Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Backstage

Sunday, July 31, 2005

setangkai mawar putih itu berpindah tangan
dan entah mengapa hati ini malah sesak setelahnya

Figuring It Out

Sunday, July 24, 2005

I was already halfway to fall asleep when my lovely cellphone made a beep. Expecting it from someone (could be a "goodnight", "sweetdreams", "I miss you", who knows?) I opened it quickly. Guess what, it was a question.

"Kram, gw bego banget ya?" she asked.

"What's wrong?" I asked back.

"Ga tau, gw kayak jalan di tempat. Kayak makan dulu sebelum kondangan. You know what I'm talking about.."

Being a good friend, I then pushed myself hard to figure out what those words meant. I do know "jalan di tempat" -- it's as if you're doing something useless. You are still on the same place you've been trying to go from. But I really couldn't understand the meaning of "makan dulu sebelum kondangan". Indeed it was the first time I heard the funny phrase!

But still I replied to her some good advices I had in mind, hoping that they would do. Lucky me, they did -- or so I thought. You know, asking whether you're stupid or not to someone -- who is already a stupid -- has been clearly a big stupidity. So I should have said YES from the very start.

------
Hey, cheer up :)

Beauty Case

Wednesday, July 20, 2005

Semestinya tak ada yang salah dengan Nadja Sinka Suwita. Dia cantik berwajah oval dengan rambut ikal sedikit keriting. Di usianya yang 25 tahun, dia bekerja sebagai konsultan desain interior. Gajinya lumayan nutup, buat Nadja yang senang berbelanja barang-barang mahal tanpa rencana (dia menyebut dirinya impulsive buyer). Apalagi dia tak perlu mengeluarkan uang buat tempat tinggal, sebab tinggal bersama Shana kakaknya, dan Chika keponakannya.

Nadja ini punya dua teman baik, Dian dan Obi. Bekerja di sebuah firma hukum, tugas utama Dian malah menyembunyikan aib bosnya (yak betul! yang berselingkuh dengan model) dari pengetahuan istri si bos. Sedangkan Obi, menangani hubungan publik dan promosi di sebuah radio swasta di ... Jakarta (tentu). Obi banyak bertindak sebagai 'makelar' Nadja untuk beberapa proyek. Nadja menyebut laki-laki berpipi tembem ini sebagai germonya. Tentu, dalam tanda kutip.

Dan lewat Obi pula Nadja berkenalan dengan Budi, sewaktu siang itu mereka sedang di kafe. Nadja langsung merasakan "sensasi kecil yang menyenangkan" persis di detik dia mendengar suara Budi menyapa Obi. Ketika dia menoleh, dia menatapnya: sosok tinggi ramping yang gerakannya anggun berwibawa -- persis cheetah jantan -- gagah berwajah familiar kharismatik menentramkan siapapun yang melihat dan beraroma badan ringan, tapi liat, dalam, dan menggoda.

Singkatnya, "definitely a 'prince-charming' type".

Mungkin sebab itulah secangkir ice latte Nadja sontak tumpah tepat ke selangkangannya sendiri.

Kamu heran, mengapa awal perjumpaan Nadja-Budi bisa seheboh itu? Atau apa sebab secepat itu Nadja merasakan sensasi sprite di sekujur badannya, di menit-menit awal?

Saya sih tidak heran. Kuncinya ada pada nama lengkap Budi: Budiarsyah NASUTION.

Huehehehe.

***

Nadja memang tokoh utama dalam chicklit "Beauty Case" karya Icha Rahmanti (Cintapuccino, Juni 2004). Buku ini sebenarnya pernah ada di genggaman saya pada Mei 2005 lalu, tapi itu buat kado. Hari Minggu kemarin akhirnya saya baca juga -- pinjam dari Karima.

Jadi inilah alasan sesungguhnya untuk tidak berheran-ria terhadap beberapa adegan yang bikin kita ber-ah-masa-sih: ini semua adalah chicklit.

