Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Tikus Politik Politikus Mampus

Wednesday, February 25, 2004

Harus diakui, politik mendapat citra buruk di hati masyarakat saat ini. Terlebih, melihat tingkah-polah para politisi yang makin lama makin matang -- sehingga busuk. Rasanya tak ada yang mereka lakukan selain obral janji, sogok-menyogok, main tuduh, studi banding yang menggembosi anggaran, membohongin publik, memalsukan ijazah, berantem di sidang, dan segala macam yang makin membuat kita antipati terhadap yang namanya politik. Sikap ini mungkin dirasakan grup musik Slank, yang lirik lagunya dipakai sebagai judul tulisan ini.

Antipati yang sama mungkin sedang melanda mahasiswa ITB. Antipati yang berakibat rendahnya antusiasme terhadap Pemilu 2004, sebuah hajatan akbar yang menyita waktu hampir sepanjang tahun. Simaklah angka-angka berikut. Sebanyak 72 persen mahasiswa ITB, berdasarkan hasil survei tabloid ini Desember lalu, menyatakan bersikap biasa-biasa saja. Yang apatis 19 persen, dan yang sangat antusias hanyalah sembilan persen...

Kenyataan ini tentu mengkhawatirkan. Sebagai mahasiswa, kita tentu tak bisa terus antipati terhadap politik. Bagaimanapun juga, kitalah kelak yang akan memimpin negeri ini. Tidak bisa tidak, kita pasti bersentuhan dengan politik. Apalagi, pada pemilu nasional tahun ini, Kusmayanto Kadiman sudah mempersilakan partai politik berkampanye dalam kampus.

Apa sih yang membuat kita antipati terhadap politik?

Politik pada dasarnya berkaitan erat dengan pencapaian kepentingan. Ketika kita berusaha untuk mendapatkan apa yang kita mau, maka saat itulah kita berpolitik -- dalam artian paling sederhana. Artian politik lalu meluas menjadi sebuah teori dan praktek penyelenggaraan negara. Yang diperebutkan pun bukan lagi sekedar kepentingan, tapi kekuasaan. Selebihnya, yang terjadi dalam politik sehari-hari dan politik nasional tak jauh beda.

Coba amati kehidupan politik kampus. Kita akan melihat sebuah perjuangan, permainan taktik, promosi, persaingan, pemaparan visi dan misi, intrik, sampai skandal. Hal-hal itu sebenarnya terjadi juga pada kancah politik nasional. Hanya saja, dengan lingkup nasional, tentu kualitas hal-hal tadi berlipat ganda. Persaingan yang terjadi pastilah lebih ketat, lebih kotor. Juga skandal. Kalau ketua panpel pemilu tahun lalu sekedar diajak makan di Lembang, misalnya, maka boleh jadi di tingkat nasional, ketua KPU tergoda makan bersama di Hotel Marriott.

Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan, politik adalah suatu keharusan jika sesuatu yang baik diinginkan terwujud dalam realitas sosial. Politik diciptakan untuk mengatur penyelenggaraan negara, yang idealnya bisa membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Namun, ia juga ibarat pedang bermata dua. Ia bisa digunakan untuk hal-hal baik. Bisa juga untuk hal-hal buruk yang tak terbayangkan. Ia dapat membuat kebijakan yang menyejahterakan rakyat, tapi juga bisa jadi alat memperkaya diri, istri, anak, dan cucu tujuh turunan. Ia bisa dipakai untuk menegakkan hukum, atau justru membuat hukum dipermalukan oleh mahkamah tertingginya!

Rasanya tak tepat bila kita salahkan politik, hanya karena kelakuan segelintir pegiat-pegiatnya yang serakah dan tak punya malu. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sebagus apapun sebuah sistem, ia tetap akan jadi jelek bila dijalankan oleh orang-orang yang brengsek. Tidak ada yang salah dengan politik. Untuk mereka yang masih anti politik, ada baiknya kita renungkan kata-kata Kusmayanto Kadiman berikut. "Politic is good, dia menjadi jelek karena Anda nggak ikut di dalamnya..." []

------
Boulevard ITB Edisi 49, Februari 2004

Dua Kandidat Cukup

Pemilu Kabinet Mahasiswa 2004 hanya mempertandingkan dua kandidat. Persaingan makin ringan?

Oleh Ikram Putra

Ruangan Kongres KM-ITB sore itu penuh sesak. Menjelang pukul lima sore, wajah Indra Tertiari Efka -- ketua pemilu raya -- menunjukkan ekspresi cemas. "Coba di-sms lagi calon-calonnya. Bilang lima belas menit lagi jam lima," perintahnya kepada seorang panitia.

Apa pasal?

