Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

My Early Present

Thursday, April 28, 2005

This is what I gave to myself for a birthday present. I bought it at Bandung Electronic City, along with Irfan who also wanted a something-cool-to-listen-to-music- with. After discovering which one suited us best, we came to this store and had ourself our different new gadget. Mine can store MP3, record voice, as well as being a small mirror. Really useful, don't you think?

Well, not really, for I don't listen to music much. All I wanted was a rationally priced digital voice recorder. And here it is.

For those who wonder why I had given myself an early present ... I guess the answer would be: I wasn't sure I could buy it just in time.

And I was damn right. I'm a poor bankrupt man right now, wishing the transferring day was tomorrow. I wonder why they put 30 days in a month, when my budget only covers for 20?

Going To Seminar

Friday, April 15, 2005

On Wednesday, I went to the best seminar I ever attended. It was on Democratization and The Issue of Terrorism in Indonesia, held by Parahyangan University and Konrad Adenauer Foundation. Findie invited me -- with an early warning "Pake kemeja dan sepatu ya Kram,".

Why was it the best?

Well, it was held in Hyatt Regency. The surroundings were totally different from any seminars I had gone to. From the moment I got off the angkot and proceeded to the lobby, I had been nervous already. I saw lots of police standing and greeting each others at the yard.

Of course there were cops. This is about terrorism, I thought to myself. I kept walking, entered the door, walked through the metal detector while having my bag checked.

But right in front of the ballroom, I saw a much more policemen than before. Some were in uniforms, some were not. I asked a hotel officer why there were so many policemen -- are we having a real terrorist as the speaker or what?

From him I knew that apparently there were two seminars held at the same time in the hotel. The other was held by BP Migas, and this is why so many police coming. Apparently BP Migas has a connection with Polri. I don't know what and why.

After I signed in, I had the first luxury: snack. They served croissant with cheese and ham inside -something I never had for snack. Slowly, I pick one -- only one, because this was not Aula Barat.

The second reason is that it was in English. Damn, I pushed myself hard to understand the talks. It was easier to listen to the man from Konrad, Norbert Eschon, than the Unpar's. Eschborn talked with a similar accent I heard at movies, or English tapes. You see, even if you have 600 or more on TOEFL, but you still speak with Indonesian accent ... they didn't count it. You still sound "cheap" :p

Ledis en jentelmen... Ai wuld laik to teng everiwan for kaming in dis seminar

I don't know. The way American speak is cool. British is elegant. Afro people is funny. Indian is funnier (they zig-zagged their head). But when it comes to Indonesian, it sounds cheap!

So there I was, attending an English-spoken seminar without ever knowing what they were talking about. Lucky me, I sat next to Risa (yup 'Fan, right next to her). When I began feeling depressed, I wrote to her some lines and she corresponded. It's as if we were discussing something serious, but the truth is I was just asking her about some personal things :)

The last reason for stating this is the best, of course would be the topic. Though I have got nothing to do with Democratization nor Terrorism, I could see they are related to each others. Democratization means tolerating the difference, while terrorism tends to eliminate the difference and forces what one wants. Hence, it's against democracy.

They had one session focused on Islam. I had known it would be an issue, so I paid more attention to the talk. One of the speakers, Sri Yunanto from Ridep Institute (ever heard about it?) classified Muslim into radical, fundamentalist, and moderate. He talked much about Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, and else. Stupid me, I didn't catch up well!

So friends, thanks for reading the final story. Gee, I won't publish something unfinished again ...

Pers Mahasiswa, Seandainya Soeharto Tetap Berkuasa

Monday, April 11, 2005

Ikram Putra
Mahasiswa Oseanografi ITB, mantan Pemimpin Redaksi Boulevard ITB

Pers mahasiswa sungguh sesuatu yang unik. Ia pernah bergandengan tangan dengan gerakan mahasiswa; menjadi media komunikasi politik mereka, saat kontrol dan represi rezim Orde Baru terhadap media umum dirasa sangat kuat. Ini yang disinggung M Fadjroel Rahman di buku Pers Dalam 'Revolusi' Mei, tahun 2000.