Tak perlulah kita mengira-ngira berapa rupiah diraup Nadja setiap proyek. Memang sih, dia mengeluh miskin, bernasib tak seberuntung Obi yang terlahir anak orang kaya, dan bertekad indekos (Shana selalu menasehati dia lekas dewasa). Tapi toh dia beberapa kali diceritakan "tanpa kesadaran penuh" pergi ke butik di Kemang.

Sebab di chicklit, yang penting itu pergulatan batin si tokoh utama. Dia boleh saja menjerit "gua bokeeek!", tapi detik berikutnya dia sudah menjerit pula "aduuh, bagus bangeeet bajunya!". Lantas belakangan muncul narasi, entah suara hati atau suara Tuhan, yang berisikan penyesalan.

Pun tak usahlah kita heran mengapa ada orang jenis Bian alias Max, seorang sutradara yang katanya anak Grunge, bersikap sedingin es kering kepada Nadja tapi juga maniiiis sekali kepada Dania Soedjono. Bian alias Max, yang disosokkan antikemapanan, pergi merayakan tahun baru ke Gunung Gede -- namun pulangnya membabati Edelweiss biar "semua orang dapet".

Sebab di chicklit, apa lagi yang Indonesia, profiling atau penyosokan memang dilakukan alakadarnya. Kalau nggak baik ya jahat, itu yang paling jamak (persis di sinetron di televisi). Tapi di Beauty Case lebih parah: sebuah tokoh bertindak melawan koridor penyosokan sendiri.

Saya paham, mungkin Icha Rahmanti berusaha menampilkan ironi kehidupan disini. Bian alias Max (ya ampun, penting banget ya ditulis dua-duanya Krom?) yang jarang cukuran dan berpakaian mirip gembel, di ujung kisah menjelma jadi ganteng dan rapi dalam "setelan blazer gelap yang tangannya ditarik tiga perempat". Budi Nasution, keponakan Haslan Nasution yang bekas akademisi dan kini maju ke pemilihan presiden, ternyata tipe laki-laki yang suka memaksa. Seorang Dian, yang hidup menaati aturan, toh bisa juga melanggar "no kissing before pacaran". Dengan Obi, pula.

Oya Obi! Dia memutuskan bersekolah lagi, demi mempersiapkan masa depan. Padahal dia itu tadinya doyan gonta-ganti perempuan buat bersenang-senang. Icha Rahmanti seolah menunjukkan pada saya, bahwa seorang Dania Soedjono -- model cantik pacarnya Budi -- pun suatu saat bisa retak. Dia tak sesempurna yang kelihatan.

Yang selamat dari perubahan kepribadian hanya Shana, Chika, dan Marina Kartiwa -bos Nadja. Hingga ujung cerita, Shana tetap kakak yang baik, yang suka ngomel-ngomel kalau Nadja boros atau pelupa. Chika tetap saja keponakan yang lucu, hiperaktif. Marina terus sebagai bos yang meski tua tetap cantik, yang tegas dan susah ditebak apa yang dipikirkannya.

Lagi-lagi, kita tak usah mempertanyakan mengapa beberapa entitas familiar dituliskan secara sempurna dalam buku ini, sedangkan lainnya fiktif. Icha Rahmanti fasih sekali merinci Kidsport Pondok Indah, Itang Yunasz, Star Wars, Coffee Bean, Citos (Cilandak Town Square), Discovery Channel, Night Crawler-nya X-Men, The Darkness, CK (Calvin Klein), BMW X5, Nissan X-Trail, Mango, Communicator, Friends, Upstairs Wine and Cigar Lounge, Smallville, P900, PS (Plasa Senayan), Embassy, Wikipedia, Hermes, Louis Vitton, Chopstix, Cafe Del Mar, Guess, Nine West, Giordano, Glam Shine Sorbet-nya L'Oreal, Island Kiss-nya Escada, Gibolan, Monas, EX, The Strokes, AC Milan, Regina, Who Wants To Be A Millionare, Friendster (lengkap dengan cuplikan testimonials), AK-47, Frankfuter Kemang, Tiffany, Cartier, Fendi, Saks, Gucci, H&M (nggak tahu apaan), AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Fame Station Bandung, Motorola, Panyawangan (restoran), QB (toko buku), Body Shop, Hokben (Hoka-hoka Bento), British Council, Plaza Indonesia, Baskin Robbins, dan terakhir ... A&W (restoran).

