Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Bingung-Lagi-Membingungkan

Thursday, June 30, 2005

Sewajarnya suratkabar raksasa, perubahan desain Kompas menuai banyak tanggapan. Pada hari pertama, 28 Juni 2005, saya mendengarkan wawancara Daniel Dhakidae, kepala penelitian dan pengembangan Kompas, di sebuah stasiun radio. Ia panjang lebar menuturkan alasan di balik perubahan itu. Sedikit filosofis, mungkin. Spirit perubahan, mengapa mesti berubah, apa arti perubahan, bla bla bla. Entahlah, rasanya Daniel seakan memaksakan perubahan ini diterima sebagai sebuah hal yang bagus. Mereka berfokus pada perubahan itu sendiri, bukan apa yang sesungguhnya dibawa perubahan itu.

Malamnya, Didot menanyakan komentar saya terhadap desain yang baru. Saya jawab, saya belum perhatikan benar, tapi yang mencolok adalah penggunaan byline pada beberapa artikel. Didot terus balas berkomentar. Dasar anak desain, yang dikomentari pun hanya desain. Dia bilang, Kompas terlalu terburu-buru. Masih banyak kurang disana-sini. "Coba lihat foto di halaman 22," katanya. "Nggak ada tulisannya."

Karima sih hanya berkomentar pendek. "Jadi aneh ya,"

Namun, esok harinya ada sebuah kritik yang menggelikan dari Agus Pambagio, Pondok Labu, di surat pembaca. Judulnya "Beda Artikel dan Advertorial". Saya gregetan sekali membacanya.
"Satu kritik saya... adanya garis-garis pemisah antara artikel satu dan yang lainnya dapat membingungkan pembaca, apakah artikel tersebut masuk kategori advertorial atau bukan."
Sayang, Agus mestinya menjelaskan lebih jauh: pembaca yang mana yang bingung. Jangan-jangan hanya dia seorang, tapi dia main pukul rata.

Garis-garis tipis di Kompas desain baru, memang membentang lebih banyak. Masing-masing artikel dipisahkan dari tetangganya. Saya tak tahu dampaknya dari segi estetika dan desain (mungkin kita bisa tanya Didot) tetapi menurut saya, itu sebuah hal bagus serta tidak bikin bingung. Terutama, garis yang melintang antara iklan dan berita. Itu adalah simbol prinsip pagar api (firewall). Prinsip yang memisahkan berita dari iklan. Berita ya berita, iklan ya iklan.

Buat saya, adanya garis pemisah justru memberitahu mana daerah berita, mana daerah iklan.

Kategorisasi artikel yang ditulis Agus juga menggelikan. Setahu saya, ragam tulisan itu straight news, feature, kolom/opini, dan sastrawi (naratif). Tidak pernah saya dengar "advertorial atau bukan".

Advertorial, mengutip Mas Andreas, adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip pagar api tadi. Dia adalah tulisan yang mempromosikan sesuatu. Bisa dibuat oleh pihak pengiklan, bisa juga oleh redaksi. Kebanyakan advertorial ditulis dengan jenis huruf sama dengan berita, sehingga seolah-olah iklan ini berita. Maklum, advertorial berakar dari dua istilah; advertisement dan editorial. Kalau firewall berupaya memisahkan berita dan iklan, advertorial justru mengawinkan silang keduanya!

Agak ngelantur sedikit ya. Irfan dan saya pernah berdebat sengit gara-gara advertorial ini. Kami waktu itu menerima iklan dalam bentuk tulisan, dan saya minta dicantumkan tulisan "iklan" kecil saja di atasnya -- biar pembaca tahu bahwa itu iklan. Tapi Irfan tak setuju.

"Fan, space kita kan udah dibeli sama dia, kalo gitu itu iklan,"

"Tapi kalo iklan itu biasanya gambar. Kalo yang tulisan gini, namanya advertorial,"

"Advertorial itu apa? Berita ya berita, iklan ya iklan,"

"Tapi yang kaya gitu itu namanya advertoriaaal, lo coba liat deh semua media juga kaya gitu. Di Tempo, Kompas juga ada."

