Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Being A Teacher

Tuesday, May 31, 2005

"Jauh sekali mengajarnya," he said.

"Iya," I replied.

"Tak pantas mereka bayar 25 ribu. Paling tidak 50 ribu."

"Hah, nggak kemahalan apa?"

That conversation took place in a restaurant across from Borma Kiara Condong. I was with my father, talking about things while enjoying our ikan kerapu bakar. When it came to my side-job (yeah, like I have another job), teaching English privately to SMP and SMA students, Ayah said I was paid too low. I should've been paid higher -- education does need money. And people should know that.

Some of me agree with Ayah. But not for the exact reason. I am a capitalist wage-earner, I will obviously say yes to a raise. More money, more bucks! Hehe. If I was paid higher, my financial calendar would lengthen back to normal. Besides, I have to come far (and spent hours) for each session. All the students I had, they live in Riung Bandung. It's almost 20 kilometres away from my kosan. Time spent for the angkot is much more than for the session. I think raising the pay would be quite tolerable.

But I don't know... Some of me don't.

As you all might see, my sort of job derived from something wrong in schools. We don't get proper time and tools to study English. Learning it requires more than just two hours per week, and of course a skilled teacher. He/she must encourage the students to speak up, not only telling us off to fill in the exercise sheet. I once got frustrated by my teacher who always made us playing the dialogue, taken from LKS. And never I saw her say something in English.

So, as the way out, my mother sent me to ILP Depok. There I started to understand grammar, structure, type of sentences, and so on. I learnt how to speak, joke around, write, and even flirt. I loved all the teachers -- Miss Ika, Irra, Ria, Teguh, and Aryo. They conducted the class in English, so that students get used to speaking in it. No shame. Let mistakes become mistakes, as long as you say it really quickly, people won't tell you're wrong.

And so I knew that studying English only from school was never enough. You have got to spend more money!

Me? I don't teach as well as them. What I do is only helping students who have problems with their test or exercise sheet. I just accompany them giving the right answer -- something their teacher at school don't do. I enjoy doing it, despite the fact that I will enjoy more if the place is not that far. I don't find it really necessary to ask for a raise.

If BSC raises the fee, how much will it cost they who can't afford ILP, to study English?

***

Ayah put another slice of kerapu into his mouth. So did I. We then slid the talk into his being in Bandung. About PWI. Rosihan Anwar. Things.

Ow, this was just a dinner talk. Nothing really serious :)

-------
LKS: Lembar Kerja Siswa, the exercise sheet.
Borma: Stores, quite big and well-known in Bandung.
ILP: International Language Program, an English Course. The head office is in Pancoran, Jakarta.
BSC: Bandung Study Club, where I got the job from.
PWI: Persatuan Wartawan Indonesia.

Tentang Selebaran Gelap

Wednesday, May 11, 2005

WAKTU saya menjadi panitia OSKM -- ospek skala kampus, bukan hanya departemen -- adalah pertama kalinya saya memperhatikan selebaran gelap di ITB. Entah bagaimana mulanya, tapi suatu pagi saya melihat ada banyak tempelan kertas di gedung-gedung. Isinya menuduh OSKM kami itu sudah tak murni lagi, tapi ditunggangi pihak luar kampus. Tak heran, tulisnya, jika tema OSKM kali ini berbau kekeluargaan.

Saya lupa nama pihak yang menyebarkannya. Tapi biarpun saya ingat, itu pasti fiktif. Namanya juga selebaran gelap.

Selebaran itu menyerang "anak depan". Maksudnya, pegiat Salman. Dari tengah kampus menghadap ke gerbang depan, Salman kan memang adanya di depan kita. Mereka yang bergiat di sana rata-rata punya relasi dengan Gamais, KAMMI, dan... PKS. Nah kebetulan, tahta Presiden KM dipegang mereka ini waktu itu. Ini mungkin yang dimaksud dengan penunggangan -KM dipegang anak depan yang dekat dengan PKS.

Jadi saya pakai logika sederhana: selebaran itu pastinya dibuat orang-orang sakit hati. Entah musuh politik "anak depan", atau pihak yang kalah waktu pemilihan Ketua OSKM (dan kemudian berpikir ah-gua-mau-jadi-oposan-aja-deh).