Hhhhhh. Kalau ada yang terlewat, harap maklum.

Tapi Icha Rahmanti berimajinasi dalam membuat Partai Pendidikan Indonesia Raya (PPIR), Universitas Indonesia Raya, majalah GALS, majalah DARA, stasiun televisi A Channel, firma hukum Fashrizal & Partners, Sekolah Desain Indonesia, BISIK-Berita Selebritis Asyik, tabloid Fantastic, Pause Production, dan salon Hudi Hediswarso.

Sekali lagi, kalau ada yang terlewat, harap maklum.

Sebab di chicklit, pembaca tidak dibawa jauh ke dunia antah-berantah yang dibangun pengarangnya. Mereka tetap dibiarkan berada sedekat mungkin dengan dunia nyata. Itulah mengapa entitas yang familiar dipertahankan dan ditulis utuh. Apalagi merek baju, tas atau sepatu. Juga nama-nama pusat perbelanjaan dan restoran. Buat wanita kantoran, itulah yang penting. Suasana langsung terbangun tanpa Icha Rahmanti repot-repot menggambarkannya: pembaca bisa membayangkan langsung seperti apa atmosfir yang ada di cerita, dengan mendatangi tempat itu langsung. Pembaca bisa merasakan benar betapa menggodanya aroma parfum CK, betapa kerennya rok Mango, atau sedapnya nongkrong di Coffee Bean Citos.

Entah mengapa institusi pendidikan semuanya fiktif. Pembaca dianggap tak familiar dengan insitusi pendidikan?

Jadi sampailah saya pada kesimpulan menyedihkan: apapun marga si Budi, tetap saja Nadja akan jatuh pada pandangan pertama. Itu bukan gara-gara Nasution-nya, tapi karena ini cuma cerita chicklit. Apapun bisa terjadi disini, ya nggak?

Huehehehehe.

Inilah chicklit. Saat menikmatinya, kita tak perlu mengerutkan kening. Soalnya, apa yang ada di balik kening kita tak mesti bekerja keras.

Internet, Blogging, dan Web Designing

Thursday, July 14, 2005

Saya masih pelajar SMA kelas satu sewaktu yang namanya "internet" mulai mewabah. Ada warung internet baru buka di depan sekolah kami. Seberang jalan, di sebelah tempat pangkas rambut. Saya yang semula hanya suka nongkrong di barbershop pun lantas tertarik mencoba apa rasanya 'ngewarnet'. Meski tarifnya terhitung mahal buat saya -- kalau tak salah ingat Rp. 4 ribu per jam -- saya lumayan sering berselancar.

Sepulang sekolah, menunggu jam macet usai, saya kini nongkrongnya di Access. Buka-buka email (dulu kalau dapat email rasanya girang sekali), ngobrol-ngobrol di MIRC (sekali chatting banyak orang, tak satupun yang kenal), dan melihat-lihat website (termasuk juga yang porno, jujur). Buat saya dulu, main internet adalah sebuah kegiatan asyik tersendiri. Saya pergi ke warnet di Margonda, yang murah, sebelum pergi les Inggris.

Kerap kali saya melamun membayangkan apa nama yang enak buat email. Apakah kramput, ikramp, ikramputra, ikram_putra, atau nama fiktif. Nama fiktif karangan saya dulu spyderweb -- terilhami kasus pembobolan situs yang dilakukan remaja Filipina. Wah, banyak waktu saya terbuang mencorat-coret kertas. Saya bikin account dengan domain yahoo.com, yahoo.co.uk, mail.com, excite.com terus hotmail.com. Pokoknya norak lah.