"Gua nggak suka ah pake advertorial. Itu kaya menipu pembaca. Dikirain berita, eh padahal iklan,"

"Tapi pembaca juga udah pada tau Kram, mereka nggak bakal ketipu. Gua kalo baca advertorial gua tau, oh ini iklan..."

"Naaaah, iklan kan lo bilang? Kalo emang iklan ya tulis aja iklan. Nggak usah pake advertorial segala!"

"Iya, tapi kalo iklan yang tulisan gini namanya advertoriaaaal!"

Kami berdebat tak putus. Akhirnya, terserah Maya, pemimpin redaksi. Maya memilih Irfan, tapi ternyata tulisan "iklan" sudah terlanjur, tak bisa diganti-ganti lagi :)

Buat saya, bukan masalah pembaca tertipu atau tidak. Yang lebih penting, apakah saya menipu pembaca atau tidak. Kalau kamu melakukan tindak pidana penipuan, namun tak seorang pun jadi korban, apakah lantas kamu bebas dari ancaman penjara?

Kembali lagi ke Agus Pambagio. Sesudah menulis kritik pertama, Agus melengkapinya lagi. Masih tetap menggelikan.
"Seperti diketahui bahwa sesuai dengan asas jurnalistik yang dipahami, jika semua sudut garis tersebut bertemu, artinya kolom atau artikel advertorial."
Sekali lagi sayang, Agus mestinya menjelaskan lebih lanjut: asas jurnalistik yang diketahui dan dipahami siapa. Jangan-jangan hanya dia seorang, tapi dia main pukul rata.

Asas jurnalisme yang saya ketahui dan pahami adalah yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001. Seluruhnya ada sembilan -- satupun tak ada yang menyinggung soal "jika sudut garis bertemu maka artinya kolom atau artikel advertorial". Lebih jauh, silakan baca disini.

Ini hal yang menggelikan terakhir. Katakanlah benar ada ketentuan soal "sudut garis bertemu maka kolom/advertorial", lalu mengapa Agus bilang garis-garis pemisah bakal bikin pembaca bingung? Mengapa tak berpegang pada "asas jurnalistik yang diketahui dan dipahami" tadi?

Berwudhu mesti pakai air yang suci-lagi-menyucikan. Nah, surat Agus Pambagio ini adalah surat yang bingung-lagi-membingungkan.

Six Years Too Late!

Friday, June 24, 2005

Monday night: Saw her at Janet's book launching. Dressed in black. Fairly tall and slim. Light make-up. With glasses. Smiled all the time. Looked smart.

Interested to know her further. Asked Andreas who the girl was. "Angie from Equinox" he said.

Tuesday: Didn't think about her at all.

Wednesday at 1 pm: Went to Equinox with Andreas. Met her for the second time. Been introduced. He was wrong -- it was "Anti". Miranthi, the Equinox's Art Director. Graduated from Visual Communication Design, ITB.

Entering year?

1997.

Daaaamn.

Obrolan Omprengan dan STNK Batari

Tuesday, June 14, 2005

Mengapa saya suka naik omprengan?

Pertama, saya jelas terbantu dengan adanya moda transportasi umum semi-privat ini. Soalnya, mereka menyediakan trayek langsung ke dekat tujuan saya. Misalnya Senen, Kuningan, atau Slipi. Tarifnya Rp. 6 ribu. Ketimbang mesti menyambung angkot/bus berkali-kali, mending saya naik yang 'straight forward' begini. Tak banyak basa-basi atau dan mengangkut penumpang. Ongkos pun jadi relatif murah.

Saat saya mau ke Pantau, misalnya, saya tinggal naik yang ke Slipi. Turun di bawah jalan layang (trayeknya memang habis disitu), lantas menyeberang dan naik Mikrolet 09 ke arah Kebayoran Lama. Mudah. Praktis.

Kedua, kondisi fisik mobilnya terawat. Ini mungkin tak ada kaitan langsung, tapi saya suka naik mobil yang bagus-cum-terawat. Paling tidak, ada semacam perasaan aman bahwa saya akan sampai tujuan. Transportasi umum jangan diharapkan bakal begini.

