteledoran berbahasa itu sama-sama dipelihara oleh masyarakat dan media massa.

Cerita ini belum selesai. Keesokan harinya, Jumat 10 November 2006, turun berita berjudul “Pemerintah Harus Konsisten” yang memuat pandangan ekonom Faisal Basri supaya merencanakan proyek-proyek infrastruktur dengan matang. Dalam berita ini, kata pipanisasi masih bertebaran.

Nah, dua hari setelahnya, Sabtu 11 November 2006, berita tentang pemipaan gas itu turun lagi. Kali ini judulnya “Proyek Pemipaan Gas Tetap Jalan”. Isinya adalah pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal kepastian pelaksanaan proyek itu. Kata pipanisasi sudah tak ada, berganti pemipaan. Apakah mereka sudah menyadari kesalahan?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Coba lihat apa yang mereka tulis selama November ini:

Pada Selasa 14 November 2006, mereka pakai pemipaan dalam “Angkutan Kapal Lebih Ekonomis dari Pemipaan”.

Pada Rabu 22 November 2006, mereka masih pakai pemipaan dalam “Prioritaskan Gas untuk Kebutuhan Pasar Domestik”.

Pada Jumat 24 November 2006, mereka balik pakai pipanisasi dalam “Rusia Siap Bantu RI soal Senjata”.

Dan pada Sabtu 25 November 2006, mereka balik lagi pakai pemipaan dalam “Ekspor Gas Sudah Tidak Menguntungkan Lagi”.

Dari sini, sangat besar kemungkinan Kompas punya dua redaktur bahasa yang bekerja bergantian. Kalau hari ini si A yang bertugas, maka pipanisasi. Besok si B yang bertugas, maka giliran pemipaan. Atau bisa juga mereka bekerja bersamaan, dan persoalan pipanisasi vs. pemipaan diputuskan lewat gambreng atau suit tangan.

Atau mungkin juga hanya ada satu redaktur bahasa, dan pemakaian dua kata itu bergantung pada suasana hatinya. Sebagai pembaca, saya tak tahu dan hanya bisa bingung.

Parkir di Trotoar

Wednesday, November 22, 2006

Ayah suatu kali pernah bercerita tentang suatu area di luar negeri, dimana lebar trotoarnya dua kali lipat lebar jalannya. Trotoar yang lebar membuat orang yang berjalan kaki di situ jadi nyaman.

Kalau di Bandung, persisnya di sepenggal Jalan Banda ini, trotoar yang lebar malah membuat orang yang hendak parkir mobil yang jadi nyaman.



Di badan jalan sebenarnya sudah disediakan tempat parkir mobil, tapi itulah anehnya: pembatas jalan (yang mirip papan iklan) dengan eloknya justru bertengger di situ.

Pertamina On The Move

Tuesday, November 07, 2006

1
Pompa bensin di kilometer 19 jalan tol Jakarta-Cikampek. Saya baru saja selesai bilang hendak mengisi bensin berapa rupiah, saat seorang perempuan berkaus merah-putih datang mendekat. Seorang sales promotion girl. Dia menyodorkan kepada saya stiker dan pamflet bertuliskan hak-hak konsumen Pertamina.

"Sudah tahu belum hak-hak yang didapat konsumen Pertamina?"

Belum. Lalu dia membacakannya satu per satu dengan cepat. Saya sebenarnya berharap dia akan berlanjut dengan "Nah sekarang, sudah dapat belum hak-haknya?" tapi ternyata tidak. Padahal kan itu juga pertanyaan penting. Lebih penting malah.

"Mau stikernya ditempelkan di belakang mobil?"

Nggak usah. Jangan dibikin heboh deh Pertamina sedang berusaha memenuhi hak konsumen. Itu kan sama juga artinya Pertamina sedang memenuhi kewajiban sendiri. Kenapa kami mesti senang riang gembira tempel-tempel stiker, atas sebuah usaha pemberian sesuatu yang sudah jadi hak kami sejak awal?

"Mau dimintai data-datanya? Nanti akan diikutkan dalam undian. Kalau menang bisa dapat motor, loh.."

Nggak ah.Kalau saya di sini lebih lama lagi, orang belakang bakal terhambat. Dan mereka, saya kira, tentu nggak akan senang kalau ada orang berlama-lama saat mengisi bensin. Biarlah suatu hari nanti saya beli motor pakai uang sendiri.

2
Pompa bensin di kilometer 19 jalan tol Jakarta-Cikampek. Pada beberapa outlet, ada papan bertuliskan "PREMIUM SEDANG DALAM PENGISIAN". Ada juga yang "PREMIUM HABIS". Wah gawat nih bisa-bisa nggak sampai Bandung. Eh tapi kalau memang bensin habis, lantas Avanza depan itu sedang apa?

Batari jalan terus. Saya turun, hendak ke Alfamart. Sambil lewat, saya tanya salah seorang SPG apa benar premium habis. Dia bilang, "Oh nggak kok... Ada."

"Loh terus itu tulisannya di papan?"

"Oh itu... Biarin aj -- "

"Biarin aja gimana? Kan bikin bingung?!"

Si SPG mendekati papan sialan itu dan memutarnya sedemikian rupa sehingga tak terbaca lagi dari jauh. Saya sebenarnya sadar kegiatan barusan tidak termasuk dalam job desc-nya. Ya maaf deh. Siapa suruh kamu berdiri-diri dan membicarakan sesuatu tentang hak konsumen?

Pada saat saya keluar dari Alfamart, Batari masih isi bensin. Di outlet yang sama dengan tempat si SPG tadi bertugas, pula. Ini bagus. Setelah apa yang saya lakukan terhadapnya, saya kira si SPG tak akan tanya-tanya Batari. Rupanya saya salah.

Dan dia rupanya juga salah pilih orang sore itu. Dia baru mulai beberapa kalimat saat Batari memotongnya dan bilang "Sudah pernah, Mbak..."

"Kalau sudah pernah, kok stikernya tidak dipasang?"

"Loh, bukannya stiker itu dipasang kalau saya puas?" kata Batari kalem. Si SPG diam.

Kamu mungkin berpikir kami berdua kelewatan atau salah sasaran. Tapi, sebagaimana saya bilang tadi, siapa suruh dia berdiri-diri dan berbicara sesuatu tentang hak konsumen?

Membicarakan hak-hak konsumen, apalagi persis di pompa bensin, sama saja dengan mengorek luka lama. Setelah sekian lama kita dibohongi, dicurangi, tiba-tiba kita diajak ngobrol soal hak-hak konsumen, dan diajak bergembira ria tempel stiker serta ikut undian? Bah.

Saya sih berharap kelakuan kami berdua ini akan masuk ke dalam laporan buat atasannya. Supaya mereka tahu bahwa tidak semua konsumen bisa mudah dibujuk dengan selembar stiker dan undian berhadiah.

Bahwa ada segelintir konsumen yang mengerti, bahwa ketika seseorang sedang berusaha memenuhi kewajibannya sendiri, sesungguhnya bukan gembar-gembor promosi yang ia butuhkan.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by