Selang beberapa hari kemudian, muncul pula selebaran baru. Ditempel juga. Yang ini membantah tuduhan selebaran pertama. Saya tak ingat semua kalimatnya, tapi kira-kira begini: jangan dengarkan tuduhan mereka (selebaran pertama). Buat apa dengarkan. Mereka itu kafir, kerjaannya mabuk-mabukan.

Mungkin lebih enak kalau saya kasih tahu sekelumit perpolitikan kampus. Di kami, ada dua kubu yang suka sekali jadi binatang politik. Ada anak depan, ada anak belakang. Dari tengah kampus, di belakang kita kan ada Sunken Court. Nah, di sana ada PSIK. Dalam berpolitik, dan sehari-hari, mereka ini nggak membawa-bawa agama. Singkat kata, sekuler.

Kalau pakai logika sederhana yang tadi, kali ini anak belakang yang diserang. Dikatain suka mabuk-mabukan. Berarti, anak belakang dicitrakan sebagai pembuat selebaran pertama. Dan pembuat selebaran kedua adalah anak depan.

Dasar logika sederhana, saya hampir saja ditipu. Mau tahu kenyataannya? Kedua selebaran gelap itu ditulis dengan jenis huruf (font) yang sama, format tulisan yang sama, dan gaya bahasa yang sama!

Jelas sekali kalau yang menulis keduanya itu satu orang. Rupanya dia sengaja ingin ketahuan, kalau nggak mau disebut terlalu bodoh untuk ukuran provokator kelas kampus.

Tapi, sekali lagi, nggak apa apa kok. Namanya juga selebaran gelap. Siapapun penulisnya, nggak perlu dipikirkan. Sebab, dia sendiri terlalu pengecut untuk menuliskan namanya. Saya nggak pernah berharap ada kredibilitas atau akuntabilitas dari sana. Anggap saja tulisan itu sampah.

***

SEKARANG ceritanya agak berbeda. Ada dua selebaran yang hendak saya bicarakan. Keduanya tidak gelap, sebab nama penerbit dicantumkan. Yang pertama dari PSIK, soal pemilihan presiden KM. Yang kedua dari HATI, soal Konferensi Asia Afrika. Metode keduanya sama, ditempel-tempel di sana sini.

PSIK, dengan label Badan Investigasi-nya, menulis tentang kecurangan pemilu KM. Kata mereka, pemilu berikut kampanye hanyalah kedok belaka. Pemenang pemilu sudah ketahuan dari awal. Maaf, menulis agaknya ungkapan kurang tepat. Mestinya itu menuduh -- sebab mereka tak mengajukan satu bukti pun.

Menggelikan?

Nanti dulu. Saya malah kagum. Dengan keyakinan seperti itu, mungkin saja mereka sudah melangsungkan quick count buat pemilu KM yang nggak seberapa itu.

Tapi yang jelas, saya -- dan mungkin warga kampus lainnya -- butuh lebih dari sekedar tuduhan atau "investigasi" (menurut bahasa PSIK). Kami butuh bukti.

HATI bahkan bukanlah unit kemahasiswaan di ITB. Mereka ini punya relasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia. Saya perhatikan, mereka rajin menggulirkan isu-isu khilafah. Pemerintahan Islam. Selebaran mereka tentang KAA ini juga berujung dengan kalimat "Revolusi Islam".

Saya baca di selebarannya, negara-negara Asia Afrika tidak berusaha membela Palestina -yang sampai sekarang belum merdeka. Banyak penduduk negara Asia Afrika beragama Islam, sebagaimana di Palestina. Tapi mereka malah tetap tunduk pada imperialisme Amerika. Tak ada yang baru di sana, tak seperti KAA 1 yang melahirkan Gerakan Non Blok (yang adalah sebuah blok baru juga sebenarnya). HATI menyebut KAA 2 sebagai "the chicken conference" alias konferensi-nya para pengecut -- sebab tak mau membela tadi.

Hmm... Agaknya mereka tak sadar ini: mengklaim sesuatu tanpa bukti kuat adalah juga sebuah tindakan pengecut.