Sementara pers umum takut atas ancaman diberangus, pers mahasiswa tampil menjadi corong perjuangan. Ia menyajikan berita-berita alternatif. Kritis dan berani, tanpa takut ditutup -- karena ia memang tak butuh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini menjadi semacam kelebihan yang dimilikinya. Jika hari ini sebuah media mahasiswa tutup (atau dipaksa tutup), maka besok hari ia sudah bisa terbit lagi, dengan hanya berganti nama.

Pemberitaannya pun khas anak muda. Ia mengusung isu-isu yang sangat sulit diangkat media mainstream zaman itu. Sesuatu yang bagi pembaca tak bisa didapat di luaran. Bahasanya lugas dan pedas. Lugas, tanpa mesti repot menyembunyikan kenyataan dengan eufemisme bahasa. Pedas, tanpa mesti takut menyinggung perasaan pemerintah.

Namun, sejak Mei 1998, masa-masa kejayaan itu telah lewat. Hari-hari yang diceritakan Rum Aly, pemimpin redaksi (mendiang) Mahasiswa Indonesia itu, dalam sebuah acara di kampus saya, kini tinggal sejarah. Dengan begini, saya sulit menilai kejatuhan Soeharto sebagai berkah ataukah bencana bagi pers mahasiswa.

Soeharto, sang penguasa Orde Baru yang nikmat bertahta selama 32 tahun itu, resmi terjungkal pada 21 Mei 1998. Itu memang kemenangan gerakan mahasiswa, yang meski ditekan dengan NKK/BKK, tetap bisa bertahan dan menuntut Soeharto turun. Ribuan, mereka menduduki gedung MPR/DPR.

Kemenangan ini berarti pula keberhasilan pers mahasiswa, karena mereka berdua selama ini kawan karib. Pers mahasiswa, sedikit banyak, ikut berjasa dalam menularkan pandangan politik dan menyuarakan bukti kebusukan rezim.

Namun, di sisi lain, sejak kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa menjalani hari-hari suramnya. Ia semacam kehilangan gigi karena media umum sekarang sudah punya 'gigi'. Pers mahasiswa kehilangan sesuatu yang menjadi nilai-lebihnya selama ini. Tak ada yang istimewa lagi darinya.

Soalnya, sekarang tak perlu ada lagi media mahasiswa untuk kita bisa membaca kritik pedas terhadap pemerintah. Kini, media mainstream sudah boleh menulis besar-besar judul yang pedas. Apa yang tadinya hanya bisa dinikmati di media mahasiswa, kini bisa dibaca di media umum.

Soal mutu liputan pun, media mahasiswa cenderung kalah dengan media umum. Media umum punya sumber daya yang wajar dan meliput dengan metode lebih lengkap, sehingga akurasi fakta yang ditampilkan jauh lebih baik. Mereka juga punya modal, tidak seperti pers mahasiswa yang kondisi keuangannya pas-pasan.

Melihat kenyataan menyedihkan ini, saya jadi ingin Soeharto tetap berkuasa. Dengan begitu, pers mahasiswa tetap dilirik orang.

Tapi, Soeharto kan tak mungkin berkuasa lagi. Lantas bagaimana?

Saya berpendapat pers mahasiswa sebaiknya merasa dirinya sebagai 'pers betulan', bukannya 'pers yang mahasiswa'. Sebagai ciri khas dan nilai lebih, pers mahasiswa mesti menjelma menjadi koran komunitas. Ia melayani warga di komunitasnya sendiri, dengan menyajikan informasi yang mereka butuhkan. Ia, meminjam kata-kata Andreas Harsono (wartawan Pantau), down to earth terhadap masalah kampus.