Ketiga, suasananya. Isi perut sebuah omprengan rata-rata pekerja kantoran. Mereka rapi dan wangi pagi-pagi. Semua pasti sudah mandi. Beberapa masih muda dan lumayan cantik... sampai saat mereka tertidur sepanjang perjalanan. Idih. Itu pemandangan bikin saya enek. Pernah ada yang tidur bergaya sakit gigi -- tangan menopang dagu; ada yang hampir rebah; dan ada pula yang mendongak. Mungkin ibu itu takut ngiler ya :)

Tapi dibandingkan pemandangan dalam bus? Waduh, tahu sendiri kan, segala macam manusia ada di dalam bus. Dari pekerja kantoran sampai mungkin pencopet. Dan belum tentu semua sudah mandi -- supir dan kenek kan jenis manusia yang paling jarang mandi. Dan saya itu orangnya paling tak bisa tenang jika saat saya duduk (dengan lutut ditekuk, jarak antar bangku sempit), ada orang lain berdiri terlalu dekat dengan saya hingga hembusan nafasnya terasa ke kulit saya. Adoooohh!

Keempat, nah ini yang nggak selalu terjadi. Di omprengan, dengan supir seorang pekerja kantoran juga, pembicaraan di jalan bisa menjadi hal menarik untuk didengarkan. Saya suka tertarik mendengarkan bagaimana dari sekedar basa-basi, pembicaraan berangkat ke arah serius. Politik. Ekonomi. Hukum.

"Lihat tu Pak," kata si supir suatu pagi.

Dia menunjuk Fiat Uno warna merah yang ada di depan kami. Fiat itu mungil, dan melaju centil karena merahnya itu.

"Itu mobil tahun tujuh tiga tu Pak. Masih bagus sampe sekarang," katanya lagi.

Orang di sebelah supir, yang menurut norma-norma kesopanan adalah orang pertama yang mesti melibatkan diri ke percakapan, hanya ho-oh saja.

"Itulah mobil Eropa. Dia nggak bikin buat ngejar kuantitas. Tapi kualitas yang penting. Lihat saja, tiga puluh dua tahun masih bisa jalan! Beda sama mobil sekarang,"

"Kadang saya suka heran ni Pak. Katanya kita ini modernisasi, pembangunan, globalisasi, segala macam. Tapi apa bener Pak, kehidupan jadi lebih baik?"

"Lebih baik gimana?" kata orang sebelah.

"Kalo dulu, barang-barang mahal. Tapi kalo kita punya duit, kita bisa dapet. Sekarang beda. Tetap mahal, tapi kita belum tentu dapet. Ya nggak?"

Mereka berdua rupanya memperbincangkan fenomena beli rumah yang bahkan rumah itu belum ada. Jadi si peminat bayar uang muka, bayar setoran tiap bulan, lantas hingga lunas pun, rumah belum selesai dibangun. Entah karena pemborong malas, atau duitnya keburu dimakan sendiri. Itu pun masih bagus, daripada pemborongnya kabur bersama duitnya. Soal mobil juga begitu.

"Sekarang mobil sudah dibayar, boleh dibawa pulang. Tapi STNKnya belum ada. Kan percuma. Repot kita. Kalo dulu kan kita bisa pake plat yang dasarnya putih trus tulisannya merah itu."

Saya tersenyum diam-diam. Soalnya saya jadi ingat Batari.

Jadi, Batari pergi ke BSM, dan disana kehilangan karcis parkir. Aturannya, dia mesti bayar denda kehilangan karcis sekaligus menunjukkan STNK (bukti bahwa itu mobil benar punya dia). Tapi saya baru tahu, kalau STNK buat mobil itu belum ada. Plat mobil yang ditempel di Aveo itu punya mobil lain.

"Kram, mati gw. Mobil ini gak ada STNKnya."

***

Ah, cerita lengkapnya tanya aja sendiri deh sama dia.

Soalnya, ini kan ceritanya tentang mengapa saya suka naik omprengan. Hehehe.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by