------
OSKM: Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa
Gamais: Keluarga Mahasiswa Islam
KAMMI: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
PKS: Partai Keadilan Sejahtera
KM: Keluarga Mahasiswa
PSIK: Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan
HATI: Harmoni Amal Titian Ilmu

Kisah Kantin di Sekolah

Monday, May 09, 2005

Ke kantin mana kita hari ini?

Ikram Putra dan Fadilla Tourizqua Zain

ADA yang berubah di bekas lokasi Gedung Bengkok belakangan ini. Saat saya lewat sana, tak ada lagi bangunan panjang yang membengkok, atau lembaran-lembaran seng yang menutupi proyek. Yang muncul sekarang adalah: Kantin Bengkok. Inilah kantin paling anyar di Institut Teknologi Bandung.

Bengkok berkonsep outdoor. Ia dikelilingi rerumputan, dengan meja-bangku dari beton berlapis semen. Seluruhnya ada 14 meja, dengan masing-masing meja untuk enam orang. Di depan, persis tepi jalan, ada dua tempat duduk berupa lengkungan -- mirip amphiteater. Sedangkan di belakang sekali, terdapat sebuah lapangan basket satu ring. Bangunan kantinnya terdapat di tengah-tengah, dan dibagi menjadi delapan kompartemen; empat menghadap ke utara dan empat ke selatan. Masing-masing berjualan jenis makanan yang berbeda. Soalnya, tidak seperti kantin lainnya, yang ini berupa food court.

Mau tahu siapa pemiliknya?

"Ada empat. Saya, Dian, Sodak, dan Zaki," kata Muhammad Hidayatullah. Biasa dipanggil Dayat, dia ini lulusan Teknik Industri angkatan 1999. Dayat dan Sodak berteman sejak kuliah, sedangkan Zaki adalah teman Sodak. Lantas Dian?

"Dian itu cewek saya,"

Dayat dan kawan-kawan tak pernah menyangka bisa berbisnis makanan di kampus. Bagaimana tidak, sebenarnya mereka hanya ingin menyewa satu kompartemen di kantin baru. Namun ternyata, pihak ITB tidak mencari pengisi, melainkan pengelola. Mereka pun dipersilakan ikut tender -- yang berlangsung dua hari lagi. Sodak lalu menelepon Dayat, bertanya apakah mereka akan ambil kesempatan itu.

"Saya jawab, ya sudah hajar saja," kata Dayat.

Maka mereka pun berkumpul dan secepatnya mempersiapkan diri untuk presentasi. Semua dibicarakan: konsep kantin, pembagian modal, jenis makanan yang akan dijual. Pokoknya semuanya. Dalam dua hari.

"Kita kerjanya model Roro Jonggrang, ngerti kan?"

Saya mengerti, meski analogi itu tak sepenuhnya tepat. Dalam mitos pembuatan Candi Prambanan di Jawa Tengah, Bandung Bondowoso-lah yang bekerja terburu-buru. Dia mesti membangun seribu candi dalam semalam, sesuai suruhan Roro Jonggrang. Mirip yang Dayang Sumbi lakukan terhadap Sangkuriang, dalam legenda Tangkuban Perahu.

Cerita selanjutnya sudah ketahuan. Dayat dan kawan-kawan ikut tender. Presentasi. Menang.

"Ini semua karena Zaki sering tahajud," kata Dayat. Tawanya berderai.

Setelah buka, animo warga kampus terhadap Bengkok lumayan tinggi. Antrian panjang sering terjadi, terutama saat jam sibuk: makan siang. Konsep food court yang ditawarkan kantin ini membuat pengunjung bisa mendapatkan makanan yang bervariasi. Ada masakan Padang Salero Bundo, masakan Jawa, nasi pepes, mie keriting, bubur ayam Mang H. Oyo, aneka minuman, aneka jajanan, dan menyusul masakan Jepang. Setelah memesan di stand yang diinginkan, pengunjung membayar di kasir. Pesanan lalu diantar ke meja.

Tetu, Bintan, dan Anggi dari Seni Rupa angkatan 2004 berkomentar tentang Bengkok. Mereka senang ke sini karena dekat dengan lokasi kuliah, serta tempatnya bagus dan berseni. Selebihnya mereka bilang,

"Sayang, harganya mahal."

"Kasirnya kurang, cuma satu."

"Kurang musik."