Tapi saya tak sendirian. Ada Andre, yang juga sama noraknya. Hehe.

Kelas dua, saya berhenti keranjingan internet. Masa itu masa susah, kalau dipikir-pikir. Saya mengalami patah hati remuk-redam (lantaran kecewa banget banget); kehilangan kawan baik (kami pisah kelas dan kemudian saya merasa dia lebih sibuk dengan pacarnya); bermasalah dengan teman satu band (saya melukai perasaan si gitaris); juga didamprat guru di ruang guru (tapi Pak Guru itu duluan yang cari-cari perkara).

Kelas tiga, saya praktis tak bersentuhan banyak dengan internet. Sampai di ujung tahun, untuk keperluan buku kenangan, masing-masing anak mencantumkan alamat emailnya. Saya lalu bikin yang baru, karena yang dulu-dulu nggak oke. Saya bikin email pakai nama musisi kesukaan saya. Sudah itu, sudah. Saya aktif kembali di internet setelah bikin blog, ikut-ikutan Zaki.

UI Salemba. Tes psikologi. Ibu bilang, coba saja dek ikut, nanti kamu disarankan bagusnya masuk jurusan apa. Maka, pergilah saya. Disuguhi permainan kata-kata, menebak potongan gambar, disuruh menggambar pohon yang "ideal menurut kamu", menjumlahkan seabrek sederet angka yang berbaris ke bawah. Semuanya ini katanya demi mencari tahu di bidang apa bakat si Ikrom ini terpendam.

Saat ada pertanyaan tentang pekerjaan apa yang saya mau, saya bingung. Saya tak suka kerja kantoran. Mesti bercelana bahan, pakai tali pinggang dengan kepala logam, kemeja polos dimasukkan, bersepatu kulit dan mengkilap, duduk di belakang meja. Syukur-syukur pakai dasi. Yang enak itu kayak bapaknya Vicky, cukup kerja dari rumah saja. Kalau nggak salah, dia kerja sebagai web apaaa gitu. Ah, akhirnya saya tulis saja "internet" di isian cita-cita.

Hasil tes keluar. Manajemen/Sistem Informatika, Komunikasi/Penyiaran, dan Manajemen Pemasaran.

Dan, nasib berkata lain. Bagaimana mungkiin... Informatika ITB itu passing grade-nya tinggi selangit. Ilmu Komputer UI juga. Sedangkan Komunikasi dan Manajemen UI? Sudahlah mesti ambil IPC, keduanya juga favorit anak-anak IPS. Selanjutnya, terdamparlah saya mempelajari lautan, di kota yang satu-satunya lautan yang dia punya hanyalah lautan api dan lautan asmara ini.

***

"Mas, waktu itu ngajak makan siang ada apa?"

"Oh, ini Kram. Kamu katanya mau magang di Pantau?"

"Mau, kalo emang bisa mah. Saya soalnya libur panjang, masuk lagi 22 Agustus."

"Kebetulan, kita lagi butuh orang buat ngurusin website. Kamu mau ya?"

"Tapi saya cuma bisa sampe Agustus awal, kan mesti daftar ulang segala macem."

"Ah, ngurusin website kan bisa dari mana saja."

Sumpah, waktu Mas Andreas bilang "ngurusin" saya pikir itu hanyalah sebatas updating data. Dan waktu dia bilang "website" pikiran saya tertuju pada pantau-foundation.blogspot.com. Ah, ini sih pekerjaan gampaaang. Dasar orang-orang sibuk... Sekedar update data ke blog saja, mesti menggunakan tenaga mahasiswa segala.

Pekerjaan yang gampang itu melayang pada Senin siang, pukul sebelas di Kebayoran Lama. Bersama Mas Andreas, Mbak Eva, Mas Kokoh, dan Mas Buset, saya ikut rapat rutin Pantau. Saat itulah saya tahu arti sebenarnya dari "ngurusin website". Itu beda jauh sama blogging. Andreas bilang dia mau menghidupkan lagi website pantau.or.id yang baru, yang dikelola Yayasan Pantau. Tidak lagi oleh Institut Studi Arus Informasi.

