Commitment is about doing whatever it takes.—Anonymous

Inul Dikecam, Inul Dibela

Monday, May 05, 2003

Harian Koran Tempo dalam edisi 1 Mei 2003 menurunkan berita tentang aksi demonstrasi seniman Komunitas Seni Taman Hiburan Rakyat Surabaya di depan Balai Pemuda Surabaya. Mereka membela Ainur Rakhimah -- lebih dikenal dengan Inul Daratista -- artis dangdut yang berciri khas goyang ngebor. Mereka juga menuduh Rhoma Irama dan artis-artis ibukota overacting dan iri akan kesuksesan Inul, yang berasal dari pelosok. Goyangan Inul Daratista dikecam oleh H. Rhoma Irama dengan alasan mengundang maksiat dan merendahkan musik dangdut. Rhoma juga tak rela lagu-lagunya dinyanyikan Inul.

Yang menarik untuk dilihat adalah betapa hebatnya dampak goyangan fenomenal seorang artis dangdut Inul Daratista sehingga semua kalangan menaruh perhatian. Tak kurang, mantan presiden Abdurrahman Wahid pun angkat bicara mengenai pencekalan Inul.
Sikap Rhoma yang membatasi Inul sangat berlebihan. Dia dengan berlebihan telah meminta orang lain untuk mengubah ekspresinya. Itu harus kita lawan. Siapa pun yang membatasi kebebasan berekspresi seseorang harus kita lawan.

Koran Tempo, 29 April 2003
Berani jamin, Abdurrahman Wahid belum pernah menyaksikan goyangan si ratu ngebor. Dengan begitu, sebenarnya ia belum berhak untuk membela Inul dengan menyebut goyang ngebor Inul sebagai "kebebasan berekspresi".

Anggaplah ini sebagai kebebasan berekspresi Rhoma, yang berhak dikeluarkannya. Dan sebagai seorang penyanyi dangdut yang lebih senior, mungkin Rhoma merasa perlu mengingatkan Inul bahwa tindakannya itu salah. Maka, sebagai tanggungjawab moral, ia pun melarang Inul untuk menyanyikan lagu-lagu miliknya. Inul menyadari kesalahannya, dan mendatangi studio Soneta, Depok, untuk minta maaf.

Lalu, apa saja yang bisa dikaji dari masalah ini?

Pertama, banyak pihak merasa punya kepentingan atas diri -- atau setidaknya goyangan -- Inul. Mulai dari ulama, politisi, praktisi kesenian, sampai ke pers dan industri pertelevisian. Kalangan ulama merasa berkewajiban memberitahu mana yang benar dan mana yang salah kepada umatnya. Goyangan Inul yang dirasa mengarah kepada pornografi difatwakan haram. Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat bahkan telah mengeluarkan fatwa yang melarang Inul manggung di wilayah Jabar.

Politisi berpandangan lain. Goyangan Inul ternyata sukses memikat banyak penggemar, yang notabene punya hak pilih. Penggemar adalah massa. Massa adalah suara. Maka diusahakanlah banyak cara untuk membela Inul. Dengan harapan mendulang simpati massa untuk memilih partainya. Politisi yang gemar mengomentari maslah ini, tentu saja Gus Dur. Tokoh yang doyan mengeluarkan statement, yang sama kontroversialnya dengan goyangan Inul. Atas inisiatif manajer Inul dan mantan asisten Gus Dur, kedua tokoh kontroversial ini bertemu sehari setelah Inul minta maaf kepada Rhoma, di Hotel Gran Melia, Jakarta. Dalam pertemuan selama sejam ini Gus Dur membesarkan hati Inul (Koran Tempo, 1/5).

Praktisi kesenian mungkin lebih netral. Inul lebih dipandang dari aksi pementasannya, koreografi tariannya, dan busananya. Menurut mereka, goyang ngebor adalah pornografi sepanjang goyangan itu dapat membangkitkan syahwat para pemirsa. Jadi, bagi yang tidak terangsang oleh goyangan Inul, goyangan itu bukanlah pornografi. Subjektif memang. Praktisi kesenian semacam Ratna Sarumpaet dan komunitas Institut Kesenian Jakarta-nya juga memandang kasus Rhoma vs. Inul sebagai pembatasan akan kreativitas, sehingga bisa menjadi preseden buruk bagi artis dan seniman lain.

Bagi pers, Inul adalah sumber berita. Maka digalilah semua keterangan tentang dirinya. Berapa honor sekali manggung, berapa pajak yang telah disetor, perjalanan karir, apapun yang bisa dijadikan berita. Yah, daripada terus menerus meliput tentang tingkah polah anggota DPR. Sedangkan bagi pemilik media, Inul adalah jaminan rating tinggi. Di tengah persaingan antarstasiun TV yang ketat, pantaslah apabila SCTV mengontrak Inul untuk acara Duel Maut, melengkapi acara dangdutan yang hampir ada di tiap stasiun TV. RCTI tidak mau kalah. Dengan menggandeng Arswendo Atmowiloto, stasiun TV swasta pertama di Indonesia berencana membuat sinetron berdasarkan kisah nyata Inul.

Kedua, terlihat sikap matang Inul Daratista dalam menghadapi setiap kasus atau isu yang menghadangnya. Ketika ditanya berapa honornya, Inul sambil cengengesan menyebut angka ratusan juta. Jawaban yang sempat membuat petinggi perpajakan kelabakan. Ini lalu disanggah manajer Inul, seraya menceritakan bahwa Inul suka bercanda. Inul juga tampak dalam beberapa kali wawancaranya tidak terlalu ambil pusing tentang goyangannya yang seronok. Ia malah membandingkan dirinya dengan penari-penari striptease di hotel-hotel, yang bebas beroperasi. Goyang ngebor diprotes, muncullah goyangan baru -- goyang molen -- dalam penampilannya ketika membuka konser trio Asereje. Jadi, tanpa didukung Anwar Fuadi beserta PARSI-nya pun, Inul sebenarnya sudah "pantang surut langkah".

Inul tampaknya menikmati betul posisi dirinya yang sedang hangat dibicarakan. Di era informasi sekarang ini, yang penting adalah opini publik. Perkara benar-salah mah urusan nanti. Lihatlah bagaimana Inul berhasil meraih dukungan dan simpati publik setelah menangis minta maaf kepada Rhoma Irama. Inul sangat diuntungkan oleh pemberitaan media serta pencitraan dirinya. Seorang artis asal Pasuruan, yang sukses merambah ibukota. Isu kedaerahan ini jugalah yang diangkat sebagai pembelaan oleh Komunitas THR Surabaya, di awal tulisan ini.

Majalah TIME dan Newsweek boleh saja mewawancarai Inul, sebagaimana mereka mewawancarai Megawati, misalnya. Tapi, tak harus ada yang spesial dengan goyangan Inul. Goyangan itu tercipta kan akibat persaingan yang ketat antara artis, sehingga masing-masing harus mencari ciri khasnya? Lagipula, popularitas itu semu. Kalau sudah saatnya, Inul pasti akan berhenti bergoyang.

Namun ketika saat itu tiba, kita takkan kehilangan. Karena akan muncul Inul-Inul baru... []


------
Boulevard ITB Edisi 46, Mei 2003

tentang saya

tulisan sebelumnya

arsip

IkramPutra©2010 | thanks for stopping by