MESTINYA, Bengkok buka pada 4 April. Namun, pada hari itu air tak mengalir. Parahnya lagi, tak ada tangki penampungan air di sana. Apa boleh buat, karena kantin tak mungkin jalan tanpa air, mereka pun baru beroperasi pada 11 April. Untunglah sekarang masalah itu tak lagi mengganggu. Dayat sudah membangun tandon air di bawah tanah -- makan biaya sekitar Rp. 6 juta.

Dayat tak seharusnya keluar uang untuk tandon. Nanti, dia akan mendapat penggantian biaya dengan cara pengurangan jumlah setoran sebesar ongkos tandon. Pada saat presentasi, Dayat -- sebagaimana peserta lain -- memang menjanjikan besar persentase omset yang akan diserahkannya jika dia menang.

Memangnya berapa besar sih setorannya?

"Wah, itu rahasia perusahaan. Sekitar 10-15 persen deh."

Saya penasaran. "Kalau saya tulis 12,5 persen, apakah membohongi publik?"

"Ya... sekitar segitulah."

Belakangan, dari Direktur Kemitraan Rudy Hermawan, saya mendapat angka 13 persen.

Kalau begitu, mari kita berhitung berapa pendapatan kotor yang diraih Bengkok. Dayat bilang, sehari rata-rata ada 300-400 transaksi, dengan nilai sekitar Rp 3 juta. Jika kita anggap sebulan ada 22 hari, maka semuanya jadi Rp 66 juta. Dari sana, berarti ITB mendapat Rp 8,25 juta sebulan -itu berdasarkan persentase versi Dayat.

"Yang berat itu di pemeliharaan. Saya jadi deg-degan kalo melihat anak-anak nombok trus nggantung di lapangan basket. Rumput juga seminggu sekali mesti dipotong," ucap Dayat tentang dukanya menjadi pemilik kantin.

"Untung, mejanya dari beton. Gua sih pasrah saja deh, kalau ada yang mau isengin meja."

***

FERRY Triyadi adalah lulusan National Hotel Institute (kini Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung) tahun 1995. Sampai sekarang, dia telah bekerja di banyak tempat. Kebetulan, dia mengaku "suka loncat-loncat". Tapi sejak September 2002, dia menjadi manajer kantin Timur.

Sesuai namanya, kantin ini letaknya di kampus bagian timur, dekat Gedung Teknik Pertambangan. Beberapa teman saya lebih suka menyebutnya dengan "Kantin Tambang" ketimbang nama resminya. Kantin milik Badan Usaha Salman ini berhasil menang tender dua kali.

Timur ditata cukup apik. Bentuknya seperti rumah, dengan lantai keramik. Dindingnya tidak diplester, tapi dibiarkan telanjang: menampilkan tumpukan batu bata. Artistik. Di beberapa titik, ada hiasan gantung. Dulu sempat ada lampu sorot menempel di dinding, tapi kemudian hilang dicuri tangan jahil.

Persis di depan pintu masuk, ada rak panjang tempat display makanan. Di ujung kiri rak, nampan dan piring ditumpuk. Pengunjung mulai dari sini: ambil nampan, piring, menyenduk nasi sendiri, kemudian memilih lauk-pauk yang dikehendaki. Terus berjalan ke arah kanan, mereka akan sampai ke bagian minuman dan kasir. Di meja terpisah, tersusun gelas-gelas berisi air putih. Ini bagian yang paling cantik. Saya perhatikan, dahulu gelas-gelas itu begitu beningnya. Membuat saya ingin minum lagi dan lagi. Tapi sekarang mereka sudah agak kusam.

Berapa banyak orang datang ke sini dalam sehari?

"Sekarang sih sekitar 70-80 orang," ujar Ferry. Dia bilang, dibandingkan dengan periode pertama (2002-2004), jumlah pengunjung Timur kini jelas berkurang. Dulu bisa mencapai 180 hingga 200 orang sehari. "Ini kemungkinan akan turun lagi."

Dari Ferry, saya mendapat gambaran tentang perjalanan uang di Timur. Dari pendapatan kotor sehari, 11 persen adalah milik ITB -- sesuai perjanjian. Lalu, 53 persen dari situ digunakan untuk food cost (biaya bahan baku makanan). Labour cost (ongkos pegawai) memakan 13 persen, sedangkan untuk overhead (seperti gas, listrik, telepon, air) 10 persen.