Ternyata, pukul lima sore adalah batas waktu pengembalian formulir dan syarat bagi mereka yang berminat mengincar tampuk kepemimpinan Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB. Dan hingga lima belas menit terakhir, yang mengembalikan formulir baru satu orang, dari delapan yang mengambil formulir. Kontan hal ini membuat panitia resah. Mereka hanya bisa menunggu. Waktu seakan berjalan lebih lambat di ruangan yang digunakan sebagai sekretariat panitia pemilihan umum KM 2004 itu.

Tunggu punya tunggu, tersiar kabar bahwa empat calon kandidat sudah menyatakan tak akan mengumpulkan berkas, alias mengundurkan diri. Mereka adalah Ahmad Zaki, Dani M, T Reiza, dan Faradiansyah. Panitia pun hanya bisa berharap pada dua calon lagi.

Lima menit lagi pukul lima sore. Walaupun mencoba bersikap santai, Efka tak dapat menyembunyikan kecemasannya. Ia lalu membicarakan langkah yang akan diambil, jika memang akan ada hanya satu calon kandidat. "Semuanya kita pulangkan kepada Kongres. Kita disini kan ibaratnya kuli," katanya.

Pada saat itulah, Oskar P -- seorang calon kandidat -- memasuki ruangan. Setelah menyerahkan berkas-berkas kelengkapan, ia dinyatakan lulus tahap pendaftaran calon kandidat presiden. Kehadirannya di menit-menit terakhir seakan menghapus kekuatiran panitia. Akhirnya terkumpul dua calon kandidat. Adalah Anas Hanafiah, yang mengembalikan formulir peserta pertama kali. Pukul tiga sore itu, ia sudah melunasi kewajiban pendaftaran.

Seorang calon lagi, Isbatullah, datang terlambat. Kepada Efka, ia meminta perpanjangan waktu, menunggu kelengkapan berkas. Kembali, Efka menyerahkan hal itu kepada Kongres. Ketika Efka-Kongres berbincang, Isbatullah menerima telepon. Setelah itu ia menyatakan mengundurkan diri. "Tandatanganku baru tiga ratus lima puluh," ucapnya singkat.

Setelah melalui proses verifikasi, Anas dan Oskar disahkan menjadi kandidat presiden KM-ITB 2004. Berarti, pada pemilu kali ini hanya ada dua kandidat. Anas pernah aktif di Salman, sedangkan Oskar cukup aktif di Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan. Visi dan misi mereka pun berbeda. Anas ingin perhatian yang proporsional antara isu intern kampus dan isu nasional, sedangkan Oskar lebih menekankan konsolidasi ke dalam, sebelum menyikapi isu nasional.

Sifat kalem terasa menonjol pada diri Anas. Jarang emosional, apalagi berbicara dengan intonasi tinggi. Mantan ketua Himpunan Mahasiswa Elektroteknik ini ingin agar mahasiswa memilih seseorang tidak hanya karena keterikatan emosional.

Namun, Anas kurang dikenal massa di luar "lingkungan"nya. Ia juga pernah dituding membawa kepentingan organ ekstra kampus. Tentang peristiwa itu, "Ya saya ambil hikmahnya saja, dan berusaha menjadikan KM lebih aspiratif," tukasnya tenang.

Oskar dikenal cukup merakyat. Kandidat asal Himpunan Mahasiswa Geofisika Meteorologi ini mencita-citakan sebuah KM yang benar-benar menjadi keluarga mahasiswa. Oskar berusaha meningkatkan keakraban atara mahasiswa. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan musik dan kopi sore sebagai kegiatan pertama kali, bila ia terpilih. Mantan anggota kabinet kepengurusan Alga Indria ini merasa kurang pantas bila KM-ITB menyikapi suatu isu nasional, tanpa kebulatan suara mahasiswa tentang hal itu.

Sayang, mimpi yang diusungnya bukanlah hal baru. "Oskar menurut saya mujadul banget, tiap tahun juga begitu," ucap Ahmad Zaki, yang kini menjadi promotor Anas.

Entah karena sosialisasi panitia yang kurang informatif, atau memang apatisme mahasiswa terhadap politik sudah sedemikian parahnya, beberapa kali hearing zona hanya dihadiri sedikit pengunjung. Bahkan seringkali hearing hanya dihadiri tim sukses dan promotor dari masing-masing kandidat. Hearing terpusat di lapangan basket pada Rabu 10 Maret lalu pun bernasib hampir sama.

Untunglah, apatisme itu belum melanda seluruh mahasiswa ITB. Dengan nama Forum Media Kampus untuk Pemilu, beberapa mahasiswa menggagas sebuah media pemantau pemilu. Mereka membagikan selebaran dwiharian, yang memberitakan kejadian terbaru tentang pemilu KM. Sebuah bentuk alternatif sosialisasi, yang berasal dari luar panitia.