Media tempat saya bergabung, Boulevard ITB, pun melakukan hal itu -meski saya tak tahu sejak kapan. Kami tetap menaati elemen 'jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan' -- sebagaimana dirangkum Bill Kovach dalam The Elements of Journalism, 2001 -- namun dalam lingkup yang lebih kecil; penyelenggaraan pemerintahan di kampus. Kami berupaya menjadi anjing penjaga terhadap kebijakan yang dihasilkan baik rektorat maupun mahasiswa.

Tapi, bukan lantas pers mahasiswa meliput soal kampus melulu. Masalah kampus memang dijadikan fokus utama (seperti transparansi keuangan rektorat, tarif SPP yang naik lagi-naik lagi, kecurangan pemilu raya, kebersihan toilet, dan sebagainya), tapi di samping itu pers mahasiswa bisa saja mengangkat isu nasional -- dengan angle lokal.

Antara lain, misalnya seperti ini; rencana kampanye politik masuk kampus disikapi dengan mewawancara mahasiswa: apakah mereka setuju? Longsornya gunung sampah di Leuwigajah ditulis memperhatikan kenyataan sehari-hari: bagaimana dampaknya terhadap sampah di kampus kita? Bencana tsunami di Aceh: bagaimana nasib keluarga teman-teman kita yang berasal dari Aceh?

Saya yakin, media mahasiswa yang memperhatikan komunitasnya akan mampu bersaing dengan media umum. Sebab, faktor kedekatan emosional terbukti punya peranan penting. Ia dapat membuat pembaca merasa erat tak berjarak dengan medianya, yang berujung pada loyalitas.

Pers mahasiswa, jika cepat melakukan reposisi dan meningkatkan profesionalitas, masih dapat mendapatkan kembali masa gemilangnya. Saya pun lantas tak lagi ingin Soeharto tetap berkuasa. []


------
Suplemen Khusus Media Indonesia "Media Kampus" Edisi Jawa Barat
Senin, 11 April 2005

Eureka!

Wednesday, April 06, 2005

Saya hendak membeli Koran Tempo siang kemarin -- lumayan, harga mahasiswa seribu rupiah -- ketika mata ini tak sengaja melihat setumpuk Eureka!, buletin terbitan Pers Mahasiswa ITB, di meja kasir toserba. Aha, akhirnya terbit juga, gumam saya. Sudah sejak Maret lalu saya dengar Persma akan menerbitkan buletin.

Eureka! mengambil format 8 halaman A5. Ia dicetak, juga punya sampul. Gradasi warnanya lembut. Kita seperti membaca tabloid, hanya saja dalam bentuk yang mini. Di edisi perdananya ia menyuguhkan informasi Tren Wireless Home Entertainment, Membaca Novel dari Handphone, resensi film Janji Joni dan album Kita Untuk Mereka, serta Tempat Hang Out di ITB.

Semua tulisan mengambil dari sumber luar, kecuali Tempat Hang Out yang diliput sendiri. David Susanto, yang menyebut dirinya pemimpin buletin, dalam pengantarnya menyebut semboyan Eureka! adalah "Smart Media for Smart People". Ini, katanya, menuntut mereka lebih smart dalam menyajikan informasi kepada pembaca.

Terbitnya Eureka! sedikit banyak mengobati kerinduan hati saya akan banyaknya terbitan di kampus. Saya senang jika kampus ramai dengan media, sehingga kita bisa menyalurkan opini dengan intelek -- tidak lewat selebaran gelap atau forum-forum tengah malam. Kita terlatih untuk menyampaikan gagasan lewat tulisan, yang bisa menjangkau semua warga kampus.

Selamat atas penerbitan Eureka!. Saya berharap reportase diperbanyak. Jangan lagi sekedar mencomot berita dari AP lalu menerjemahkannya. Kalau begitu terus yang terjadi, hanya satu komentar (meminjam dari teman saya Didot) --> Tajir!

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by