Oya, berapa sih omset kantin ini sehari?

"Satu koma delapan," kata Ferry. Maksudnya, Rp 1,8 juta.

Hmm. Jika benar pengunjung yang datang sekitar 70-80, maka satu pengunjung menghabiskan Rp. 22500 sampai Rp. 25.000 sekali belanja. Dan dalam 22 hari, ITB mendapat 11 persen dari Rp 39,6 juta ... Rp 4,356 juta.


SELAMA saya makan di sana, tak pernah saya lihat lalat hinggap. Tak heran kantin ini mendapat sertifikat dari Dinas Kesehatan. Ternyata, ini ada rahasianya. Ferry selalu memastikan piring-piring kotor cepat diangkat dan dicuci. Meja juga secepatnya dilap, untuk menghilangkan bau makanan yang menempel.

"Ini hanya soal kebiasaan," kata Ferry. "Kalau kita terbiasa cepat membersihkan, lalat nggak akan datang."

Ferry menanamkan kebiasaan-kebiasaan lain kepada anak buahnya, yang berjumlah sebelas orang -- tiga di administrasi, sisanya operasional. Misalnya, tentang aturan jam kerja, yang berlaku dari pukul delapan hingga empat sore. Mereka harus patuh benar pada aturan itu.
"Biarpun misalnya jam satu makanan sudah habis, nggak ada ceritanya kita boleh pulang. Kan bisa ngerjain hal lain."

Kalaupun ada satu hal yang disesalkan Ferry, maka itu adalah soal pipa saluran pembuangan yang dia nilai terlalu kecil. Akibatnya, lemak cepat menumpuk dan menyumbat saluran. Seharusnya ada penyaring lemak di pipa, tapi yang ini tidak. Ferry pun terpaksa rajin menyemprot pipa, atau menaburkan soda api.

***

PADA Februari 1989, Ibu Wiranto (almarhumah) berinisiatif mendirikan kantin dengan maksud "membantu menyediakan makanan yang sehat dan harga yang terjangkau mahasiswa". Wiranto adalah rektor ITB saat itu, sebelum Lilik Hendrajaya dan Kusmayanto Kadiman. Pelaksanaan kantin itu melibatkan para istri dosen dan istri pegawai. Singkatnya, Darma Wanita.

"Keuntungan yang didapat dipergunakan buat beasiswa, program anak asuh, dan biaya kursus keterampilan buat anak-anak pegawai," kisah Tetet Danisworo, istri Prof. Danisworo dari Teknik Arsitektur. Dia terlibat sejak awal berdirinya Kantin GKU Lama. Selain kantin ini, Darma Wanita juga mengelola Kantin Labtek V (lebih dikenal sebagai Borjue) dan Kantin Labtek 11 (Kebab).

Darma Wanita sudah bubar dan berganti nama menjadi Perempuan Ganesha. Perubahan status ITB menjadi BHMN disebut-sebut sebagai alasan pembubaran. Sayang, Kusmayanto Kadiman, rektor pertama ITB-BHMN yang kini Menteri Negara Riset dan Teknologi, tidak bisa menjelaskan lebih rinci tentang pembubaran ini.

"DW bubar? ... saya sdh banyak lupa urusan ITB," kata Kusmayanto pada saya lewat sms.

Sekarang hanya Tetet Danisworo, Ning Pradoto, dan Okke Sujati yang masih menekuni kegiatan ini lagi. Mereka bertiga bergantian menjadi kasir di GKU Lama. Ya, si bos malah menjadi kasir, karena ini urusan uang. Jika anda kebetulan berkunjung ke sini, pastikan anda menaruh uang di nampan yang benar. Ada dua nampan di meja kasir: untuk pembayaran dan uang kembalian. Jika salah, kasir tak segan-segan menegur. Saya sempat mengalaminya.

"Maksudnya kan baik, biar jelas berapa membayar dan berapa uang kembalian. Anda kalau ke restoran kan juga begini," Tetet menjelaskan.

