Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

My Big Story!

Saturday, January 22, 2005

Inilah pengalaman saya buang air besar yang paling menantang, sekaligus mendebarkan. Sehingga, saya nekat ingin ceritain ini ke kamu. Tolong jangan cerita-cerita ke siapapun ya, bikin malu. Kamu ambil aja hikmahnya.

Setelah beberapa kali melakukannya di toilet di kampus (saya punya daftar rekomendasi toilet layak-pakai terdekat), di restoran (pesan teh manis segelas lalu bertanya di mana toilet), di Circle K (yang ini modal muka badak aja), di masjid (ini pilihan paling gampang, masjid ada dimana-mana kan), di sekolah (kongkalikong sama penjaga sekolah – biar boleh mengakses wc guru), bahkan di semak-semak stadion UI (waktu itu sumpah... kebelet banget), saya akhirnya berkesempatan melakukannya di toilet kereta api Parahyangan.

Begini. Suatu hari, karena bangun terburu-buru dan tak sempat melakukan “ritual pagi”, ditambah lagi sepanjang perjalanan saya berdiri bersandar di bordes (persis di depan toilet), saya jadi terpanggil untuk melaksanakannya di dalam sana. Sudah kontraksi berkali-kali, tapi saya tahan. Tau apa kata dua alter-ego saya?

“Udah deh, di situ aja. Daripada lo tahan2 sampe rumah?”

“Gila apa lo krom. Tahan bentar lah... itu jorok banget tuh.”

“Ada airnya ini kok. Ntar lo cebok lagi aja di rumah.”

“Najis sumpah lo krom. Terserah lo deh”

Jalan tengahnya, saya putuskan masuk ke dalam, guna survey kelayakan tempat. Hmm, luasnya satu kali satu setengah meter. Kakus jenis duduk, dengan lubang menganga. Kamu bisa ngintip rel di bawahnya. Lalu ada wastafel, airnya mengalir – cukup jernih. Ada pegangan. Yang kurang cuma satu, tempat menggantung tas dan jaket.

Saya edarkan pandangan ke atas. Di tembok ada kran air utama. Saya tarik-tarik ke bawah, sepertinya cukup kuat menanggung beban tas saya. Baiklah, a man has to do what he has to do. Saya copot tas, gantungkan di kran atas. Jaket saya gantung di pegangan. Persiapan tahap pertama, selesai.

Saya pelorotkan celana parasut – dengan karet di pinggang, jadi nggak terlalu repot – sampai bawah lutut. Dengan tetap memakai sepatu, tentu dong saya nggak mau konyol kena cacingan, saya naik ke atas kakus. Hop! Harus cepat dan mantap, karena kereta terus bergoyang. Hoho, saya sudah dalam posisi jongkok sekarang. Persiapan tahap kedua, selesai.

Satu-satu, saya lihat limbah saya jatuh ke rel. Saya tersenyum geli. Hehehe, selamat tinggal, kawan! Kita berpisah di sini saja. Saya merasa jadi seperti bermain dart games, dengan sasaran lubang – biar nggak nempel kiri kanan. Susah juga loh, apalagi kalau di atas kereta yang berjalan begini.

Harus saya akui, guncangan membuat konsentrasi saya terpecah. Akibatnya, proses pelepasan makan waktu lumayan. Namun begitu, saya tetap berusaha agar aktivitas laknat ini berjalan cepat. Kedua tangan saya berpegangan ke batang besi, sambil menjaga agar jaket tidak jatuh ke lantai. Cepat, krom! Cepaaaatt!

Saat itulah saya baru mikir: ntar gimana ceboknya? Saya nggak bisa melepaskan tangan. Kereta terus bergoyang kiri-kanan tanpa bisa diprediksi kemana. Kalau cebok di atas kakus, nggak mungkin! Bisa jatuh. Tapi kalau di lantai toilet, saya akan menggenangi lantai – tak ada lubang untuk mengalirkan genangan air. Kan nggak lucu kalau keluar toilet dengan sepatu basah.

Matilah saya. Saya belum cukup sinting untuk turun dari kakus, berdiri, lantas menaikkan celana seakan tidak terjadi apa-apa. Tidak, tidak sesinting itu.

Tapi saya cukup sinting untuk terus berlama-lama jongkok, sambil berpikir keras. Oke, pertama, siram dulu sisa-sisa yang ada. Tangan kanan saya julurkan, meraih gayung dan byur! Selamat tinggal lagi, kawan. Tangan kiri saya kerja keras; menjaga keseimbangan sambil mencengkeram jaket. Okay, one last thing to go, krom...!

Dan, inilah yang dinamakan “Tuhan mendengar doa hambaNya yang kesusahan”. Tiba-tiba saya rasakan kereta melambat, makin melambat, hingga berhenti. Guncangan hilang total. Diam, tenang. Saya bahkan bisa jongkok tanpa berpegangan. Saya melongok ke luar, hanya tampak pepohonan di kejauhan sana.

This is it! Buru-buru saya isi gayung (oya, prinsip saya: selalu gunakan air langsung dari kran) dan membereskan urusan sampai tuntas. Saya kan nggak tahu sampai kapan mukjizat ini berlangsung. Bisa lama, bisa pula sekejap. Yang jelas, sebelum kereta ini berjalan lagi, saya mesti sudah selesai.

***

Untunglah, selesai juga. Saya melangkah ke luar toilet, dan terdengar deru kereta berlari di sebelah kami. Rupanya Parahyangan berhenti mengalah, memberi jalan lewat pada Argo Gede. Mungkin juga bukan. Argo apapun itu, terimakasih banyak...

Kembali saya bersandar ke dinding, ambil nafas lega. Dari dulu, padahal saya sangat membenci diskriminasi seperti ini. Yang mahal boleh lewat duluan, sementara yang murah stop dulu sebentar. Bikin dong rel ganda, jadi kita sama-sama bisa lewat.

Tapi itu dulu. Sekarang saya berterimakasih sekali atas kebijaksanaan para petinggi kereta api yang mengharuskan kereta kelas bawah berhenti sejenak, meminjamkan relnya kepada kereta kelas atas. Benar-benar langkah bijaksana. Soal rel ganda; ah saya tiba-tiba paham sekali bahwa dana kita terbatas, nggak cukup untuk membangun rel ganda. Belum lagi yang dikorupsi. Untung, masih ada rel – tidak dicabuti dan dijual ke pengumpul besi tua.

Mulai kini, saya pesan ke kamu: jangan terlalu ngomel-ngomel kalau kereta kamu stop buat ngasih jalan kereta lain. Ingatlah, bisa jadi saat itu ada orang-orang seperti saya, yang justru sangat tertolong dengan adanya diskriminasi macam itu.

Fiuh... Nggak lagi lagi deh.

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by