Semoga semua berjalan lancar, menuju masa pemungutan suara 23-31 Maret. Dan bila kampanye Anas-Oskar usai, adalah giliran partai politik dan calon anggota DPD berkampanye di Aula Timur ITB, dengan sejuta jargon politiknya... []

------
Boulevard ITB Edisi 49, Februari 2004

Pedagang Asongan vs Pola Makan

Oleh Ikram Putra dan Maya Irawati

Sekitar tiga puluh orang berkumpul di sekretariat Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang asongan yang biasa berjualan di dalam kampus, sisanya mahasiswa. Mereka membicarakan sebuah surat yang diedarkan pagi itu. Sebuah surat yang berisi ultimatum, bahwa mulai hari Senin 1 Maret, jika para pedagang masih berjualan di dalam kampus, maka Satpam akan menindak tegas (baca: mengusir) mereka.

Mang Kus -- wakil para pedagang -- angkat bicara. Ia mempertanyakan alasan pengusiran, yang dianggapnya tidak manusiawi. Kalau kesan kumuh jadi soal, ia bersedia memperbaiki tampilan dagangannya. Berjualan dengan etalase kaca, atau setidaknya meja. Tapi pedagang yang sudah berjualan sejak 1982 ini takut, karena "Status berdagang saya di sini ilegal," ujar Mang Kus.

Kalau para pedagang sudah sadar bahwa mereka tak dibolehkan berjualan di sini, mengapa masih nekat? Itu karena, mereka ternyata mempunyai semacam kartu identitas, hanya saja tak jelas siapa yang menerbitkan. Tak ada cap ITB di kartu itu. Menurut Mang Je -- biasa berjualan di lapangan basket -- kartu itu dikeluarkan sekitar dua tahun lalu oleh Pembina Kampus waktu itu, Dr. Ir. Tutuka Ariadji, Msc. Namun, pihak Satpam yang ditemui secara terpisah tidak mengakui keabsahan kartu itu. "Yang mengeluarkan kartu siapa? Mahasiswa itu!" bantah Pak Usep, wakil ketua Satpam ITB.

Perihal usir-mengusir pedagang asongan adalah masalah lama yang tak pernah mendapat jalan keluar. Dulu, waktu pertama kali mencoba berjualan di dalam, Satpam sebenarnya sudah bertindak tegas. Boulevard ITB edisi Mei 1994 mencatat jumlah pedagang asongan dalam kampus mencapai dua puluh orang. Salah seorang pedagang waktu itu, Anwar, mengatakan "Dulu waktu dibawa ke kantor Satpam banyak mahasiswa Geodesi yang bantu saya,". Sebuah pernyataan yang melukiskan betapa eratnya hubungan antara pedagang dan mahasiswa.

Berbicara melalui telepon, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Dr. Ir. Deny Djuanda membeberkan kebijakannya "membersihkan" kampus dari pedagang asongan. Ini terkait dengan program mempercantik kampus, satu paket dengan pendirian Campus Center. Selain itu, Deny juga merasa risau akan pola makan mahasiswa. "Selama ini kan mahasiswa kebanyakan ngemil. Kami inginnya nanti ada waktu sarapan, makan siang, dan makan malam," tambahnya. Untuk itu, kantin-kantin akan ditambah di dekat Departemen Teknik Sipil dan satu lagi akan bertempat di Campus Center.

Waduh, perkara pola makan jelas susah diubah. Dengan jadwal kuliah padat, tak sempat sarapan, ditambah sedikit rasa malas, tentu mahasiswa cenderung memilih pedagang asongan. Apalagi, harga makanan yang dijual di kantin-kantin kurang bersahabat, meski tergantikan dengan jaminan sanitasi dan higienitas.

Rapat demi rapat digelar mahasiswa untuk membicarakan masalah ini. Mereka telah menyusun kembali organisasi pedagang yang bernama Ikatan Pedagang Masyarakat ITB. Rianto, ketua Ikatan Mahasiswa Geodesi, mengatakan alasan dirinya membela pedagang. "Aspirasi yang sampai (ke saya) menunjukkan bahwa mahasiswa masih membutuhkan pedagang," katanya. Rianto termasuk mahasiswa yang peduli dan sering hadir pada setiap rapat. Ia juga sempat kesal karena dari beberapa kali rapat, wakil Kokesma tidak pernah hadir.

Hasil rapat nantinya akan diajukan kepada rektorat, agar dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan final. Pedagang dan mahasiswa bersiap untuk segala kemungkinan. Kalau nantinya ditolak dan pedagang tetap diusir?

"Pertanyaan lucu. Yang penting kita sudah berusaha dan kalaupun kalah, itu lebih baik daripada tidak usaha sama sekali," tukas Afri, yang bertindak sebagai moderator pada setiap rapat.[]

------
Boulevard ITB Edisi 49, Februari 2004

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by