GKU Lama letaknya di selasar gedung, dengan meja kayu berbentuk oktagon. Kantin ini menyediakan makanan dengan rentang harga Rp 2000 sampai Rp 6000. Semuanya makanan Indonesia. Sedangkan di Borjue, harga yang dipasang lebih tinggi. Menunya pun menyajikan makanan Oriental, juga ada es krim. Borjue memang mulanya membidik dosen dan tamu dosen, meski sekarang banyak pula mahasiswa datang kemari.

Tang-ting-tung, mari kita berhitung. Tapi sebelumnya, karena Ibu Tetet mengaku tidak tahu persentase bagi hasil, maka kita pakai angka dari Rudy Hermawan: 10 persen.

Sehari, GKU Lama rata-rata meraup Rp 2,5 juta. Dikalikan 22 hari sebulan, nilainya menjadi Rp 55 juta. Baik, Rp 5,5 juta untuk ITB. Borjue: Rp 2,2 juta sehari, berarti Rp 4,84 juta lagi buat ITB. Kebab? Rp 250 ribu. Saya berhitung semakin lihai: tambah Rp 550 ribu lagi buat ITB.

Tetet bercerita, total keuntungan bersih dari semua kantin per bulan adalah Rp 15 juta. Dari uang inilah gaji dua puluh pegawai di tiga kantin bersumber.


ADA satu kisah sedih terkait hilangnya keistimewaan. Dulu, Darma Wanita mendapat fasilitas dari ITB. Mereka tidak perlu membayar biaya listrik, air, apalagi sewa tempat. Namun sejak 2002, mereka bahkan mesti menyerahkan 10 persen pendapatan kotornya kepada ITB. Tentu ini ada dampaknya bagi kondisi keuangan mereka, terutama dalam penggajian pegawai.

Guruh, kepala operasional Borjue, enggan menjawab pertanyaan saya tentang hal yang satu ini. "Tanyakan saja kepada Pak Budi. Saya nggak enak nanti melangkahi," katanya. Budi yang dimaksud adalah manajer tiga kantin yang dikelola Darma Wanita. Sayang, saya tak bisa menemuinya karena dia berhalangan masuk -- anaknya sakit.

Di dokumen yang saya dapat, disebutkan gaji pegawai di bawah UMR. Tetet bilang, gaji tertinggi didapat Budi. Sedangkan Solih, pegawai yang telah bekerja selama 15 tahun, gajinya Rp 700 ribu. Selebihnya, antara Rp 300-400 ribu.

Soal hilangnya fasilitas, Tetet gusar. Dia bertanya pada saya, "Masih diperlukan nggak sih keberadaan kami, yang punya visi-misi sosial begini?"

Saya tentu tak tahu mesti jawab apa.

***

SEKARANG mari kita beranjak ke daerah antara Departemen Teknik Planologi dan Teknik Arsitektur. Di atas musholla berbentuk bundaran, ada kantin yang baru saja berganti pemilik: Kantin Barrac. Pemiliknya yang baru menggandeng YES Catering dalam pengelolaan. Ceritanya begini. Suatu hari, Leni dari Perpustakaan Departemen Teknik Planologi mendengar kabar adanya tender untuk Barrac. Dia lalu memberitahu saudaranya. Mereka kemudian ikut tender dan menang -- menggantikan pemilik lama.

"Saya sepupu Ibu Leni," ucap Pongki Poerwana, supervisor Kantin Barrac-YES. Meski Pongki bilang nama kantin tetap Barrac, saya sengaja menulis Barrac-YES untuk membedakannya dengan yang lama. Barrac-YES beroperasi sejak 7 April.

Pongki sudah berkecimpung di bisnis makanan selama hampir 30 tahun. Dia lulus dari NHI tahun 1977, dan menjadi konsultan pada beberapa kafe dan restoran di Bandung. Apa katanya tentang Barrac-YES di hari-hari pertama?

"Hari pertama, air nggak mengalir."

"Lampu-lampu juga nggak menyala. Pertama saya pikir karena belum ada bohlamnya. Namun setelah saya pasang, tetap saja mati," tambahnya.

Petugas yang datang pun tidak menyelesaikan masalah. Dia hanya datang untuk menjelaskan tentang kewajiban Pongki membayar listrik dan air.

"Saya bilang sama dia, itu gampanglah. Masak mau menunggak? Yang penting ini nyala dulu"

Satu lagi. Toilet rusak.