Andreas dan saya kemudian pergi ke Manggala Wana Bakti, ke kantor CBN, dua hari kemudian. Kami adalah dua orang yang sama sekali buta tentang penyelenggaraan internet, tapi tetap percaya diri. Untunglah Blume Riska, karyawati CBN itu, berbaik hati menerangkan seluk-beluk dengan bahasa orang bodoh. Domain itu alamat Bapak, sedangkan webcontent itu isi rumah Bapak. Nah, kalo pointing itu menunjukkan alamat, katanya.

Dua minggu setelah itu, saya tak mengerjakan apapun. Bingung hendak apa. Menunggu ilham jatuh dari langit. Upi alias Principia alias juga Dhani, teman saya di Boulevard, memang sudah mengerjakan dua desain (Andreas suka yang warna biru) tapi itu tak membuat saya tergerak. Tetap, bingung hendak apa. Kalau gambar sudah jadi, terus diapakan?

Saya datang beberapa kali ke Bisminet 21, di daerah Kober, Margonda. Ada paket 5 jam seharga Rp. 10 ribu yang saya gunakan buat melahap lissaexplains.com (website pelajaran html untuk anak-anak). Lumayan, jadi dapat pencerahan sedikit. Apalagi ada Edo, lulusan Informatika ITB, yang menemani saya lewat Yahoo Messenger. Tiap kali saya bertanya padanya, jawabannya sungguh menolong -- buat ukuran anak IF.

"Software yang enak pake apa, Do?"

"www.macromedia.com"

"Kalo mau belajar-belajar gitu, buat pemula, dimana ya?"

"www.techscience.com"

Yah, bagaimanapun, saya tetap bilang terimakasih ke Edo.

***

Senin lagi. Pukul tujuh pagi saya terbangun dan melihat ada lima sms baru di telepon saya. Ini bukan hari ulangtahun, jadi saya agak heran. Biasanya nggak selaris ini saya. Oh ternyata, ayahnya Reza Prima, kawan sejak SMP, wafat dinihari tadi. Semua sms itu sms berantai. Segera saya mandi, bersiap-siap ke rumahnya. Saya terpaksa tidak datang rapat rutin Pantau.

Tapi rupanya di sanalah awal pencerahan. Di rumah Reza, ada Aga yang berkuliah di IT Perbanas. Sejak SMA dulu saya sudah mengenalnya sebagai peminat komputer, handphone, teknologi, dan gadget. Saya juga menyebutnya "ahli fontologi" karena begitu dia lihat sebuah kumpulan huruf, dia bisa cerita apa font-nya.

Aga orangnya jangkung, kurus, berambut cepak, dan berkacamata. Mukanya serius, tapi kalau tertawa bahunya berguncang naik turun -- justru jadi sebuah kelucuan baru. Selera musiknya juga aneh. Saya mungkin hanya kenal The Cardigans, dari sederet artis favoritnya.

Malam harinya, saya ke rumah Aga. Les privat hingga tengah malam. Aga guru les yang baik. Begitu dia tahu latarbelakang saya cuma seorang blogger, dia berhenti menerangkan tentang asp dan php. Juga soal database atau sql. Hiyah.

Lalu, setelah berkutat malam itu juga, saya berhasil membuat satu desain awal yang... kering. Sepi. Nggak nyeni. Saya pun mulai merasa oseanografi sebagai berkah, setelah sekian lama menganggapnya azab.

***

Wah, panjang juga yak. Hehe, inilah keluh kesah seorang web designer (eh, apa web programmer?) amatiran. Sekarang saya sudah mencicipi ketiga saran psikotest itu. Semuanya nggak pakai teori. Langsung praktek.

Terimakasih ya, mau membaca.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by