Saya lihat, kondisi toilet di bawah tangga menuju kantin memang sedikit 'horor'. Air setinggi dua sentimeter menggenang di lantai toilet. Namun, keran air bak menyala. Begitu juga keran sentor kloset.


BARRAC-YES menyediakan sepuluh macam makanan. Pengunjung mengambil apa yang dikehendakinya, lantas membayar sesuai pesanan. Di sini, jumlah menentukan. Jika Anda mengambil sayur sejumput, misalnya, harganya akan beda dengan jika Anda mengambil sepiring penuh. Pongki mematok harga rata-rata Rp 6000 untuk sekali makan, sudah termasuk minuman.

Ketika tender, Pongki menjanjikan bagi hasil sebesar 15 persen dari pendapatan kotor. Inilah angka tertinggi dari semua pengelola kantin di ITB. Dia tak menolak jika besaran angka ini menjadi penentu kemenangan. Ehem. Lalu bagaimana hitung-hitungan bisnisnya?

"Saya proyeksikan setiap bangku di sini terisi tiga kali," kata Pongki. Artinya, dia memperkirakan ada 80x3 pengunjung = 240 dalam sehari. Dengan total belanja rata-rata Rp 6000 per orang, Pongki bisa meraih omset Rp. 1,44 juta sehari.

Seperti yang sudah-sudah, mari berhitung. Pertama, Rp 1,44 juta dikali 22 hari, berarti Rp 31,68 juta sebulan. Kedua, dikali 15 persen. Sebentar ...

Cring cring cring. ITB dapat Rp 4, 752 juta, cing!

***

PEMBANGUNAN Campus Center, selain memindahkan sekretariat unit kegiatan mahasiswa yang ada di Student Center, juga membuat kantin milik Koperasi Keluarga Mahasiswa (Kokesma) tutup. Kantin itu sejak 1984 berdiri di sana. Kokesma kemudian berusaha mendapatkan pengelolaan Kantin Barat Laut.

Berhasil.

Kantin Barat Laut terletak di antara gedung Departemen Matematika dan Sekolah Bisnis dan Manajemen. Tak berapa jauh dari Gedung Serba Guna. Bangunannya dua lantai. Di bawah ada display makanan prasmanan, serta kasir. Di atas, ada stand minuman dan jajanan. Kantin ini mampu menampung hingga 200 pengunjung.

Tentang lokasi yang sekarang, Rohni C. Manik dari Divisi Kantin Kokesma punya komentar.

"Kan awalnya strategis banget tuh, eh sekarang dapet tempat mojok begini."

Orang bilang, makin mojok makin asyik. Kini Barat Laut sanggup meraih Rp 3-4 juta tiap hari. Pada jam makan siang, pengunjung begitu padat. Lima belas pegawai dirasa kurang banyak. Simaklah apa kata Marlina, seorang dari dua kasir yang saya temui.

"Kadang-kadang saya suka kena marah karena pesanan lama datangnya."

Lima belas pegawai tadi terbagi menjadi tiga. Pegawai tetap, pegawai kontrak, dan pegawai paruh-waktu. Penggolongan ini tentu saja berpengaruh pada gaji yang mereka terima tiap bulannya. Marina bilang, pegawai tetap mendapat banyak uang tunjangan. Dia sendiri adalah pegawai kontrak. Begitupun, dia cukup bangga dengan gaji pokoknya yang terbesar di antara dua jenis pegawai lain.

Rohni mengungkapkan, asal ulet dan tekun, setiap pegawai punya kesempatan pindah golongan. Setiap pegawai kontrak akan otomatis diangkat menjadi pegawai tetap setelah bekerja selama dua tahun.

Saya perhatikan, ada beberapa pegawai yang menginap di kantin. Marlina bilang, mereka ada lima orang. Dua di antaranya piket malam, sedangkan sisanya sengaja menginap sebab rumah mereka jauh. Mulai pukul tiga sore, para pegawai menyiapkan keperluan buat esok hari. Biasanya, rajang-merajang bahan baku.

Barat Laut juga melayani menu pesanan, selain menu prasmanan. Ada pula makanan dari "relasi Kokesma", yakni pedagang makanan yang berafiliasi ke Kokesma, dengan membayar sewa. Makanan ini contohnya bakso, hamburger dan sosis, batagor, dan aneka kue basah. Makanan paling banyak peminat di sini adalah nasi goreng.


MAAF saja, kita tak bisa main hitung-hitungan lagi untuk tahu berapa besar kantong ITB bertambah gemuk. Pasalnya, Kokesma itu tak menyetor dari pendapatan kotor, melainkan menyerahkan sepuluh persen dari Sisa Hasil Usaha.

"Waktu itu mereka alasannya wirausaha mahasiswa," kata Edwan Kardena, asisten Rudy Hermawan di Direktorat Kemitraan tentang hal ini. Kokesma diberi grace period, karena lokasi baru dinilai berpengaruh pada pasar.

Menurut rencana, di lantai paling atas Campus Center nanti akan ada tempat usaha komersial, termasuk kantin. Jika Kokesma berminat menempati , mereka akan diberi prioritas pertama -tak perlu lewat tender. Tak hanya itu, selama setahun pertama, mereka juga tak menyetor dari pendapatan kotor. Setelah itu barulah mereka diperlakukan sama dengan kantin lainnya.

"Kita kasih voer setahun lah. Habis itu sama aja," kata Rudy.

"Kami juga nggak mau terlalu memanjakan, berbisnis kan harus profesional." kata Edwan.

Fiksi Sastrakencana, Ketua Kokesma, mengatakan pada saya, dirinya sedang "melakukan komunikasi dengan rektorat dan Lembaga Pengembangan Kesejahteraan Mahasiswa" untuk mengubah kebijakan itu. Kokesma, katanya, melihat dirinya sebagai unit kemahasiswaan, bukan satuan usaha komersial.

***

SEBENARNYA, apa fungsi Direktorat Kemitraan dalam hal bisnis makanan di ITB?

"Kami ini ibarat kasirnya ITB," Rudy menjawab.

Dalam hal tender pengelolaan kantin, Kemitraan bertugas layaknya seksi administrasi. Mereka menghadirkan dewan juri, yang menentukan apakah si calon lulus atau gagal. Faktor yang diperhatikan adalah kelengkapan administrasi (proposal, dsb.) dengan bobot 20 persen; substansi kantin (siklus menu, jaminan mutu, harga) sebesar 20 persen; manajemen/pengelolaan sebesar 30 persen; dan terakhir 30 persen penawaran bagi hasil.

Jika menang, peserta tender boleh berjualan dalam kurun waktu dua tahun. Setelah itu, akan ada tender lagi. Pengelola kantin wajib memelihara keutuhan bangunan -- segala kerusakan dan biaya pemeliharaan ditanggung sendiri. Biaya listrik, air, dan sampah juga menjadi tanggungan.

Karena berada di segi administrasi, Rudy mengaku tak ambil pusing terhadap keluhan-keluhan yang ada. Pernah, katanya, ada yang mengadu tentang meja kantin yang kotor -- dia menyalahkan Kemitraan. Rudy balik marah.

"Emang gua yang bersihin meja apa?" cerita Rudy. Di sebelahnya, Edwan tertawa terpingkal-pingkal.

Dari sana saya jadi tahu, tak ada tempat bagi pengaduan atau keluhan. Jika kita menemukan makanan yang kurang bersih, sampaikanlah kepada pemiliknya. Mekanisme kontrol terhadap kebersihan atau kualitas kantin Rudy bilang memang ada, tetapi saya tak mendapat gambaran jelas.

***

Pada akhirnya, semua terpulang kepada konsumen. Semua ada, kita tinggal pilih.

Mau makan dengan harga murah.
Atau yang mahal.

Mau datang, antri sebentar lalu bisa makan.
Atau mengantri sampai mengular.
Atau menunggu pesanan dengan sabar, sampai-sampai lapar hilang sendiri.

Mau makan dengan suasana bersih, lantai mengilap.
Atau ditemani lalat-lalat.

Mau makan dengan pelayanan baik.
Atau dengan pelayanan kilat: lengah sedikit, piring kita diangkat.

Jadi, ke kantin mana kita hari ini? []


------
Boulevard Edisi 52, Mei 2005
Foto oleh Bestri Aprilia

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by